SASANDU bukan saja milik orang Rote tetapi merupakan milik orang NTT bahkan milik bangsa Indonesia. Alat musik tradisional ini pun telah dikenal oleh manca negara bahkan bukan saja dikenal tetapi sangat diminati untuk dijadikan sebagai sofenir. Juga tidak saja dapat dimainkan oleh pemusik asal Rote Ndao atau NTT tetapi dapat dimainkan juga oleh pemusik etnis lain.
Bahkan Bapak Susilo Bambang
Yudhoyono memberikan apresiasi yang besar terhadap alat musik tradisional ini
dan menganjurkan untuk dijadikan sebagai aset budaya bangsa Indonesia. Oleh
karena itu pada masa jabatannya yang kedua sebagai Presiden RI, beliau
memasukkan festifal musik sasandu sebagai salah satu agenda penting dalam
merealisasikan program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II di bidang
kebudayaan, lalu dibentuk sebuah kepanitiaan, disebut Panitia Festifal Sasando
Piala Presiden RI Tahun 2009. Tempat pelaksanaan festifal itu di Kota
Kupang dan berlangsung dari tanggal
17-19 Desember 2009.
Walaupun Sasandu sudah dikenal
bahkan terkenal, juga rencana pemerintah akan dipatenkan, namun belum dikenal
secara pasti siapa penemu Sasandu. Kini timbul banyak versi tentang penemu
Sasandu. Masing-masing mengklaim bahwa versinya yang betul.
Di bawah ini saya kemukakan beberapa
versi/sumber yang menyangkut penemu Sasandu. Saya pun kemukakan beberapa
tulisan yang menyangkut Sasandu ataupun menyangkut Pulau Ndana yang menurut
beberapa pihak bahwa Sasandu ditemukan di pulau tersebut. Versi/sumber-sumber
tersebut adalah sebagai berikut :
Bapak Jusuf Nggebu adalah
pensiunan guru. Beliau adalah pemain Sasandu yang handal. Versinya tentang
penemu Sasandu dimuat di surat kabar lokal sehingga diketahui oleh banyak
orang. Versinya sebagai berikut : Sangguana
(bersama kawannya : Manukoa – orang Delha) terdampar di Pulau Ndana, saat
mereka pergi melaut. Ia bersama temannya dibawa oleh orang Ndana untuk
menghadap raja lalu tinggal di Istana. Selama tinggal di Istana diketahui bahwa
ia mempunyai bakat seni. Karena bakatnya itu, maka puteri raja Ndana terpikat
lalu mereka berpacaran. Untuk mewujudkan cinta mereka, sang puteri meminta pada
Sangguana agar ia ciptakan suatu alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam,
Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat musik yang indah baik bentuk
maupun suaranya/bunyinya. Diilhami mimpi tersebut, Sangguana ciptakan alat
musik yang ia beri nama sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya,
Sang Puteri bertanya, lagu apa yang dimainkan, lalu Sangguana menjawab,” Sari
Sandu”. Alat musik itupun ia berikan kepada Sang Puteri yang kemudian
menamakannya Depo Hitu, yang artinya ‘sekali dipetik tuju dawai bergetar’.
Bapak Semuel Ndun adalah seorang “Manahelo”
(ahli silsilah dan penyair), lahir pada permulaan tahun 1900, dan meninggal
pada tahun 1996). Ia adalah Manahelo yang handal dii seluruh Kerajaan Thie
bahkan di Rote bagian barat. Bapak St. J. Merukh adalah seorang pensiunan
pendeta, lahir pada tahun 1872 dan meninggal pada tahun 1956. Keduanya
mengatakan bahwa penemu Sasandu adalah Pupuk
Soroba, lahir pada permulaan abad ke-13. Selanjutnya Bapak St. J. Merukh
mengatakan bahwa ayah dari Pupuk Soroba adalah Soroba Selan dan ibunya bernama
Koa Tande. Soroba Selan bersaudara kandung dengan Leto Selan. Turunan Leto
Selan masuk suku/klen Le’e (Thie), sedang Soroba Selan tidak mempunyai
turunan. Moyang pertama orang Rote/Ndao bernama Dae Dini, lahir pada permulaan
abad pertama Masehi. Dari Dae Dini sampai pada Soroba Selan sudah terdapat 49
generasi. Dan dari Soroba Selan sampai pada Sangguana Nale terdapat 10
generasi. Dari Dae Dini sampai pada generasi kini adalah generasi ke-80 sampai
ke generasi ke-83. Sebelum Sasandu ditemukan, pada abad ke-12 gong dan tambur
telah ditemukan oleh dua orang kakak beradik yaitu Liti Leang (gong ) dan Batu
Leang (tambur). Mula-mula Pupuk Soroba terinspirasi waktu melihat seekor
laba-laba yang besar sedang asyik memainkan jaring (sarangnya) sehingga
terdengar alunan bunyi yang indah. Melihat itu ia ingin menciptakan suatu alat
yang dapat mengeluarkan bunyi yang indah. Lalu mula-mula ia mencungkil
lidi-lidi dari setangkai daun gewang yang mentah lalu disenda (ganjal)sudah itu
dipetik dan ternyata dapat mengeluarkan bunyi yang indah. Namun ia belum puas,
lalu diambilnya seruas bambu dan disayat/dicungkil kulitnya kecil-kecil,
menyerupai jaring laba-laba/senar lalu disenda/diganjal. Nada-nada pada
dawai-dawai yang diganjal itu disesuaikan dengan nada-nada pada gong hasil
ciptaan Liti Leang. Di waktu kemudian kulit bambu tidak lagi dicungkil tetapi
dibuat senar. Mula-mula senar dibuat dari serat kulit akar gantung pohon
beringin dan ruas bambu dipasang pada haik.
Kemudian senar dari serat kulit beringin diganti lagi dengan usus musang yang
diiris halus. Setelah masuknya hasil industri modern, senar dibuat dari senar
yang biasa dipakai pada mata kail dan setelah masuknya kawat halus, senar
diganti dengan kawat halus (kawat gitar). Mula-mula alat musik ini disebut
sandu atau sanu (sesuai ejaan beberapa dialek di Rote). Arti dari kata sandu
(sanu) ialah meregang, menarik-narik atau meronta-ronta. Pada tahun 1970-an
alat musik ini disebut sasandu, asal dari kata ulang sandu-sandu, yang artinya
beronta-ronta atau bergetaran. Kemudian setelah dibangunnya hotel “Sasando” di
Kupang, mungkin orang Kupang menyangka bahwa nama alat musik ini, adalah
sasando, lalu orang Kupang menyebut Sasando.
3. D. J. Messakh
Bapak D. J.
Messakh lahir dan besar di Rote. Kemudian menjadi guru di Makasar. Beliau adalah
penulis buku ”ANAK MEMBELA BAPAK”, terbitan Balai Pustaka- Tahun 1925. Isi
bukunya adalah tentang sejarah pemusnahan Kerajaan Ndana oleh Nale Sanggu (anak
dari Sangguana Nale). Dalam bukunya, ia tidak menceriterakan tentang Sasandu,
tetapi banyak berceritera tentang Nale Sanggu (anak dari Sangguana Nale).
Dikatakan bahwa Tou Lo bersama anaknya Sangguana dan seorang kawan lagi pergi
mengail lalu terdampar di Ndana karena diterpa angin topan. Ketiganya bersembunyi di Luapesi (halaman
19). Setelah raja Ndana mengetahui Sangguana bersama yang lainnya berada di
Ndana, ia menyuruh Rondo Nunu pergi menjemput mereka. Lalu Sangguana mengajar
orang Ndana berbagai pengetahuan (halaman 51). Raja mempunyai dua orang puteri.
Kedua puteri jatuh cinta pada Sangguana, lalu mereka membujuk Sangguana agar
mereka lari ke Rote untuk urus kawin. Raja mengetahui masalah ini lalu ketiga
orang Rote itu dimasukan ke dalam bui dan segera dieksekusi mati. Pada hari
yang ketujuh mereka dieksekusi mati, sesudah itu Rondo Nunu ke Rote untuk
menyampaikan berita duka itu kepada keluarga ketiga oknum tsb (halaman 54-55).
Setelah Nale Sanggu (anak dari Sangguana Nale) besar, ia membalas kematian
ayahnya, yaitu ia memusnahkanpenduduk Pulau Ndana (halaman 64-68).
Nunu Foe, yakni
Fetor di Pulau Ndana. Anak lelakinya bernama Rondo Nunu. Sejarah hidupnya : Nunu Foe pandai memetik
Hitu (semacam sasandu bertali tujuh), maka ia digelarkan NUNUHITU, artinya MANA
DETA HITU DO MANA SARI SANDU. Lalu disyairkan pula : NUNUK MANA KOKOEK ma HITU
MANA MAMAKOK, artinya nunuk (pohon beringin) membujuk dengan sombar dan Hitu
(sandu) menghibur dengan suaranya yang merdu. Dalam tulisan J. P. Nunuhitu ini,
tidak dikatakan siapa penemu Sasandu, hanya mengatakan bahwa Nunu Foe adalah
pemain sasandu yang terkenal. Sehingga digelar “NUNUHITU”. Menurut nara sumber
yang lain, bahwa waktu Sangguana dkk terdampar di Ndana mereka membawa Sasandu
dan karena mereka ditampung di rumah Nunu Foe, maka Nunu Foe mempelajari
sasandu dari Sangguana.
Benyamin
Messakh, mula-mula adalah Camat, sudah itu sebagai Pembantu Bupati Kupang untuk
Rote Ndao, sesudah itu sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kupang. Ia
menulis tentang Nale Sanggu, dengan judul “PULAU NDANA” - pada tahun 1992,
tebal 28 halaman. Pada halaman 20, ia menulis sbb : Waktu Sangguana
dan Tou Lo ke Ndana, mereka membawa Sasandu. Mereka berdua bersahabat
dengan Londa Lain, orang Ndana. Anak dari Londa Lain adalah Nunu Londa. Di
Ndana kedua orang ini biasa bermain Sasandu; banyak orang Ndana merasa senang
dengan kehadiran kedua oknum ini. Raja menyuruh orang menjemput mereka berdua
untuk menghibur keluarga Istana. Puteri
raja jatuh cinta pada Sangguana. Raja dan rakyat Ndana marah, lalu mereka
berencana membunuh Sangguana dan Tou Lo. Rencana pemerintah dan rakyat itu
secara diam-diam Nunu Londa sampaikan kepada kedua oknum tersebut. Mendengar
laporan Nunu Londa, Sangguana dan Tou Lo berunding dan sesuai hasil
kesepakatan, Tou Lo segera melarikan diri ke Rote sekaligus untuk menyampaikan
berita itu kepada keluarga mereka. Kemudian Sangguana dieksekusi.
Bapak Jakobis N. S. Messakh adalah seorang ‘mane
ana’ (ningrat), meninggal pada tahun 1998 dalam usia 86 tahun. Beliau ini
adalah salah seorang pemain sasandu yang handal. Ayahnya adalah salah satu raja
dari kerajaan Thie. Tulisan beliau (tulisan tangan) berjudul “SEJARAH PULAU
NDANA” (1997) – tebal : 53 halaman. Isi tulisannya antara lain tentang penduduk
Pulau Ndana, terdamparnya Sangguana dan Tou Lo di Ndana,dll. Mengenai Sangguana
dan Tou Lo, ia katakan antara lain sebagai berikut : Pada tahun 1640, Sangguana
dan Tou Lo pergi memancing ikan di laut dengan membawa Sasandu. Lalu timbullah
hujan disertai topan lalu mereka terdampar ke Pulau Ndana dan melindungkan diri
di dalam sebuah gua. Karena lapar maka mereka pergi ke sebuah kebun untuk
mengambil jagung untuk dibakar supaya makan. Mereka dipergoki oleh tuan
kebun yang bernama Londa Lain. Setelah
kedua oknum ini menceriterakan musibah yang mereka alami, tuan kebun memaafkan
keduanya, lalu Londa Lain membawa kedua oknum ini ke rumahnya untuk ditampung.
Di rumah Londa Lain, tiap malam Sangguana dan Tou Lo selalu bermain Sasandu.
Kehadiran kedua oknum ini disertai kepintaran mereka dalam bermain sasandu,
tersiar, lalu tiap malam orang Ndana pergi ke rumah Londa Lain untuk menonton.
Raja Ndana pun mengetahui berita itu lalu kedua oknum ini dipanggil ke Istana
untuk menghibur keluarga Istana. Kepintaran kedua oknum ini dalam bermain
sasandu, membuat dua puteri raja Ndana jatuh cinta pada mereka. Percintaan
mereka sudah terlalu dalam sehingga sulit dipisahkan. Raja mengetahui
percintaan mereka dan menyetujuinya. Menurut raja bahwa bila kedua puteri kawin
dengan kedua oknum ini, maka alat musik itu (sasandu) akan menjadi milik
rakyat Ndana. Namun, keluarga Istana yang lainnya dan rakyat Ndana tidak
setuju. Lalu suatu pertemuan rahasia dilakukan antara raja dan rakyat Ndana dan
hasilnya ialah kedua oknum ini harus dibunuh supaya kedua puteri bisa
diselamatkan/dipisahkan dari percintaan itu. Lalu Sangguana dan Tou Lo
dieksekusi mati secara diam-diam sehingga tidak diketahui oleh kedua puteri.
7. Djony
Theedenz
Bapak Djony
Theedenz adalah salah seorang pegawai mula-mula pada Dinas PK Prop. NTT,
kemudian pada Dinas Pariwisata Prop. NTT. Mengenai Sasandu, beliau ulas dalam
tulisannya yang berjudul “Pedoman Permainan Sasando” (1996). Menurut Bapak
Djony Theedenz, bahwa selain dari versi Jusuf Nggebu, terdapat versi lain lagi
bahwa penemu Sasandu adalah dua orang sahabat, yaitu Lunggi Lain dan Baloama
Sina. Berdasarkan penelusuran saya (Paul A. Haning) atas silsilah Lunggi Lain
dan Baloama Sina, ternyata Lunggi Lain adalah generasi yang ke-5 dari seorang
moyang yang bernama Bula Kai. Bula Kai lahir pada abad ke-14 Masehi. Anak dari
Lunggi Lain adalah Bola Lunggi dan anak dari Bola Lunggi adalah Kale Bola.
Selanjutnya anak dari Baloama Sina adalah Pao Balo dan anak dari Pao Balo
adalah Lote Pao. Walaupun Djony Theedenz mengatakan bahwa Lunggi Lain dan
Baloama Sina diduga sebagai penemu Sasandu, namun sumber lain (Sem Ndun dan St.
J. Merukh) mengatakan bahwa keluarga tersebut hanya pandai bermain
sasandu.
Paul A. Haning
(saya – penulis naskah ini), telah menulis sebuah buku dengan judul SASASNDU :
Alat Musik Tradisional Masyarakat Rote Ndao. Buku ini telah dicetak oleh
Penerbit CV Kairos Kupang pada tahun 1909, tebal 90 halaman. Oleh karena nara
sumber saya yang utama adalah Bapak-Bapak : Semuel Ndun, St. J. Merukh, dan
Yakobis N. S. Messakh, maka tulisan saya tidak berbeda jauh dari mereka.
Kalau kita simak
tulisan dari bapak-bapak tersebut di atas, maka
:
a.
Versi bapak Jusuf Nggebu dan Bapak Djony
Theedenz hampir sama.
b.
Versi bapak-bapak : Semuel Ndun, St, J. Merukh,
D. J. Messakh, J. P. Nunuhitu, Benyamin Messakh, BA, dan Jakobis N. S. Messakh
sangat berdekatan.
c.
Menurut versi bapak Benyamin Messakh, BA dan
bapak Jakobis S. N. Messakh, bahwa waktu Sangguana dan Tou Lo pergi mengail
mereka membawa alat musik Sasandu. Memang sesuai ceritera turun-temurun di
masyarakat Thie bahwa kedua oknum ini adalah musikus dan kalau mereka pergi
mengail membawa musik sasandu dan bila beristirahat, mereka biasa menghibur
diri dengan musik sasandu.
d.
Menurut
versi bapak Jusuf Nggebu, bahwa karena
Sangguana dapat menciptakan alat musik yang diinginkan oleh sang puteri maka
hubungan cinta berlangsung dengan mulus, sebaliknya sesuai versi dari bapak
yang lain itu bahwa Sangguana dan juga Tou Lo dihukum mati karena mereka
melakukan hal yang tidak senonoh terhadap puteri/kedua puteri raja.
e.
Oleh karena terjadi pembunuhan terhadap
Sangguana dan Tou Lo oleh raja Ndana dan rakyatnya, maka 20-an tahun kemudian
Nale Sanggu (anak dari Sangguana) memusnahkan penduduk Ndana, sebagai balas
dendam atas terbunuhnya ayahnya dan pamannya oleh raja dan rakyat Ndana.
Memang umumnya masyarakat Thie tidak pernah
memikirkan siapa penemu alat musik ini. Yang mereka ketahui hanya tentang
peristiwa pembunuhan Sangguana dan Tou Lo yaitu bahwa karena kedua oknum ini
adalah pemain sasandu yang handal sehingg
a.
menjadi rebutan puteri-puteri raja Ndana bahkan
menghamili mereka, akibatnya keduanya dieksekusi mati.
Kecuali Bapak Djony Theedenz, tujuh nara sumber tersebut di
atas adalah orang Thie dan Sangguana pun orang Thie sehingga bisa saja mereka
setuju dengan versi bapak Jusuf Nggebu, namun mereka mengemukakan apa yang
dialami atau diketahui dan dirasakan sebagai suatu kebenaran ilmiah.
Selanjutnya mengenai Pupuk Soroba, dia tidak mempunyai turunan, hanya pamannya
(Leto Selan), yaitu saudara dari Soroba Selan (ayah dari Pupuk Soroba),
mempunyai turunan. Mereka merupakan salah satu cabang dari suku/klen Le’e di
kerajaan/nusak Thie. Turunan cabang ini dalam klen Le’e memakai nama
keluarga/fam : Naru, Da’i, Mbado, Rasa, Talo.
Sejarah pengembangan/pelestarian
alat musik ini dari dahulu sampai kini umumnya dilakukan oleh Orang Thie.
Semoga peminat musik dari nusak/daerah lain pun turut mengembangkan alat musik
ini dan lebih dari itu kita berharap agar alat musik ini diakui oleh UNESCO
sebagai aset budaya bangsa Indonesia.