Sekilas Tentang Rote Ndao!!

Senin, 27 April 2015

  • Siapa Penemu Sasandu?

              

    SASANDU bukan saja milik orang Rote tetapi merupakan milik orang NTT bahkan milik bangsa Indonesia. Alat musik tradisional ini pun telah dikenal oleh manca negara bahkan bukan saja dikenal tetapi sangat diminati untuk dijadikan sebagai sofenir.  Juga tidak saja dapat dimainkan oleh pemusik asal Rote Ndao atau NTT tetapi dapat dimainkan juga oleh pemusik etnis lain.
               Bahkan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono memberikan apresiasi yang besar terhadap alat musik tradisional ini dan menganjurkan untuk dijadikan sebagai aset budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu pada masa jabatannya yang kedua sebagai Presiden RI, beliau memasukkan festifal musik sasandu sebagai salah satu agenda penting dalam merealisasikan program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II di bidang kebudayaan, lalu dibentuk sebuah kepanitiaan, disebut Panitia Festifal Sasando Piala Presiden RI Tahun 2009. Tempat pelaksanaan festifal itu di Kota Kupang  dan berlangsung dari tanggal 17-19 Desember 2009.
                Walaupun Sasandu sudah dikenal bahkan terkenal, juga rencana pemerintah akan dipatenkan, namun belum dikenal secara pasti siapa penemu Sasandu. Kini timbul banyak versi tentang penemu Sasandu. Masing-masing mengklaim bahwa versinya yang betul.
               Di bawah ini saya kemukakan beberapa versi/sumber yang menyangkut penemu Sasandu. Saya pun kemukakan beberapa tulisan yang menyangkut Sasandu ataupun menyangkut Pulau Ndana yang menurut beberapa pihak bahwa Sasandu ditemukan di pulau tersebut. Versi/sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut :

    1. Jusuf Nggebu
    Bapak Jusuf Nggebu adalah pensiunan guru. Beliau adalah pemain Sasandu yang handal. Versinya tentang penemu Sasandu dimuat di surat kabar lokal sehingga diketahui oleh banyak orang. Versinya sebagai berikut : Sangguana (bersama kawannya : Manukoa – orang Delha) terdampar di Pulau Ndana, saat mereka pergi melaut. Ia bersama temannya dibawa oleh orang Ndana untuk menghadap raja lalu tinggal di Istana. Selama tinggal di Istana diketahui bahwa ia mempunyai bakat seni. Karena bakatnya itu, maka puteri raja Ndana terpikat lalu mereka berpacaran. Untuk mewujudkan cinta mereka, sang puteri meminta pada Sangguana agar ia ciptakan suatu alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat musik yang indah baik bentuk maupun suaranya/bunyinya. Diilhami mimpi tersebut, Sangguana ciptakan alat musik yang ia beri nama sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya, Sang Puteri bertanya, lagu apa yang dimainkan, lalu Sangguana menjawab,” Sari Sandu”. Alat musik itupun ia berikan kepada Sang Puteri yang kemudian menamakannya Depo Hitu, yang artinya ‘sekali dipetik tuju dawai bergetar’.   

    2. Semuel Ndun dan St. J. Merukh
    Bapak Semuel Ndun adalah seorang “Manahelo” (ahli silsilah dan penyair), lahir pada permulaan tahun 1900, dan meninggal pada tahun 1996). Ia adalah Manahelo yang handal dii seluruh Kerajaan Thie bahkan di Rote bagian barat. Bapak St. J. Merukh adalah seorang pensiunan pendeta, lahir pada tahun 1872 dan meninggal pada tahun 1956. Keduanya mengatakan bahwa penemu Sasandu adalah Pupuk Soroba, lahir pada permulaan abad ke-13. Selanjutnya Bapak St. J. Merukh mengatakan bahwa ayah dari Pupuk Soroba adalah Soroba Selan dan ibunya bernama Koa Tande. Soroba Selan bersaudara kandung dengan Leto Selan. Turunan Leto Selan masuk suku/klen Le’e (Thie), sedang Soroba Selan tidak mempunyai turunan. Moyang pertama orang Rote/Ndao bernama Dae Dini, lahir pada permulaan abad pertama Masehi. Dari Dae Dini sampai pada Soroba Selan sudah terdapat 49 generasi. Dan dari Soroba Selan sampai pada Sangguana Nale terdapat 10 generasi. Dari Dae Dini sampai pada generasi kini adalah generasi ke-80 sampai ke generasi ke-83. Sebelum Sasandu ditemukan, pada abad ke-12 gong dan tambur telah ditemukan oleh dua orang kakak beradik yaitu Liti Leang (gong ) dan Batu Leang (tambur). Mula-mula Pupuk Soroba terinspirasi waktu melihat seekor laba-laba yang besar sedang asyik memainkan jaring (sarangnya) sehingga terdengar alunan bunyi yang indah. Melihat itu ia ingin menciptakan suatu alat yang dapat mengeluarkan bunyi yang indah. Lalu mula-mula ia mencungkil lidi-lidi dari setangkai daun gewang yang mentah lalu disenda (ganjal)sudah itu dipetik dan ternyata dapat mengeluarkan bunyi yang indah. Namun ia belum puas, lalu diambilnya seruas bambu dan disayat/dicungkil kulitnya kecil-kecil, menyerupai jaring laba-laba/senar lalu disenda/diganjal. Nada-nada pada dawai-dawai yang diganjal itu disesuaikan dengan nada-nada pada gong hasil ciptaan Liti Leang. Di waktu kemudian kulit bambu tidak lagi dicungkil tetapi dibuat senar. Mula-mula senar dibuat dari serat kulit akar gantung pohon beringin dan ruas bambu dipasang pada haik. Kemudian senar dari serat kulit beringin diganti lagi dengan usus musang yang diiris halus. Setelah masuknya hasil industri modern, senar dibuat dari senar yang biasa dipakai pada mata kail dan setelah masuknya kawat halus, senar diganti dengan kawat halus (kawat gitar). Mula-mula alat musik ini disebut sandu atau sanu (sesuai ejaan beberapa dialek di Rote). Arti dari kata sandu (sanu) ialah meregang, menarik-narik atau meronta-ronta. Pada tahun 1970-an alat musik ini disebut sasandu, asal dari kata ulang sandu-sandu, yang artinya beronta-ronta atau bergetaran. Kemudian setelah dibangunnya hotel “Sasando” di Kupang, mungkin orang Kupang menyangka bahwa nama alat musik ini, adalah sasando, lalu orang Kupang menyebut Sasando.  

    3. D. J. Messakh
    Bapak D. J. Messakh lahir dan besar di Rote. Kemudian menjadi guru di Makasar. Beliau adalah penulis buku ”ANAK MEMBELA BAPAK”, terbitan Balai Pustaka- Tahun 1925. Isi bukunya adalah tentang sejarah pemusnahan Kerajaan Ndana oleh Nale Sanggu (anak dari Sangguana Nale). Dalam bukunya, ia tidak menceriterakan tentang Sasandu, tetapi banyak berceritera tentang Nale Sanggu (anak dari Sangguana Nale). Dikatakan bahwa Tou Lo bersama anaknya Sangguana dan seorang kawan lagi pergi mengail lalu terdampar di Ndana karena diterpa angin topan.  Ketiganya bersembunyi di Luapesi (halaman 19). Setelah raja Ndana mengetahui Sangguana bersama yang lainnya berada di Ndana, ia menyuruh Rondo Nunu pergi menjemput mereka. Lalu Sangguana mengajar orang Ndana berbagai pengetahuan (halaman 51). Raja mempunyai dua orang puteri. Kedua puteri jatuh cinta pada Sangguana, lalu mereka membujuk Sangguana agar mereka lari ke Rote untuk urus kawin. Raja mengetahui masalah ini lalu ketiga orang Rote itu dimasukan ke dalam bui dan segera dieksekusi mati. Pada hari yang ketujuh mereka dieksekusi mati, sesudah itu Rondo Nunu ke Rote untuk menyampaikan berita duka itu kepada keluarga ketiga oknum tsb (halaman 54-55). Setelah Nale Sanggu (anak dari Sangguana Nale) besar, ia membalas kematian ayahnya, yaitu ia memusnahkanpenduduk Pulau Ndana (halaman 64-68). 

    4. J. P. Nunuhitu J. P. Nunuhitu adalah seorang pendeta, terakhir tinggal di Jakarta. Ia membuat sebuh tulisan (manuscrip) pada tahun 1955, setebal enam halaman. Tulisan itu tentang “SILSILAH KELUARGA NUNUHITU”. Pada halaman pertama (1), antara lain berbunyi sebagai berikut : 

    Nunu Foe, yakni Fetor di Pulau Ndana. Anak lelakinya bernama Rondo Nunu.  Sejarah hidupnya : Nunu Foe pandai memetik Hitu (semacam sasandu bertali tujuh), maka ia digelarkan NUNUHITU, artinya MANA DETA HITU DO MANA SARI SANDU. Lalu disyairkan pula : NUNUK MANA KOKOEK ma HITU MANA MAMAKOK, artinya nunuk (pohon beringin) membujuk dengan sombar dan Hitu (sandu) menghibur dengan suaranya yang merdu. Dalam tulisan J. P. Nunuhitu ini, tidak dikatakan siapa penemu Sasandu, hanya mengatakan bahwa Nunu Foe adalah pemain sasandu yang terkenal. Sehingga digelar “NUNUHITU”. Menurut nara sumber yang lain, bahwa waktu Sangguana dkk terdampar di Ndana mereka membawa Sasandu dan karena mereka ditampung di rumah Nunu Foe, maka Nunu Foe mempelajari sasandu dari Sangguana.

    5. Benyamin Messakh, BA
    Benyamin Messakh, mula-mula adalah Camat, sudah itu sebagai Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao, sesudah itu sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kupang. Ia menulis tentang Nale Sanggu, dengan judul “PULAU NDANA” - pada tahun 1992, tebal 28 halaman. Pada halaman 20, ia menulis sbb : Waktu  Sangguana  dan Tou Lo ke Ndana, mereka membawa Sasandu. Mereka berdua bersahabat dengan Londa Lain, orang Ndana. Anak dari Londa Lain adalah Nunu Londa. Di Ndana kedua orang ini biasa bermain Sasandu; banyak orang Ndana merasa senang dengan kehadiran kedua oknum ini. Raja menyuruh orang menjemput mereka berdua untuk menghibur keluarga Istana.  Puteri raja jatuh cinta pada Sangguana. Raja dan rakyat Ndana marah, lalu mereka berencana membunuh Sangguana dan Tou Lo. Rencana pemerintah dan rakyat itu secara diam-diam Nunu Londa sampaikan kepada kedua oknum tersebut. Mendengar laporan Nunu Londa, Sangguana dan Tou Lo berunding dan sesuai hasil kesepakatan, Tou Lo segera melarikan diri ke Rote sekaligus untuk menyampaikan berita itu kepada keluarga mereka. Kemudian Sangguana dieksekusi.

    6.  Jakobis N. S. Messakh 
         Bapak Jakobis N. S. Messakh adalah seorang ‘mane ana’ (ningrat), meninggal pada tahun 1998 dalam usia 86 tahun. Beliau ini adalah salah seorang pemain sasandu yang handal. Ayahnya adalah salah satu raja dari kerajaan Thie. Tulisan beliau (tulisan tangan) berjudul “SEJARAH PULAU NDANA” (1997) – tebal : 53 halaman. Isi tulisannya antara lain tentang penduduk Pulau Ndana, terdamparnya Sangguana dan Tou Lo di Ndana,dll. Mengenai Sangguana dan Tou Lo, ia katakan antara lain sebagai berikut : Pada tahun 1640, Sangguana dan Tou Lo pergi memancing ikan di laut dengan membawa Sasandu. Lalu timbullah hujan disertai topan lalu mereka terdampar ke Pulau Ndana dan melindungkan diri di dalam sebuah gua. Karena lapar maka mereka pergi ke sebuah kebun untuk mengambil jagung untuk dibakar supaya makan. Mereka dipergoki oleh tuan kebun  yang bernama Londa Lain. Setelah kedua oknum ini menceriterakan musibah yang mereka alami, tuan kebun memaafkan keduanya, lalu Londa Lain membawa kedua oknum ini ke rumahnya untuk ditampung. Di rumah Londa Lain, tiap malam Sangguana dan Tou Lo selalu bermain Sasandu. Kehadiran kedua oknum ini disertai kepintaran mereka dalam bermain sasandu, tersiar, lalu tiap malam orang Ndana pergi ke rumah Londa Lain untuk menonton. Raja Ndana pun mengetahui berita itu lalu kedua oknum ini dipanggil ke Istana untuk menghibur keluarga Istana. Kepintaran kedua oknum ini dalam bermain sasandu, membuat dua puteri raja Ndana jatuh cinta pada mereka. Percintaan mereka sudah terlalu dalam sehingga sulit dipisahkan. Raja mengetahui percintaan mereka dan menyetujuinya. Menurut raja bahwa bila kedua puteri kawin dengan kedua oknum ini, maka alat musik itu (sasandu) akan menjadi milik rakyat Ndana. Namun, keluarga Istana yang lainnya dan rakyat Ndana tidak setuju. Lalu suatu pertemuan rahasia dilakukan antara raja dan rakyat Ndana dan hasilnya ialah kedua oknum ini harus dibunuh supaya kedua puteri bisa diselamatkan/dipisahkan dari percintaan itu. Lalu Sangguana dan Tou Lo dieksekusi mati secara diam-diam sehingga tidak diketahui oleh kedua puteri. 

             7. Djony Theedenz
    Bapak Djony Theedenz adalah salah seorang pegawai mula-mula pada Dinas PK Prop. NTT, kemudian pada Dinas Pariwisata Prop. NTT. Mengenai Sasandu, beliau ulas dalam tulisannya yang berjudul “Pedoman Permainan Sasando” (1996). Menurut Bapak Djony Theedenz, bahwa selain dari versi Jusuf Nggebu, terdapat versi lain lagi bahwa penemu Sasandu adalah dua orang sahabat, yaitu Lunggi Lain dan Baloama Sina. Berdasarkan penelusuran saya (Paul A. Haning) atas silsilah Lunggi Lain dan Baloama Sina, ternyata Lunggi Lain adalah generasi yang ke-5 dari seorang moyang yang bernama Bula Kai. Bula Kai lahir pada abad ke-14 Masehi. Anak dari Lunggi Lain adalah Bola Lunggi dan anak dari Bola Lunggi adalah Kale Bola. Selanjutnya anak dari Baloama Sina adalah Pao Balo dan anak dari Pao Balo adalah Lote Pao. Walaupun Djony Theedenz mengatakan bahwa Lunggi Lain dan Baloama Sina diduga sebagai penemu Sasandu, namun sumber lain (Sem Ndun dan St. J. Merukh) mengatakan bahwa keluarga tersebut hanya pandai bermain sasandu.  

    8. Paul A. Haning
    Paul A. Haning (saya – penulis naskah ini), telah menulis sebuah buku dengan judul SASASNDU : Alat Musik Tradisional Masyarakat Rote Ndao. Buku ini telah dicetak oleh Penerbit CV Kairos Kupang pada tahun 1909, tebal 90 halaman. Oleh karena nara sumber saya yang utama adalah Bapak-Bapak : Semuel Ndun, St. J. Merukh, dan Yakobis N. S. Messakh, maka tulisan saya tidak berbeda jauh dari mereka.
    Kalau kita simak tulisan dari bapak-bapak tersebut di atas, maka  :
    a.       Versi bapak Jusuf Nggebu dan Bapak Djony Theedenz hampir sama.
    b.      Versi bapak-bapak : Semuel Ndun, St, J. Merukh, D. J. Messakh, J. P. Nunuhitu, Benyamin Messakh, BA, dan Jakobis N. S. Messakh sangat berdekatan.
    c.       Menurut versi bapak Benyamin Messakh, BA dan bapak Jakobis S. N. Messakh, bahwa waktu Sangguana dan Tou Lo pergi mengail mereka membawa alat musik Sasandu. Memang sesuai ceritera turun-temurun di masyarakat Thie bahwa kedua oknum ini adalah musikus dan kalau mereka pergi mengail membawa musik sasandu dan bila beristirahat, mereka biasa menghibur diri dengan musik sasandu.
    d.       Menurut versi  bapak Jusuf Nggebu, bahwa karena Sangguana dapat menciptakan alat musik yang diinginkan oleh sang puteri maka hubungan cinta berlangsung dengan mulus, sebaliknya sesuai versi dari bapak yang lain itu bahwa Sangguana dan juga Tou Lo dihukum mati karena mereka melakukan hal yang tidak senonoh terhadap puteri/kedua puteri raja.
    e.      Oleh karena terjadi pembunuhan terhadap Sangguana dan Tou Lo oleh raja Ndana dan rakyatnya, maka 20-an tahun kemudian Nale Sanggu (anak dari Sangguana) memusnahkan penduduk Ndana, sebagai balas dendam atas terbunuhnya ayahnya dan pamannya oleh raja dan rakyat Ndana.
    Memang umumnya masyarakat Thie tidak pernah memikirkan siapa penemu alat musik ini. Yang mereka ketahui hanya tentang peristiwa pembunuhan Sangguana dan Tou Lo yaitu bahwa karena kedua oknum ini adalah pemain sasandu yang handal sehingg
    a.       menjadi rebutan puteri-puteri raja Ndana bahkan menghamili mereka, akibatnya keduanya dieksekusi mati.
    Kecuali Bapak Djony Theedenz, tujuh nara sumber tersebut di atas adalah orang Thie dan Sangguana pun orang Thie sehingga bisa saja mereka setuju dengan versi bapak Jusuf Nggebu, namun mereka mengemukakan apa yang dialami atau diketahui dan dirasakan sebagai suatu kebenaran ilmiah. Selanjutnya mengenai Pupuk Soroba, dia tidak mempunyai turunan, hanya pamannya (Leto Selan), yaitu saudara dari Soroba Selan (ayah dari Pupuk Soroba), mempunyai turunan. Mereka merupakan salah satu cabang dari suku/klen Le’e di kerajaan/nusak Thie. Turunan cabang ini dalam klen Le’e memakai nama keluarga/fam : Naru, Da’i, Mbado, Rasa, Talo.
                Sejarah pengembangan/pelestarian alat musik ini dari dahulu sampai kini umumnya dilakukan oleh Orang Thie. Semoga peminat musik dari nusak/daerah lain pun turut mengembangkan alat musik ini dan lebih dari itu kita berharap agar alat musik ini diakui oleh UNESCO sebagai aset budaya bangsa Indonesia. 
  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +