Pemerintahan adat ETNIS ROTE NDAO
Peta Nusak Keadaan masyarakat atau suku
bangsa Rote-Ndao sebelum datangnya pengaruh luar sudah merupakan suatu
masyarakat yang teratur, tersusun rapi dalam suatu lingkungan adat-istiadat.
Hal ini dapat dilihat dalam berbagai lembaga adat maupun tata-cara suatu tradisi
berupa upacara-upacara adat dalam suatu pemerintahan asli. Pembagian tugas
serta kekuasaan diatur secara baik dan jelas. Tugas dan jabatan meliputi
berbagai aspek baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya, termasuk religi.
Penduduk Pulau Rote/Ndao
berkelompok berdasarkan cabang-cabang keturunan dan mendiami suatu wilayah
tertentu. Wilayah-wilayah pemukiman itu adalah wilayah genealogis teritorial, disebut ‘nusak’. Terakhir terdapat 19 nusak/kerajaan.
Pada mulanya
pemimpin kelompok genealogis (nusak) disebut amak (bapak) yang dituakan (primus
inter pares), atau mana lolo bote do mana tada tena (sebagai gembala).
Disebut juga mane la’i (istilah di Thie, dll). Sebaliknya pemimpin
komunitas yang berjenis kelamin perempuan atau figur perempuan yang dianggap
sebagai pemimpin kelompok disebut ina lia.
Dalam
perjalanan sejarahnya peran dan fungsi mane la’i terus berkembang. Kalau dahulu
hanyalah sebagai pelindung, kemudian disamping sebagai pelindung, sekaligus
juga sebagai penata, pembina, dan
pemelihara kelompok. Pada tahap ini pemimpin kelompok yaitu mane la’i dan/atau
ina lia mendapat gelaran/sebutan manek. Manek dibantu oleh fetor
(wakil manek). Kata manek berasal dari mane/mone yang artinya laki-laki atau
jantan dan kata fetor berasal dari feto yang berarti saudara perempuan atau
gadis atau betina. Kini terminologi ‘mane la’i’ dan ‘ina lia’ serta mana lolo bote do mana tada tena masih
diper-gunakan untuk seseorang senior yang dipandang sebagai pemimpin suatu
komunitas/keluarga.
Manek memegang
tampuk pemerintahan yang tertinggi dalam wilayah nusak, dengan dibantu oleh
fetor. Jadi manek dan fetor merupakan lembaga tertinggi negara. Figur kedua
kelembagaan ini melambangkan/sebagai ayah
dan ibu bagi rakyat. Dalam tangan mereka terdapat kekuasaan dan kekerasan,
sekaligus kasih dan kelembutan. Manek adalah lambang bagi laki-laki atau ayah
dan fetor (feto) adalah lambang bagi perempuan atau ibu. Yang menjabat fetor
bukan haruslah figur perempuan. Dalam perjalanan
pemerintahan adat di Rote Ndao belum ada figur perempuan yang diberi kedudukan
sebagai fetor. Sedang untuk jabatan manek, seorang perempuan sudah pernah
diangkat menjadi Manek, yaitu Abe Sain, anak dari Sai Batu, cucu dari Batu Bela
Bulan, buyut dari Bula Kai. Ia adalah manek/raja dari nusak/kerajaan Ringgou,
menjadi raja pada permulaan abad ke-15 M. Kolam renang raja/ratu ini bernama
“Batu Bela do Londa Lusi”.
Manek/raja menjalankan roda pemerintahan
termasuk urusan luar negeri, sedang Fetor menangani urusan dalam negeri serta
urusan rumah tangga. Ada penulis yang mengatakan bahwa fetor mengepalai sebuah
wilayah yang terdiri dari gabungan antara kampung-kampung. Daerah-daerah yang
bergabung ini disebut kefetoran. Namun sepanjang pemeritahan adat di Rote Ndao,
bahwa fetor tidak mempunyai wilayah pemerintahan sendiri karena ia sebagai wakil manek/raja. Ada pula penulis
yamg lain mengatakan bahwa fetor tidak punya kontribusi dalam pemerintahan. Pada
hal dalam sejarah pemerintahan adat di Rote Ndao, fetor menangani sektor-sektor
tertentu. Penulis menemukan suatu dokumen (surat) di eks Kerajaan Thie,
bertanggal 14 April 1913, dari fetor Thie (Arnold Manafe), ditujukan kepada
raja Thie (Salmun Jonas Nikolas Messakh) yang isinya menyatakan bahwa Fetor
Thie (Arnolus Manafe) meminta berhenti sebagai fetor dan karena belum segera
diangkat fetor yang baru, maka tugas fetor yang meliputi perpajakan, pertanian,
dll, untuk sementara ditangani oleh Juru Tulis Kerajaan Thie pada masa itu,
yaitu Danial Pah alias Ndolu Pah.
Arti feto/r selain adalah perempuan, juga secara simbolis adalah saudara perempuan bala rakyat
maupun saudara perempuan manek. Sesuai adat, dalam pergaulan antara saudara
perempuan dan saudara laki-laki terdapat perasaan sungkan. Oleh karena sebagai
saudara perempuan manek, maka antara kedua figur pimpinan ini saling sungkan.
Maksudnya dalam urusan pemerintahan negara (nusak/kerajaan), manek tidak boleh
memperlakukan fetor secara sewenang-wenang, misalnya memonopoli semua urusan
pemerintahan sehingga fetor hanya dijadikan sebagai “ban reserve”.
Nusak berasal dari kata nusa yang
mengandung pengertian : 1). Bila dilihat dari segi kepemilikan tanah,
maka berarti tanah suku (tanah ulayat); 2). Bila dilihat dari
segi komunitas maka secara tersirat berarti subsuku/suku/bangsa; 3).
Bila dilihat dari segi ketatanegaraan, maka berarti organisasi pemerintahan atau
negara/negeri; dan 4). Bila dilihat dari segi geografis, maka
berarti wilayah atau pulau.
Setelah masyarakat nusak
bertambah banyak populasinya maka dibagi atas leo-leo dan mendiami suatu
wilayah desa (nggorok/ngolok/korok) tertentu.
Sesudah itu tiap suku/leo diangkat seorang kepala suku yang disebut mane leo
(arti harfiahnya ialah ‘raja suku’). Setelah masuknya Belanda,
maneleo tidak saja mengurus adat, tetapi juga merangkap pemerintahan negeri.
Pada tahap ini maneleo disebut juga manesio
(arti harfiahnya ialah ‘raja sembilan’). Disebut raja sembilan karena setelah
dibebani dengan tugas-tugas negeri maka tugasnya menjadi banyak. Angka 9
(sembilan adalah angka puncak). Di bawah maneleo/manesio terdapat langgak (mane nggorok) dan dibawah
langgak terdapat lasin.
Selain dari pemerintahan adat, terdapat
pula lembaga-lembaga lainnya, seperti mane
dombe/dope (raja pisau (harfiah) : jaksa adat), mana ke atau mana nggero fura
(hakim adat), mane dae langgak
(kepala pertanahan), mane raraa/lalaa
(pengurus kompleks persawahan), mane mok
(penegak hukum dalam bidang perkebunan, perladangan), mana horo/mana hopu papadak (penegak hukum dalam bidang pengairan,
kelautan, kehutanan, dan tanaman umur panjang), mana helo (pujangga/ahli silsilah/penyair), mana kila oe (distributor air), dll.
Penuntutan perkara dilakukan oleh mane
dombe; pejabat ini disebut raja pisau karena tuntutannya bagaikan pisau tajam
yang menikam. Sedang hakim adat disebut mana ke atau mana nggero fura. Arti ke
atau nggero ialah memenggal dan arti fura ialah menyayat menjadi lurus atau
rata. Setelah dipotong atau dipenggal maka harus disayat menjadi rata atau
lurus sehingga tampaknya indah. Dalam hal ini walaupun tuntutan jaksa sangat
menusuk perasaan, namun diharapkan hakim bertindak atau berlaku adil sehingga
mendatangkan kepuasan.
Mane dae
langgak menentukan jadwal penanaman pada saat musim hujan dan sebagai saksi
ahli dalam masalah pertanahan. Ia lebih mengetahui historis tanah-tanah dalam
nusak. Mane raraa/lalaa mengawasi tanaman padi dalam kompleks persawahan,
menentukan sanksi bagi pemilik hewan yang merusak tanaman padi, menentukan
tinggi pagar di kompleks persawahan, dll. Mane mok menentukan tinggi pagar
kebun/ladang dan sawah yang tidak terdapat dalam kompleks persawahan. Juga
menentukan sanksi bagi pemilik hewan yang merusak tanaman di sawah/ladang,
kebun. Mana horo menentukan sanksi bagi oknum yang melanggar ketentuan yang
berhubungan dengan bidang tugasnya. Mana helo biasanya menghadiri kematian
orang orang tua dan orang-orang terhormat untuk mengisahkan silsilah dari
mendiang dalam gaya bernyanyi (helo). Juga mengucapkan syair-syair yang
berhubungan dengan kematian serta syair-syair yang bernuansa hiburan bagi
keluarga mendiang. Mana kila oe mengurus pendistribusian air kepada pemilik
sawah. Jaminannya berupa padi pada saat panen.
Sistem demokrasi juga telah dikenal
dan telah dipraktekan oleh orang Rote Ndao sejak dulu kala. Untuk mengambil
suatu keputusan dilakukan dalam musyawarah. Peserta musyawarah terdiri dari
para pejabat/fungsionaris adat dan tua tua adat (lasi hadak).
Di Rote Ndao, suku-suku/klen (leo) tertentu pun
berfungsi sebagai dewan legeslatif yang tugasnya ialah mengangkat raja dan
menurunkan raja bila melakukan sesuatu kesalahan yang mendasar dalam
menjalankan tugasnya. Antara lain, di nusak Ba’a, sebagai dewan legeslatif adalah
suku-suku : Ene, Modok, Nggi, dan Felama. Juga di nusak Thie, terdapat empat
suku yang berfungsi sebagai dewan legeslatif, yaitu Todefeo, Nalefeo, Mesafeo,
dan Ndanafeo. Gabungan keempat suku ini disebut “Leo Boru Anan”.
Di Thie bila
seseorang raja melakukan sesuatu kesalahan dalam jabatannya sehingga tidak lagi
didukung oleh rakyat maka Leo Boru Anan menyembelih seekor kuda jantan,
diambilnya kaki muka sebelah kanan, dikeluarkan kukunya lalu kaki kuda itu
dikirim kepada raja yang dipandang tidak lagi didukung oleh rakyatnya. Tata
cara ini disebut “ndara fangga” (kuku kuda).
Setelah alat
itu diterima oleh raja, maka ia sadar bahwa ia tidak dipercayai dan tidak
didukung lagi oleh rakyat. Dengan demikian, dengan legowo ia mengundurkan diri
lalu diganti dengan yang lain. Tindakan
itu adalah semacam mosi tidak percaya.
Kuku kuda
(ndara fangga) secara filosofis dianggap sebagai alas kaki yang kukuh bagi kuda
untuk berjalan dan menginjak. Bila telah dikeluarkan kukunya maka si kuda tidak
berdaya lagi. Begitupun bagi seorang penguasa, ia tidak kuat lagi berjalan
(maksudnya tidak kuat lagi menjalankan kekuasaan) dan tidak mempunyai kemampuan
lagi untuk menginjak (maksudnya tidak mampu lagi menghukum) karena telah
dicopot otoritasnya.
Di satu pihak Leo Boru Anan tersebut sebagai pengontrol (oposan),
sedang di lain pihak juga sebagai pelindung kekuasaan dan/atau mitra pemerintah; dalam bahasa adat dikatakan “Boru Anan mana holu
kadera ein” (Boru Anan yang memeluk kaki kursi). Selama Leo Boru Anan mendukung kepemimpinan raja, maka raja
tidak perlu kuatir akan kedudukannya.
Pemahaman atas ketatanegaraan orang Rote
Ndao sudah tinggi. Selain dari pembagian/pemisahan kekuasaan, orang Rote Ndao
pun sudah praktekkan sistim otonomi. Kerajaan
Thie, terdiri dari 26 suku/klen; mereka masing masing mendiami sebuah
wilayah/desa tradisional (nggorok/ngolok/korok). Dari ke-26 klen itu, sebuah
klen (disebut Leo Landu), tinggal di sebuah pulau kecil (Pulau Landu), di
sebelah selatan Pulau Rote. Pada masa pemerintahan Raja Thie (Saku Nara :
1565-1600), suku tersebut diberi hak otonomi. Sedang ke-25 klen yang lainnya
itu terpayungi dalam sebuah hukum adat, yaitu Hukum Adat Masyarakat Thie. Jadi
dari segi pemerintahan, Leo Landu termasuk nusak/kerajaan Thie, tetapi ia tidak
terpayungi dalam hukum adat nusak/kerajaan Thie; ia mengurus dirinya sendiri. Kepala
Suku Leo Landu, disebut Mane Landu (Raja Landu). Selain dari daerah otonomi
Pulau Landu, menurutt DR. J. J. Fox bahwa walaupun Pulau Ndao (Kerajaan Ndao) adalah
negara berdaulat namun sejak tahun 1720-an kerajaan ini (Ndao) telah
diperlakukan sebagai salah satu daerah kekuasaan politik yang semi otonom dari
orang Rote.
Pada masa lalu terminologi ‘otonomi’
belum diketahui/dimengerti oleh masyarakat Rote Ndao, namun praktek
ketatanegaan seperti tersebut di atas, mengindikasikan bahwa mereka telah
terapkan sistem otonomi melampaui zaman mereka.
Khusus bidang eksekutif/pemerintahan
stratanya pada umumnya seperti pada susunan berikut (hierarkhi turun), yaitu :
manek (raja), fetor (wakil raja), maneleo/manesio (kepala suku), langgak
(kepala kampung), lasin (sejenis RT), lalu rau inggu (rakyat). Namun pada tahun
1940-an, pernah ditambah dua bidang, sehingga lapisannya sebagai berikut :
manek, fetor, sio leik⃰ (kepala suku
kordinator), maneleo/manesio, langga ina⃰ (kepala kampung kordinator), langgak, lasin, rau inggu (rakyat). ⃰ bidang yg di +; maneleo/manesio adalah satu fugur dgn multi fungsi.