Sekilas Tentang Rote Ndao!!

Minggu, 06 Desember 2015

  • Rabu, 01 Juli 2015

  • NENEK MOYANG ORANG ROTE ADALAH ORANG YAHUDI ?

    NENEK MOYANG ORANG ROTE ADALAH TURUNAN ORANG YAHUDI ?

              Prof. DR. J. L. Henuk mengatakan bahwa berdasarkan tulisan Mattula Ada yang diterbitkan di kompasiana pada 1 Nopember 2011 dengan judul “Ternyata Moyang Orang Maluku Adalah Bangsa Yahudi”. Selanjutnya Pak Prof. Henuk mengatakan bahwa dalam tulisan ini terbaca jelas bahwa “Salah satu bukti kuat bahwa pada abad ke-1 M rempah-rempah dari Maluku pernah dijual di Yerusalem, adalah karena pada tahun 33 M, beberapa orang wanita Yahudi yaitu: Maria Magdalena dan teman-temannya membeli rempah-rempah di pasar Yerusalem untuk mengawetkan jenazah Yesus (Markus 16:1). Peluang lain orang Israel tiba di Maluku adalah pedagang-pedagang Israel datang sendiri ke Maluku setelah mengetahui jalan ke Maluku dari para pedagang bangsa China”. (http://media.kompasiana.com/buku/2011/10/31/ternyata-moyang-orang-maluku-adalah-bangsa-yahudi-406217.html). Pak Prof juga mengutip tulisan tertanggal 8 Juni 2013 yang berjudul sbb. : “ASAL NAMA MALUKU DAN HUBUNGANNYA DENGAN KETURUNAN SUKU ISRAEL YANG HILANG”. Beliau mengatakan bahwa pembukaan dari tulisan Abeytara tersebut di atas bahwa : “Orang Rote mengenal nenek moyang mereka berasal dari suku-suku Israel yang hilang yang datang ke Maluku dan orang-orang Yahudi Alfuros (dari suku Gad), sebagian menyebar ke bagian barat, menyinggahi Pulau Rote dan menetap di Rote bagian timur (Bilba) dan sebagian di Rote barat daya (Thie).⃰
    Memang moyang orang Rote berasal dari Seram (Maluku) pada permulaan abad pertama Masehi dan moyang yang pertama dari Seram itu bernama DAE DINI. Ia bersama isteri dan dua anak lelakinya, masing-masing adalah DETA DAE dan MBAKI-MBAKI DAE. Walaupun sesuai dua tulisan yang dikutip oleh Pak Prof. Henuk itu mengindikasikan bahwa orang Rote ada punya hubungan silsilah dengan orang Yahudi, namun sepanjang ceritera para manahelo (penyair dan ahli silsilah orang Rote) dan orang tua-tua, hanya mengatakan bahwa moyang orang Rote berasal dari Seram (Maluku). Mungkin karena menurut dua penulis seperti tersebut di atas bahwa orang Maluku ada punya hubungan silsilah dengan orang Yahudi dan karena moyang orang Rote berasal dari Seram (Maluku) maka ditarik kesimpulan bahwa orang Rote juga ada punya hubungan silsilah dengan orang Yahudi.
             Menurut sebuah legenda di Rote (Thie), bawa beberapa abad yang lalu di sebuah pelabuhan di Thie (Namo Tane), terdampar sebuah kapal layar dan penumpangnya terdiri dari puluhan orang. Orang-orang ini postur tubuhnya besar dan tinggi serta berkulit putih. Mereka ini, masyarakat kenal dengan nama “Hatahori Ringge" (Orang Ringge). Kemudian mereka berintegrasi dengan orang-orang Thie/Rote. Sebelum berintegrasi dengan orang Rote, mereka tinggal di dua kampung dan kedua kampung itu dikenal dengan nama : Ringge dan Ndoko. Kapal/perahu yang mereka bawa telah menjadi batu dan sampai kini dikenal dengan nama “Batu Nafu”, yang berarti “Batu Berlabuh”. Nama “Ringge” mirip dengan nama “Marengge”. Marengge adalah sebutan orang Rote untuk orang-orang “Negro”. Walaupun nama mirip, namun orang Ringge berkulit putih sedang orang Marengge (Negro) berkulit hitam. Apakah orang Ringge ada hubungannya dengan orang Yahudi ? Benar tidaknya hubungan silsilah antara orang Rote dengan orang Yahudi, hal ini dapat dijawab oleh para ahli, khususnya para ahli paleo antropologi. 
             Walaupun mungkin tidak ada hubungan silsilah antara orang Rote dan orang Yahudi, namun budaya kedua komunitas/etnis ini, ada beberapa aspek yang sama atau hampir sama. Saya kemukakan beberapa aspek antara lain sebagai berikut :
    1.      Hukum waris 
    Menurut Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Rote Ndao, khususnya hukum waris, anak perempuan tidak mendapat warisan. Ia hanya mendapat bahagian yang disebut “lepakai” (terdiri atas : kakau lu’ak, tua bobo’ik, deta masik); lepakai adalah sejenis hibah. Anak lelaki yang berhak atas harta usaha gono gini. Bila tidak anak lelaki maka harta gono gini diwarisi oleh saudara lelaki ayah, bila orang tua telah meninggal dan anak-anak perempuan telah kawin. Tidak berhaknya anak perempuan atas warisan ayah itu, karena menurut adat harta seseorang tidak boleh dibawa ke suku lain waktu kawin.
    Hukum perkawinan cq. hukum waris dan cara pemilihan jodoh orang Rote hampir sama dengan orang Yahudi. Bedanya, orang Yahudi bisa kawin dengan paralel coussin pihak ayah  maupun paralel coussin pihak ibu. {Isak kawin Ribka, anak Nahor—Nahor adalah saudara Abraham dan Yakob kawin dengan anak-anak dari To’o-nya Laban (adat Rote : tuti kalikek)}. Sedang orang Rote, perkawinan antara yang berhubungan darah itu terjadi hanya di antara paralel coussin dengan cross cousin (tuti kalikek). Perkawinan jenis ini sangat diingini dan dianggap ideal. Selanjutnya mengenai ahli waris untuk anak perempuan orang Yahudi tercantum dalam Surat Bilangan pasal 27 : 1 – 11 : Dikatakan bahwa pada mulanya anak  perempuan tidak berhak atas warisan.  Namun Musa dihadapkan pada kasus anak-anak perempuan Zelafehad yang meminta hak waris, karena Zelafehad  tidak memiliki anak laki-laki (1 - 4). Secara umum, ketika seorang ayah meninggal, anak-anak lelaki mendapat harta milik ayahnya  sedang anak perempuan tidak mendapat warisan.  Mereka (anak-anak perempuan) hanya menerima bagian yang disebut hadiah saat mereka menikah. Bila suatu keluarga hanya memiliki anak perempuan, maka harta warisan diberikan kepada saudara laki-laki sang ayah. Mungkin karena anak-anak perempuan Zelafehad merasa bahwa hal itu tidak adil, maka mereka menghadap Musa. Musa yang mendengar keluhan anak-anak perempuan Zelafelad itu, membawa perkara itu kepada Tuhan (5). Akhirnya ditetapkan bahwa bila suatu lekuarga tidak memiliki anak laki-laki maka anaknya yang perempuan boleh mewarisi harta (8). Jika keluarga itu tidak  memiliki anak, maka harta warisan itu akan dimiliki oleh keluarga terdekat (9-11). Namun di pasal 36, Tuhan memberikan aturan yang mengharuskan anak-anak perempuan penerima warisan untuk menikah dengan orang-orang sesuku, dengan tujuan agar harta warisan itu tetap berada di suku itu, seperti jika sang ayah memiliki anak laki-laki.   
    2.      Gembala
    Arti gembala dalam bahsa Rote ialah manalolo atau dalam syair (kata paralel) disebut mana tada tena do mana lolo bote (penggembala kerbau atau pemisah domba/kambing). Biasanya gembala sangat sayang kepada ternaknya sehingga ia selalu memperhatikan makan dan minum mereka. Di mana ada rumput yang hijau dan air yang bersih, si gembala membawa ternaknya ke situ. Bila dalam wilayahnya kekurangan rumput atau air maka si gembala membawa ternaknya ke daerah lain yang ada rumput dan air. Di daerah baru itu ia membangun pondok/lak untuk tinggal selama beberapa bulan. Rumah yang dibangun selama dalam pengembaraan itu disebut “uma nggoro na’u” (harfiah : rumah kampung rumput) maksudnya rumah dikampung yang berumput hijau. Semua itu dibuat oleh si gembala karena kecintaannya pada ternaknya. Bila air yang ada berupa sumur maka si gembala membuat palungan (ha’o/hako) untuk diisi dengan air. Pola sikap gembala dalam memelihara ternaknya menginspirasi orang Rote, sehingga tokoh/figur yang perhatiannya yang besar terhadap kehidupan keluarga dianggap dan dihormati sebagai gembala, lalu digelar “mana tada tena do mana lolo bote’. Kalau kita perhatikan kehidupan orang-orang Israel dalam mengurus ternak mereka, khususnya Ibrahim dengan Lot, maka tidak beda dengan orang Rote. Orang Israel pun mengagungkan peranan gembala, sehingga dalam Mazmur 23, Raja Daud mengagungkan Tuhan sebagai gembalanya yang membaringkan dia di padang yang berumput hijau dan membimbingnya ke air yang tenang.
    3.      Sendal jepit
    Dari dahulu kala orang Rote sudah memproduksi sandal/sendal jepit, yang dibuat dari daun lontar dan kulit kerbau atau sapi. Yang dibuat dari daun lontar dianyam.dan yang dibuat dari kulit kerbau/sapi adalah sandal jepit. Tali jepit itupun dari kulit, dibuat halus. Yang pertama kali menemukan sandal jepit adalah orang Rote. Mungkin waktu Jepang menjajah Indonesia, mereka tertarik pada penemuan orang Rote itu, lalu mereka membuat sandal jepit dari getah/plastik. Orang Yahudi pun telah memproduksi sandal jepit dari dahulu kala, sama dengan orang Rote. Namun, tidak mungkin kedua komunitas ini saling menjiplak karena timbulnya media elektronik maupun media cetak kemudian dari penemuan sandal sehingga hasil produksi masing-masing tidak pernah dipromosikan melalui mas media.  
    4.      Ulu
    Bila salah seorang meninggal di negeri lain/rantau dan belum bisa dibawa pulang jenazahnya, maka ia boleh dikuburkan di negeri tersebut. Tetapi kemudian tulang belulangnya harus dibawa pulang ke tanah leluhur. Atau jika meninggal tetapi jasadnya tidak diketemukan, maka sesuatu barang miliknya, berupa pakaian, tempat sirih, topi atau foto, harus dibawa ke tanah leluhur. Baik tulang belulang atau barang-barang milik mendian itu disebut “ulu”. Setelah sampai di tanah leluhur, tulang belulang itu dikuburkan disertai acara, layaknya acara orang mati.
    Sesuai Kitab Kejadian 47 : 30, Yakob berpesan kepada anak-anaknya agar bila ia mati, harus dibawa kembali ke tanah leluhurnya untuk dikuburkan di sana.    
    5.      Nekembimbili 
    Pada saat memanen padi atau botok, pemilik sawah/ladang mengijinkan orang lain (balu, duda, fakir miskin dan yatim piatu) untuk boleh memungut bulir-bulir padi/botok yang tertinggal dipanen oleh penuai. Memungut sisa-sisa padi/botok orang lain untuk menjadi milik si pemungut seperti itu, disebut nekembimbili (ne’embimbili). Bulir-bulir yang tertinggal itu terjadi karena tidak sengaja ataupun disengajakan oleh pemilik sawah/ladang agar fakir miskin dan balu duda serta yatim piatu dapar memungut dan memilikinya. 
    Adat orang Rote seperti tersebut di atas tedapat juga pada orang Yahudi. Dalam Kitab Rut (2 : 2-9), Boas mengijinkan Rut (janda) untuk boleh memungut (nakambimbili) jelai-jelai yang tertinggal/sisa dipanen oleh anak buah/pekerja Boas.
    6.       Sanksi bagi pencuri hewan
    Sebelum adanya lembaga “bui”, di Rote, bila seseorang mencuri hewan maka pengadilan adat menjatuh hukuman yang disebut “nggeu buluk” (cukur bulu, maksudnya memiskinkan), yaitu suatu hukuman yang berat dengan cara mengganti hewan dengan jenis yang sama sebanyak 2 sampai 3kali lipat.
    Adat yang sama terdapat juga pada orang Yahudi. Bedanya, orang Rote 2 atau 3 kali lipat untuk semua jenis hewan, sedang orang Yahudi untuk kerbau 5 kali lipat dan untuk domba 4 kali lipat (Kitab Keluaran 22 : 1).
    7.      Isteri mandul
    Menurut hukum adat Rote, bila isteri mandul maka bisa terjadi perceraian. Untuk menghindari perceraian karena isteri mandul, maka suami isteri menempuh beberapa cara sebagai berikut : a). Isteri mengijinkan suami untuk boleh menambah isteri; b). isteri mengijinkan suami untuk boleh netiak (hubungan gelap dengan perempuan lain); c). Isteri mengijinkan suami untuk boleh meniduri seseorang perempuan dari suku lain yang tinggal dengan mereka.
    Rupanya solusi dari suami isteri untuk mendapatkan anak pada butir c, sama dengan budaya bangsa Yahudi sehingga Sarai mengijinkan Ibrahim meniduri Hagar.
    8.       Livirat
    Perkawinan livirat atau ganti tikar, dalam bahasa Rote disebut “lenggu bara sinik” atau “palu anak”atau “lenggu rali anak”, yaitu bila suami meninggal maka sesuai adat sijanda bisa kawin dengan salah seorang lelaki saudara si alamrhum. Adat ini terdapat juga pada orang Yahudi, tercanum dalam Kitab Bilangan 25 : 5.
    9.       Tulang/remah-remah untuk anjing 
    Orang Rote katakan “mba duik busa enan” (harfiah : tulang daging milik anjing). Sementara bersantap, biasanya anjing duduk menunggu di dekat meja makan. Bila ada tulang/sisa makanan yang dibuang atau jatuh maka para anjing berebutan.
    Rupanya hal ini berlaku juga pada bangsa Yahudi seperti terdapat pada Injil Matius 15 : 26 dan 27. [26. Tetapi Yesus menjawab : “Tidak baik mengambil roti yang telah disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing”. 27. Kata perempuan itu : “Benar Tuhan, namun anjing itu makan
    remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”]
    10. Harta pusaka nenek moyang
    Menurut tradisi orang Rote, harta pusaka peninggalan nenek moyang tidak boleh dipindahtangankan cq. tidak boleh diperjuabelikan karena hal itu mendatangkan malapetaka bagi yang menjualnya, dalam bahasa Rote, disebut "nano'i". Adat ini pun terdapat pada orang Yahudi. Dalam kitab 1 Raja-Raja fasal 21 : 3, dst, raja Ahab meminta agar Nabot memberikan atau menjual kebun anggurnya kepada dia (Ahab) tetapi Nabot tidak mau karena takut mendapat celaka berhubung kebun anggur itu adalah peinggalan nenek moyangnya.
     ⃰Sumber kutipan:
    Y.L. Henuk (Penulis/Editor, 2015). Rote Mengajar Punya Cerita. Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang & Paul A. Haning : Rote Ndao Rangkaian Terselatan Zamrud Katulistiwa/2013 dan Hukum Kekeluargaan/Waris Masyarakat Rote Ndao/2006..



  • Senin, 29 Juni 2015

  • PEMERINTAHAN ADAT ETNIS ROTE NDAO

    Pemerintahan adat ETNIS ROTE NDAO

     Peta Nusak    Keadaan masyarakat atau suku bangsa Rote-Ndao sebelum datangnya pengaruh luar sudah merupakan suatu masyarakat yang teratur, tersusun rapi dalam suatu lingkungan adat-istiadat. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai lembaga adat maupun tata-cara suatu tradisi berupa upacara-upacara adat dalam suatu pemerintahan asli. Pembagian tugas serta kekuasaan diatur secara baik dan jelas. Tugas dan jabatan meliputi berbagai aspek baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya, termasuk religi.
         Penduduk Pulau Rote/Ndao berkelompok berdasarkan cabang-cabang keturunan dan mendiami suatu wilayah tertentu. Wilayah-wilayah pemukiman itu adalah wilayah genealogis teritorial, disebut ‘nusak’. Terakhir terdapat 19 nusak/kerajaan.
                Pada mulanya pemimpin kelompok genealogis (nusak) disebut amak (bapak) yang dituakan (primus inter pares), atau mana lolo bote do mana tada tena (sebagai gembala). Disebut juga mane la’i (istilah di Thie, dll). Sebaliknya pemimpin komunitas yang berjenis kelamin perempuan atau figur perempuan yang dianggap sebagai pemimpin kelompok disebut ina lia.
    Dalam perjalanan sejarahnya peran dan fungsi mane la’i terus berkembang. Kalau dahulu hanyalah sebagai pelindung, kemudian disamping sebagai pelindung, sekaligus juga  sebagai penata, pembina, dan pemelihara kelompok. Pada tahap ini pemimpin kelompok yaitu mane la’i dan/atau ina lia mendapat gelaran/sebutan manek. Manek dibantu oleh fetor (wakil manek). Kata manek berasal dari mane/mone yang artinya laki-laki atau jantan dan kata fetor berasal dari feto yang berarti saudara perempuan atau gadis atau betina. Kini terminologi ‘mane la’i’ dan ‘ina lia’ serta mana lolo bote do mana tada tena masih diper-gunakan untuk seseorang senior yang dipandang sebagai pemimpin suatu komunitas/keluarga.
    Manek memegang tampuk pemerintahan yang tertinggi dalam wilayah nusak, dengan dibantu oleh fetor. Jadi manek dan fetor merupakan lembaga tertinggi negara. Figur kedua kelembagaan ini melambangkan/sebagai ayah dan ibu bagi rakyat. Dalam tangan mereka terdapat kekuasaan dan kekerasan, sekaligus kasih dan kelembutan. Manek adalah lambang bagi laki-laki atau ayah dan fetor (feto) adalah lambang bagi perempuan atau ibu. Yang menjabat fetor bukan haruslah figur perempuan. Dalam perjalanan pemerintahan adat di Rote Ndao belum ada figur perempuan yang diberi kedudukan sebagai fetor. Sedang untuk jabatan manek, seorang perempuan sudah pernah diangkat menjadi Manek, yaitu Abe Sain, anak dari Sai Batu, cucu dari Batu Bela Bulan, buyut dari Bula Kai. Ia adalah manek/raja dari nusak/kerajaan Ringgou, menjadi raja pada permulaan abad ke-15 M. Kolam renang raja/ratu ini bernama “Batu Bela do Londa Lusi”.
     Manek/raja menjalankan roda pemerintahan termasuk urusan luar negeri, sedang Fetor menangani urusan dalam negeri serta urusan rumah tangga. Ada penulis yang mengatakan bahwa fetor mengepalai sebuah wilayah yang terdiri dari gabungan antara kampung-kampung. Daerah-daerah yang bergabung ini disebut kefetoran. Namun sepanjang pemeritahan adat di Rote Ndao, bahwa fetor tidak mempunyai wilayah pemerintahan sendiri karena  ia sebagai wakil manek/raja. Ada pula penulis yamg lain mengatakan bahwa fetor tidak punya kontribusi dalam pemerintahan. Pada hal dalam sejarah pemerintahan adat di Rote Ndao, fetor menangani sektor-sektor tertentu. Penulis menemukan suatu dokumen (surat) di eks Kerajaan Thie, bertanggal 14 April 1913, dari fetor Thie (Arnold Manafe), ditujukan kepada raja Thie (Salmun Jonas Nikolas Messakh) yang isinya menyatakan bahwa Fetor Thie (Arnolus Manafe) meminta berhenti sebagai fetor dan karena belum segera diangkat fetor yang baru, maka tugas fetor yang meliputi perpajakan, pertanian, dll, untuk sementara ditangani oleh Juru Tulis Kerajaan Thie pada masa itu, yaitu Danial Pah alias Ndolu Pah.
     Arti feto/r selain adalah perempuan, juga secara simbolis adalah saudara perempuan bala rakyat maupun saudara perempuan manek. Sesuai adat, dalam pergaulan antara saudara perempuan dan saudara laki-laki terdapat perasaan sungkan. Oleh karena sebagai saudara perempuan manek, maka antara kedua figur pimpinan ini saling sungkan. Maksudnya dalam urusan pemerintahan negara (nusak/kerajaan), manek tidak boleh memperlakukan fetor secara sewenang-wenang, misalnya memonopoli semua urusan pemerintahan sehingga fetor hanya dijadikan sebagai “ban reserve”.
     Nusak berasal dari kata nusa yang mengandung pengertian : 1). Bila dilihat dari segi kepemilikan tanah, maka berarti tanah suku (tanah ulayat); 2). Bila dilihat dari segi komunitas maka secara tersirat berarti subsuku/suku/bangsa; 3). Bila dilihat dari segi ketatanegaraan, maka berarti organisasi pemerintahan atau negara/negeri; dan 4). Bila dilihat dari segi geografis, maka berarti wilayah atau pulau.
      Setelah masyarakat nusak bertambah banyak populasinya maka dibagi atas leo-leo dan mendiami suatu wilayah desa (nggorok/ngolok/korok) tertentu. Sesudah itu tiap suku/leo diangkat seorang kepala suku yang disebut mane leo (arti harfiahnya ialah raja suku). Setelah masuknya Belanda, maneleo tidak saja mengurus adat, tetapi juga merangkap pemerintahan negeri. Pada tahap ini maneleo disebut juga manesio (arti harfiahnya ialah ‘raja sembilan’). Disebut raja sembilan karena setelah dibebani dengan tugas-tugas negeri maka tugasnya menjadi banyak. Angka 9 (sembilan adalah angka puncak). Di bawah maneleo/manesio terdapat langgak (mane nggorok) dan dibawah langgak terdapat lasin.      
            Selain dari pemerintahan adat, terdapat pula lembaga-lembaga lainnya, seperti mane dombe/dope (raja pisau (harfiah) : jaksa adat), mana ke atau mana nggero fura (hakim adat), mane dae langgak (kepala pertanahan), mane raraa/lalaa (pengurus kompleks persawahan), mane mok (penegak hukum dalam bidang perkebunan, perladangan), mana horo/mana hopu papadak (penegak hukum dalam bidang pengairan, kelautan, kehutanan, dan tanaman umur panjang), mana helo (pujangga/ahli silsilah/penyair), mana kila oe (distributor air), dll.
            Penuntutan perkara dilakukan oleh mane dombe; pejabat ini disebut raja pisau karena tuntutannya bagaikan pisau tajam yang menikam. Sedang hakim adat disebut mana ke atau mana nggero fura. Arti ke atau nggero ialah memenggal dan arti fura ialah menyayat menjadi lurus atau rata. Setelah dipotong atau dipenggal maka harus disayat menjadi rata atau lurus sehingga tampaknya indah. Dalam hal ini walaupun tuntutan jaksa sangat menusuk perasaan, namun diharapkan hakim bertindak atau berlaku adil sehingga mendatangkan kepuasan.    
    Mane dae langgak menentukan jadwal penanaman pada saat musim hujan dan sebagai saksi ahli dalam masalah pertanahan. Ia lebih mengetahui historis tanah-tanah dalam nusak. Mane raraa/lalaa mengawasi tanaman padi dalam kompleks persawahan, menentukan sanksi bagi pemilik hewan yang merusak tanaman padi, menentukan tinggi pagar di kompleks persawahan, dll. Mane mok menentukan tinggi pagar kebun/ladang dan sawah yang tidak terdapat dalam kompleks persawahan. Juga menentukan sanksi bagi pemilik hewan yang merusak tanaman di sawah/ladang, kebun. Mana horo menentukan sanksi bagi oknum yang melanggar ketentuan yang berhubungan dengan bidang tugasnya. Mana helo biasanya menghadiri kematian orang orang tua dan orang-orang terhormat untuk mengisahkan silsilah dari mendiang dalam gaya bernyanyi (helo). Juga mengucapkan syair-syair yang berhubungan dengan kematian serta syair-syair yang bernuansa hiburan bagi keluarga mendiang. Mana kila oe mengurus pendistribusian air kepada pemilik sawah. Jaminannya berupa padi pada saat panen.  
              Sistem demokrasi juga telah dikenal dan telah dipraktekan oleh orang Rote Ndao sejak dulu kala. Untuk mengambil suatu keputusan dilakukan dalam musyawarah. Peserta musyawarah terdiri dari para pejabat/fungsionaris adat dan tua tua adat (lasi hadak). 
       Di Rote Ndao, suku-suku/klen (leo) tertentu pun berfungsi sebagai dewan legeslatif yang tugasnya ialah mengangkat raja dan menurunkan raja bila melakukan sesuatu kesalahan yang mendasar dalam menjalankan tugasnya. Antara lain, di nusak Ba’a, sebagai dewan legeslatif adalah suku-suku : Ene, Modok, Nggi, dan Felama. Juga di nusak Thie, terdapat empat suku yang berfungsi sebagai dewan legeslatif, yaitu Todefeo, Nalefeo, Mesafeo, dan Ndanafeo. Gabungan keempat suku ini disebut “Leo Boru Anan”.
    Di Thie bila seseorang raja melakukan sesuatu kesalahan dalam jabatannya sehingga tidak lagi didukung oleh rakyat maka Leo Boru Anan menyembelih seekor kuda jantan, diambilnya kaki muka sebelah kanan, dikeluarkan kukunya lalu kaki kuda itu dikirim kepada raja yang dipandang tidak lagi didukung oleh rakyatnya. Tata cara ini disebut “ndara fangga” (kuku kuda).
    Setelah alat itu diterima oleh raja, maka ia sadar bahwa ia tidak dipercayai dan tidak didukung lagi oleh rakyat. Dengan demikian, dengan legowo ia mengundurkan diri lalu diganti dengan yang lain.  Tindakan itu adalah semacam mosi tidak percaya.
    Kuku kuda (ndara fangga) secara filosofis dianggap sebagai alas kaki yang kukuh bagi kuda untuk berjalan dan menginjak. Bila telah dikeluarkan kukunya maka si kuda tidak berdaya lagi. Begitupun bagi seorang penguasa, ia tidak kuat lagi berjalan (maksudnya tidak kuat lagi menjalankan kekuasaan) dan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menginjak (maksudnya tidak mampu lagi menghukum) karena telah dicopot otoritasnya.
           Di satu pihak Leo Boru Anan tersebut sebagai pengontrol (oposan), sedang di lain pihak juga sebagai pelindung kekuasaan dan/atau mitra pemerintah; dalam bahasa adat dikatakan “Boru Anan mana holu kadera ein” (Boru Anan yang memeluk kaki kursi). Selama Leo Boru Anan mendukung kepemimpinan raja, maka raja tidak perlu kuatir akan kedudukannya.
           Pemahaman atas ketatanegaraan orang Rote Ndao sudah tinggi. Selain dari pembagian/pemisahan kekuasaan, orang Rote Ndao pun sudah praktekkan sistim otonomi.  Kerajaan Thie, terdiri dari 26 suku/klen; mereka masing masing mendiami sebuah wilayah/desa tradisional (nggorok/ngolok/korok). Dari ke-26 klen itu, sebuah klen (disebut Leo Landu), tinggal di sebuah pulau kecil (Pulau Landu), di sebelah selatan Pulau Rote. Pada masa pemerintahan Raja Thie (Saku Nara : 1565-1600), suku tersebut diberi hak otonomi. Sedang ke-25 klen yang lainnya itu terpayungi dalam sebuah hukum adat, yaitu Hukum Adat Masyarakat Thie. Jadi dari segi pemerintahan, Leo Landu termasuk nusak/kerajaan Thie, tetapi ia tidak terpayungi dalam hukum adat nusak/kerajaan Thie; ia mengurus dirinya sendiri. Kepala Suku Leo Landu, disebut Mane Landu (Raja Landu). Selain dari daerah otonomi Pulau Landu, menurutt DR. J. J. Fox bahwa walaupun Pulau Ndao (Kerajaan Ndao) adalah negara berdaulat namun sejak tahun 1720-an kerajaan ini (Ndao) telah diperlakukan sebagai salah satu daerah kekuasaan politik yang semi otonom dari orang Rote.
            Pada masa lalu terminologi ‘otonomi’ belum diketahui/dimengerti oleh masyarakat Rote Ndao, namun praktek ketatanegaan seperti tersebut di atas, mengindikasikan bahwa mereka telah terapkan sistem otonomi melampaui zaman mereka.
            Khusus bidang eksekutif/pemerintahan stratanya pada umumnya seperti pada susunan berikut (hierarkhi turun), yaitu : manek (raja), fetor (wakil raja), maneleo/manesio (kepala suku), langgak (kepala kampung), lasin (sejenis RT), lalu rau inggu (rakyat). Namun pada tahun 1940-an, pernah ditambah dua bidang, sehingga lapisannya sebagai berikut : manek, fetor, sio leik⃰ (kepala suku kordinator), maneleo/manesio, langga ina⃰ (kepala kampung kordinator), langgak, lasin, rau inggu (rakyat). ⃰ bidang yg di +; maneleo/manesio adalah satu fugur dgn multi fungsi.


  • Sabtu, 06 Juni 2015

  • Foto Keluarga


    Opa & Oma Haning

    Delegasi Peminang Versi Asli


    Delegasi Peminang Versi Modifikasi

    Nona Erna Haning


    Nona Jane Tomeluk


  • Sabtu, 16 Mei 2015

  • Tarian Lendo


    Tarian Lendo adalah tarian yang lemah gemulai yang melambangkan sifat wanita orang Rote Ndao.
  • Seni Tari Orang Rote Ndao




    Foti adalah tarian kegemaran lelaki orang Rote Ndao.


  • Senin, 27 April 2015

  • Siapa Penemu Sasandu?

              

    SASANDU bukan saja milik orang Rote tetapi merupakan milik orang NTT bahkan milik bangsa Indonesia. Alat musik tradisional ini pun telah dikenal oleh manca negara bahkan bukan saja dikenal tetapi sangat diminati untuk dijadikan sebagai sofenir.  Juga tidak saja dapat dimainkan oleh pemusik asal Rote Ndao atau NTT tetapi dapat dimainkan juga oleh pemusik etnis lain.
               Bahkan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono memberikan apresiasi yang besar terhadap alat musik tradisional ini dan menganjurkan untuk dijadikan sebagai aset budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu pada masa jabatannya yang kedua sebagai Presiden RI, beliau memasukkan festifal musik sasandu sebagai salah satu agenda penting dalam merealisasikan program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II di bidang kebudayaan, lalu dibentuk sebuah kepanitiaan, disebut Panitia Festifal Sasando Piala Presiden RI Tahun 2009. Tempat pelaksanaan festifal itu di Kota Kupang  dan berlangsung dari tanggal 17-19 Desember 2009.
                Walaupun Sasandu sudah dikenal bahkan terkenal, juga rencana pemerintah akan dipatenkan, namun belum dikenal secara pasti siapa penemu Sasandu. Kini timbul banyak versi tentang penemu Sasandu. Masing-masing mengklaim bahwa versinya yang betul.
               Di bawah ini saya kemukakan beberapa versi/sumber yang menyangkut penemu Sasandu. Saya pun kemukakan beberapa tulisan yang menyangkut Sasandu ataupun menyangkut Pulau Ndana yang menurut beberapa pihak bahwa Sasandu ditemukan di pulau tersebut. Versi/sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut :

    1. Jusuf Nggebu
    Bapak Jusuf Nggebu adalah pensiunan guru. Beliau adalah pemain Sasandu yang handal. Versinya tentang penemu Sasandu dimuat di surat kabar lokal sehingga diketahui oleh banyak orang. Versinya sebagai berikut : Sangguana (bersama kawannya : Manukoa – orang Delha) terdampar di Pulau Ndana, saat mereka pergi melaut. Ia bersama temannya dibawa oleh orang Ndana untuk menghadap raja lalu tinggal di Istana. Selama tinggal di Istana diketahui bahwa ia mempunyai bakat seni. Karena bakatnya itu, maka puteri raja Ndana terpikat lalu mereka berpacaran. Untuk mewujudkan cinta mereka, sang puteri meminta pada Sangguana agar ia ciptakan suatu alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat musik yang indah baik bentuk maupun suaranya/bunyinya. Diilhami mimpi tersebut, Sangguana ciptakan alat musik yang ia beri nama sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya, Sang Puteri bertanya, lagu apa yang dimainkan, lalu Sangguana menjawab,” Sari Sandu”. Alat musik itupun ia berikan kepada Sang Puteri yang kemudian menamakannya Depo Hitu, yang artinya ‘sekali dipetik tuju dawai bergetar’.   

    2. Semuel Ndun dan St. J. Merukh
    Bapak Semuel Ndun adalah seorang “Manahelo” (ahli silsilah dan penyair), lahir pada permulaan tahun 1900, dan meninggal pada tahun 1996). Ia adalah Manahelo yang handal dii seluruh Kerajaan Thie bahkan di Rote bagian barat. Bapak St. J. Merukh adalah seorang pensiunan pendeta, lahir pada tahun 1872 dan meninggal pada tahun 1956. Keduanya mengatakan bahwa penemu Sasandu adalah Pupuk Soroba, lahir pada permulaan abad ke-13. Selanjutnya Bapak St. J. Merukh mengatakan bahwa ayah dari Pupuk Soroba adalah Soroba Selan dan ibunya bernama Koa Tande. Soroba Selan bersaudara kandung dengan Leto Selan. Turunan Leto Selan masuk suku/klen Le’e (Thie), sedang Soroba Selan tidak mempunyai turunan. Moyang pertama orang Rote/Ndao bernama Dae Dini, lahir pada permulaan abad pertama Masehi. Dari Dae Dini sampai pada Soroba Selan sudah terdapat 49 generasi. Dan dari Soroba Selan sampai pada Sangguana Nale terdapat 10 generasi. Dari Dae Dini sampai pada generasi kini adalah generasi ke-80 sampai ke generasi ke-83. Sebelum Sasandu ditemukan, pada abad ke-12 gong dan tambur telah ditemukan oleh dua orang kakak beradik yaitu Liti Leang (gong ) dan Batu Leang (tambur). Mula-mula Pupuk Soroba terinspirasi waktu melihat seekor laba-laba yang besar sedang asyik memainkan jaring (sarangnya) sehingga terdengar alunan bunyi yang indah. Melihat itu ia ingin menciptakan suatu alat yang dapat mengeluarkan bunyi yang indah. Lalu mula-mula ia mencungkil lidi-lidi dari setangkai daun gewang yang mentah lalu disenda (ganjal)sudah itu dipetik dan ternyata dapat mengeluarkan bunyi yang indah. Namun ia belum puas, lalu diambilnya seruas bambu dan disayat/dicungkil kulitnya kecil-kecil, menyerupai jaring laba-laba/senar lalu disenda/diganjal. Nada-nada pada dawai-dawai yang diganjal itu disesuaikan dengan nada-nada pada gong hasil ciptaan Liti Leang. Di waktu kemudian kulit bambu tidak lagi dicungkil tetapi dibuat senar. Mula-mula senar dibuat dari serat kulit akar gantung pohon beringin dan ruas bambu dipasang pada haik. Kemudian senar dari serat kulit beringin diganti lagi dengan usus musang yang diiris halus. Setelah masuknya hasil industri modern, senar dibuat dari senar yang biasa dipakai pada mata kail dan setelah masuknya kawat halus, senar diganti dengan kawat halus (kawat gitar). Mula-mula alat musik ini disebut sandu atau sanu (sesuai ejaan beberapa dialek di Rote). Arti dari kata sandu (sanu) ialah meregang, menarik-narik atau meronta-ronta. Pada tahun 1970-an alat musik ini disebut sasandu, asal dari kata ulang sandu-sandu, yang artinya beronta-ronta atau bergetaran. Kemudian setelah dibangunnya hotel “Sasando” di Kupang, mungkin orang Kupang menyangka bahwa nama alat musik ini, adalah sasando, lalu orang Kupang menyebut Sasando.  

    3. D. J. Messakh
    Bapak D. J. Messakh lahir dan besar di Rote. Kemudian menjadi guru di Makasar. Beliau adalah penulis buku ”ANAK MEMBELA BAPAK”, terbitan Balai Pustaka- Tahun 1925. Isi bukunya adalah tentang sejarah pemusnahan Kerajaan Ndana oleh Nale Sanggu (anak dari Sangguana Nale). Dalam bukunya, ia tidak menceriterakan tentang Sasandu, tetapi banyak berceritera tentang Nale Sanggu (anak dari Sangguana Nale). Dikatakan bahwa Tou Lo bersama anaknya Sangguana dan seorang kawan lagi pergi mengail lalu terdampar di Ndana karena diterpa angin topan.  Ketiganya bersembunyi di Luapesi (halaman 19). Setelah raja Ndana mengetahui Sangguana bersama yang lainnya berada di Ndana, ia menyuruh Rondo Nunu pergi menjemput mereka. Lalu Sangguana mengajar orang Ndana berbagai pengetahuan (halaman 51). Raja mempunyai dua orang puteri. Kedua puteri jatuh cinta pada Sangguana, lalu mereka membujuk Sangguana agar mereka lari ke Rote untuk urus kawin. Raja mengetahui masalah ini lalu ketiga orang Rote itu dimasukan ke dalam bui dan segera dieksekusi mati. Pada hari yang ketujuh mereka dieksekusi mati, sesudah itu Rondo Nunu ke Rote untuk menyampaikan berita duka itu kepada keluarga ketiga oknum tsb (halaman 54-55). Setelah Nale Sanggu (anak dari Sangguana Nale) besar, ia membalas kematian ayahnya, yaitu ia memusnahkanpenduduk Pulau Ndana (halaman 64-68). 

    4. J. P. Nunuhitu J. P. Nunuhitu adalah seorang pendeta, terakhir tinggal di Jakarta. Ia membuat sebuh tulisan (manuscrip) pada tahun 1955, setebal enam halaman. Tulisan itu tentang “SILSILAH KELUARGA NUNUHITU”. Pada halaman pertama (1), antara lain berbunyi sebagai berikut : 

    Nunu Foe, yakni Fetor di Pulau Ndana. Anak lelakinya bernama Rondo Nunu.  Sejarah hidupnya : Nunu Foe pandai memetik Hitu (semacam sasandu bertali tujuh), maka ia digelarkan NUNUHITU, artinya MANA DETA HITU DO MANA SARI SANDU. Lalu disyairkan pula : NUNUK MANA KOKOEK ma HITU MANA MAMAKOK, artinya nunuk (pohon beringin) membujuk dengan sombar dan Hitu (sandu) menghibur dengan suaranya yang merdu. Dalam tulisan J. P. Nunuhitu ini, tidak dikatakan siapa penemu Sasandu, hanya mengatakan bahwa Nunu Foe adalah pemain sasandu yang terkenal. Sehingga digelar “NUNUHITU”. Menurut nara sumber yang lain, bahwa waktu Sangguana dkk terdampar di Ndana mereka membawa Sasandu dan karena mereka ditampung di rumah Nunu Foe, maka Nunu Foe mempelajari sasandu dari Sangguana.

    5. Benyamin Messakh, BA
    Benyamin Messakh, mula-mula adalah Camat, sudah itu sebagai Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao, sesudah itu sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kupang. Ia menulis tentang Nale Sanggu, dengan judul “PULAU NDANA” - pada tahun 1992, tebal 28 halaman. Pada halaman 20, ia menulis sbb : Waktu  Sangguana  dan Tou Lo ke Ndana, mereka membawa Sasandu. Mereka berdua bersahabat dengan Londa Lain, orang Ndana. Anak dari Londa Lain adalah Nunu Londa. Di Ndana kedua orang ini biasa bermain Sasandu; banyak orang Ndana merasa senang dengan kehadiran kedua oknum ini. Raja menyuruh orang menjemput mereka berdua untuk menghibur keluarga Istana.  Puteri raja jatuh cinta pada Sangguana. Raja dan rakyat Ndana marah, lalu mereka berencana membunuh Sangguana dan Tou Lo. Rencana pemerintah dan rakyat itu secara diam-diam Nunu Londa sampaikan kepada kedua oknum tersebut. Mendengar laporan Nunu Londa, Sangguana dan Tou Lo berunding dan sesuai hasil kesepakatan, Tou Lo segera melarikan diri ke Rote sekaligus untuk menyampaikan berita itu kepada keluarga mereka. Kemudian Sangguana dieksekusi.

    6.  Jakobis N. S. Messakh 
         Bapak Jakobis N. S. Messakh adalah seorang ‘mane ana’ (ningrat), meninggal pada tahun 1998 dalam usia 86 tahun. Beliau ini adalah salah seorang pemain sasandu yang handal. Ayahnya adalah salah satu raja dari kerajaan Thie. Tulisan beliau (tulisan tangan) berjudul “SEJARAH PULAU NDANA” (1997) – tebal : 53 halaman. Isi tulisannya antara lain tentang penduduk Pulau Ndana, terdamparnya Sangguana dan Tou Lo di Ndana,dll. Mengenai Sangguana dan Tou Lo, ia katakan antara lain sebagai berikut : Pada tahun 1640, Sangguana dan Tou Lo pergi memancing ikan di laut dengan membawa Sasandu. Lalu timbullah hujan disertai topan lalu mereka terdampar ke Pulau Ndana dan melindungkan diri di dalam sebuah gua. Karena lapar maka mereka pergi ke sebuah kebun untuk mengambil jagung untuk dibakar supaya makan. Mereka dipergoki oleh tuan kebun  yang bernama Londa Lain. Setelah kedua oknum ini menceriterakan musibah yang mereka alami, tuan kebun memaafkan keduanya, lalu Londa Lain membawa kedua oknum ini ke rumahnya untuk ditampung. Di rumah Londa Lain, tiap malam Sangguana dan Tou Lo selalu bermain Sasandu. Kehadiran kedua oknum ini disertai kepintaran mereka dalam bermain sasandu, tersiar, lalu tiap malam orang Ndana pergi ke rumah Londa Lain untuk menonton. Raja Ndana pun mengetahui berita itu lalu kedua oknum ini dipanggil ke Istana untuk menghibur keluarga Istana. Kepintaran kedua oknum ini dalam bermain sasandu, membuat dua puteri raja Ndana jatuh cinta pada mereka. Percintaan mereka sudah terlalu dalam sehingga sulit dipisahkan. Raja mengetahui percintaan mereka dan menyetujuinya. Menurut raja bahwa bila kedua puteri kawin dengan kedua oknum ini, maka alat musik itu (sasandu) akan menjadi milik rakyat Ndana. Namun, keluarga Istana yang lainnya dan rakyat Ndana tidak setuju. Lalu suatu pertemuan rahasia dilakukan antara raja dan rakyat Ndana dan hasilnya ialah kedua oknum ini harus dibunuh supaya kedua puteri bisa diselamatkan/dipisahkan dari percintaan itu. Lalu Sangguana dan Tou Lo dieksekusi mati secara diam-diam sehingga tidak diketahui oleh kedua puteri. 

             7. Djony Theedenz
    Bapak Djony Theedenz adalah salah seorang pegawai mula-mula pada Dinas PK Prop. NTT, kemudian pada Dinas Pariwisata Prop. NTT. Mengenai Sasandu, beliau ulas dalam tulisannya yang berjudul “Pedoman Permainan Sasando” (1996). Menurut Bapak Djony Theedenz, bahwa selain dari versi Jusuf Nggebu, terdapat versi lain lagi bahwa penemu Sasandu adalah dua orang sahabat, yaitu Lunggi Lain dan Baloama Sina. Berdasarkan penelusuran saya (Paul A. Haning) atas silsilah Lunggi Lain dan Baloama Sina, ternyata Lunggi Lain adalah generasi yang ke-5 dari seorang moyang yang bernama Bula Kai. Bula Kai lahir pada abad ke-14 Masehi. Anak dari Lunggi Lain adalah Bola Lunggi dan anak dari Bola Lunggi adalah Kale Bola. Selanjutnya anak dari Baloama Sina adalah Pao Balo dan anak dari Pao Balo adalah Lote Pao. Walaupun Djony Theedenz mengatakan bahwa Lunggi Lain dan Baloama Sina diduga sebagai penemu Sasandu, namun sumber lain (Sem Ndun dan St. J. Merukh) mengatakan bahwa keluarga tersebut hanya pandai bermain sasandu.  

    8. Paul A. Haning
    Paul A. Haning (saya – penulis naskah ini), telah menulis sebuah buku dengan judul SASASNDU : Alat Musik Tradisional Masyarakat Rote Ndao. Buku ini telah dicetak oleh Penerbit CV Kairos Kupang pada tahun 1909, tebal 90 halaman. Oleh karena nara sumber saya yang utama adalah Bapak-Bapak : Semuel Ndun, St. J. Merukh, dan Yakobis N. S. Messakh, maka tulisan saya tidak berbeda jauh dari mereka.
    Kalau kita simak tulisan dari bapak-bapak tersebut di atas, maka  :
    a.       Versi bapak Jusuf Nggebu dan Bapak Djony Theedenz hampir sama.
    b.      Versi bapak-bapak : Semuel Ndun, St, J. Merukh, D. J. Messakh, J. P. Nunuhitu, Benyamin Messakh, BA, dan Jakobis N. S. Messakh sangat berdekatan.
    c.       Menurut versi bapak Benyamin Messakh, BA dan bapak Jakobis S. N. Messakh, bahwa waktu Sangguana dan Tou Lo pergi mengail mereka membawa alat musik Sasandu. Memang sesuai ceritera turun-temurun di masyarakat Thie bahwa kedua oknum ini adalah musikus dan kalau mereka pergi mengail membawa musik sasandu dan bila beristirahat, mereka biasa menghibur diri dengan musik sasandu.
    d.       Menurut versi  bapak Jusuf Nggebu, bahwa karena Sangguana dapat menciptakan alat musik yang diinginkan oleh sang puteri maka hubungan cinta berlangsung dengan mulus, sebaliknya sesuai versi dari bapak yang lain itu bahwa Sangguana dan juga Tou Lo dihukum mati karena mereka melakukan hal yang tidak senonoh terhadap puteri/kedua puteri raja.
    e.      Oleh karena terjadi pembunuhan terhadap Sangguana dan Tou Lo oleh raja Ndana dan rakyatnya, maka 20-an tahun kemudian Nale Sanggu (anak dari Sangguana) memusnahkan penduduk Ndana, sebagai balas dendam atas terbunuhnya ayahnya dan pamannya oleh raja dan rakyat Ndana.
    Memang umumnya masyarakat Thie tidak pernah memikirkan siapa penemu alat musik ini. Yang mereka ketahui hanya tentang peristiwa pembunuhan Sangguana dan Tou Lo yaitu bahwa karena kedua oknum ini adalah pemain sasandu yang handal sehingg
    a.       menjadi rebutan puteri-puteri raja Ndana bahkan menghamili mereka, akibatnya keduanya dieksekusi mati.
    Kecuali Bapak Djony Theedenz, tujuh nara sumber tersebut di atas adalah orang Thie dan Sangguana pun orang Thie sehingga bisa saja mereka setuju dengan versi bapak Jusuf Nggebu, namun mereka mengemukakan apa yang dialami atau diketahui dan dirasakan sebagai suatu kebenaran ilmiah. Selanjutnya mengenai Pupuk Soroba, dia tidak mempunyai turunan, hanya pamannya (Leto Selan), yaitu saudara dari Soroba Selan (ayah dari Pupuk Soroba), mempunyai turunan. Mereka merupakan salah satu cabang dari suku/klen Le’e di kerajaan/nusak Thie. Turunan cabang ini dalam klen Le’e memakai nama keluarga/fam : Naru, Da’i, Mbado, Rasa, Talo.
                Sejarah pengembangan/pelestarian alat musik ini dari dahulu sampai kini umumnya dilakukan oleh Orang Thie. Semoga peminat musik dari nusak/daerah lain pun turut mengembangkan alat musik ini dan lebih dari itu kita berharap agar alat musik ini diakui oleh UNESCO sebagai aset budaya bangsa Indonesia. 
  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +