Sekilas Tentang Rote Ndao!!

Senin, 29 Juni 2015

  • PEMERINTAHAN ADAT ETNIS ROTE NDAO

    Pemerintahan adat ETNIS ROTE NDAO

     Peta Nusak    Keadaan masyarakat atau suku bangsa Rote-Ndao sebelum datangnya pengaruh luar sudah merupakan suatu masyarakat yang teratur, tersusun rapi dalam suatu lingkungan adat-istiadat. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai lembaga adat maupun tata-cara suatu tradisi berupa upacara-upacara adat dalam suatu pemerintahan asli. Pembagian tugas serta kekuasaan diatur secara baik dan jelas. Tugas dan jabatan meliputi berbagai aspek baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya, termasuk religi.
         Penduduk Pulau Rote/Ndao berkelompok berdasarkan cabang-cabang keturunan dan mendiami suatu wilayah tertentu. Wilayah-wilayah pemukiman itu adalah wilayah genealogis teritorial, disebut ‘nusak’. Terakhir terdapat 19 nusak/kerajaan.
                Pada mulanya pemimpin kelompok genealogis (nusak) disebut amak (bapak) yang dituakan (primus inter pares), atau mana lolo bote do mana tada tena (sebagai gembala). Disebut juga mane la’i (istilah di Thie, dll). Sebaliknya pemimpin komunitas yang berjenis kelamin perempuan atau figur perempuan yang dianggap sebagai pemimpin kelompok disebut ina lia.
    Dalam perjalanan sejarahnya peran dan fungsi mane la’i terus berkembang. Kalau dahulu hanyalah sebagai pelindung, kemudian disamping sebagai pelindung, sekaligus juga  sebagai penata, pembina, dan pemelihara kelompok. Pada tahap ini pemimpin kelompok yaitu mane la’i dan/atau ina lia mendapat gelaran/sebutan manek. Manek dibantu oleh fetor (wakil manek). Kata manek berasal dari mane/mone yang artinya laki-laki atau jantan dan kata fetor berasal dari feto yang berarti saudara perempuan atau gadis atau betina. Kini terminologi ‘mane la’i’ dan ‘ina lia’ serta mana lolo bote do mana tada tena masih diper-gunakan untuk seseorang senior yang dipandang sebagai pemimpin suatu komunitas/keluarga.
    Manek memegang tampuk pemerintahan yang tertinggi dalam wilayah nusak, dengan dibantu oleh fetor. Jadi manek dan fetor merupakan lembaga tertinggi negara. Figur kedua kelembagaan ini melambangkan/sebagai ayah dan ibu bagi rakyat. Dalam tangan mereka terdapat kekuasaan dan kekerasan, sekaligus kasih dan kelembutan. Manek adalah lambang bagi laki-laki atau ayah dan fetor (feto) adalah lambang bagi perempuan atau ibu. Yang menjabat fetor bukan haruslah figur perempuan. Dalam perjalanan pemerintahan adat di Rote Ndao belum ada figur perempuan yang diberi kedudukan sebagai fetor. Sedang untuk jabatan manek, seorang perempuan sudah pernah diangkat menjadi Manek, yaitu Abe Sain, anak dari Sai Batu, cucu dari Batu Bela Bulan, buyut dari Bula Kai. Ia adalah manek/raja dari nusak/kerajaan Ringgou, menjadi raja pada permulaan abad ke-15 M. Kolam renang raja/ratu ini bernama “Batu Bela do Londa Lusi”.
     Manek/raja menjalankan roda pemerintahan termasuk urusan luar negeri, sedang Fetor menangani urusan dalam negeri serta urusan rumah tangga. Ada penulis yang mengatakan bahwa fetor mengepalai sebuah wilayah yang terdiri dari gabungan antara kampung-kampung. Daerah-daerah yang bergabung ini disebut kefetoran. Namun sepanjang pemeritahan adat di Rote Ndao, bahwa fetor tidak mempunyai wilayah pemerintahan sendiri karena  ia sebagai wakil manek/raja. Ada pula penulis yamg lain mengatakan bahwa fetor tidak punya kontribusi dalam pemerintahan. Pada hal dalam sejarah pemerintahan adat di Rote Ndao, fetor menangani sektor-sektor tertentu. Penulis menemukan suatu dokumen (surat) di eks Kerajaan Thie, bertanggal 14 April 1913, dari fetor Thie (Arnold Manafe), ditujukan kepada raja Thie (Salmun Jonas Nikolas Messakh) yang isinya menyatakan bahwa Fetor Thie (Arnolus Manafe) meminta berhenti sebagai fetor dan karena belum segera diangkat fetor yang baru, maka tugas fetor yang meliputi perpajakan, pertanian, dll, untuk sementara ditangani oleh Juru Tulis Kerajaan Thie pada masa itu, yaitu Danial Pah alias Ndolu Pah.
     Arti feto/r selain adalah perempuan, juga secara simbolis adalah saudara perempuan bala rakyat maupun saudara perempuan manek. Sesuai adat, dalam pergaulan antara saudara perempuan dan saudara laki-laki terdapat perasaan sungkan. Oleh karena sebagai saudara perempuan manek, maka antara kedua figur pimpinan ini saling sungkan. Maksudnya dalam urusan pemerintahan negara (nusak/kerajaan), manek tidak boleh memperlakukan fetor secara sewenang-wenang, misalnya memonopoli semua urusan pemerintahan sehingga fetor hanya dijadikan sebagai “ban reserve”.
     Nusak berasal dari kata nusa yang mengandung pengertian : 1). Bila dilihat dari segi kepemilikan tanah, maka berarti tanah suku (tanah ulayat); 2). Bila dilihat dari segi komunitas maka secara tersirat berarti subsuku/suku/bangsa; 3). Bila dilihat dari segi ketatanegaraan, maka berarti organisasi pemerintahan atau negara/negeri; dan 4). Bila dilihat dari segi geografis, maka berarti wilayah atau pulau.
      Setelah masyarakat nusak bertambah banyak populasinya maka dibagi atas leo-leo dan mendiami suatu wilayah desa (nggorok/ngolok/korok) tertentu. Sesudah itu tiap suku/leo diangkat seorang kepala suku yang disebut mane leo (arti harfiahnya ialah raja suku). Setelah masuknya Belanda, maneleo tidak saja mengurus adat, tetapi juga merangkap pemerintahan negeri. Pada tahap ini maneleo disebut juga manesio (arti harfiahnya ialah ‘raja sembilan’). Disebut raja sembilan karena setelah dibebani dengan tugas-tugas negeri maka tugasnya menjadi banyak. Angka 9 (sembilan adalah angka puncak). Di bawah maneleo/manesio terdapat langgak (mane nggorok) dan dibawah langgak terdapat lasin.      
            Selain dari pemerintahan adat, terdapat pula lembaga-lembaga lainnya, seperti mane dombe/dope (raja pisau (harfiah) : jaksa adat), mana ke atau mana nggero fura (hakim adat), mane dae langgak (kepala pertanahan), mane raraa/lalaa (pengurus kompleks persawahan), mane mok (penegak hukum dalam bidang perkebunan, perladangan), mana horo/mana hopu papadak (penegak hukum dalam bidang pengairan, kelautan, kehutanan, dan tanaman umur panjang), mana helo (pujangga/ahli silsilah/penyair), mana kila oe (distributor air), dll.
            Penuntutan perkara dilakukan oleh mane dombe; pejabat ini disebut raja pisau karena tuntutannya bagaikan pisau tajam yang menikam. Sedang hakim adat disebut mana ke atau mana nggero fura. Arti ke atau nggero ialah memenggal dan arti fura ialah menyayat menjadi lurus atau rata. Setelah dipotong atau dipenggal maka harus disayat menjadi rata atau lurus sehingga tampaknya indah. Dalam hal ini walaupun tuntutan jaksa sangat menusuk perasaan, namun diharapkan hakim bertindak atau berlaku adil sehingga mendatangkan kepuasan.    
    Mane dae langgak menentukan jadwal penanaman pada saat musim hujan dan sebagai saksi ahli dalam masalah pertanahan. Ia lebih mengetahui historis tanah-tanah dalam nusak. Mane raraa/lalaa mengawasi tanaman padi dalam kompleks persawahan, menentukan sanksi bagi pemilik hewan yang merusak tanaman padi, menentukan tinggi pagar di kompleks persawahan, dll. Mane mok menentukan tinggi pagar kebun/ladang dan sawah yang tidak terdapat dalam kompleks persawahan. Juga menentukan sanksi bagi pemilik hewan yang merusak tanaman di sawah/ladang, kebun. Mana horo menentukan sanksi bagi oknum yang melanggar ketentuan yang berhubungan dengan bidang tugasnya. Mana helo biasanya menghadiri kematian orang orang tua dan orang-orang terhormat untuk mengisahkan silsilah dari mendiang dalam gaya bernyanyi (helo). Juga mengucapkan syair-syair yang berhubungan dengan kematian serta syair-syair yang bernuansa hiburan bagi keluarga mendiang. Mana kila oe mengurus pendistribusian air kepada pemilik sawah. Jaminannya berupa padi pada saat panen.  
              Sistem demokrasi juga telah dikenal dan telah dipraktekan oleh orang Rote Ndao sejak dulu kala. Untuk mengambil suatu keputusan dilakukan dalam musyawarah. Peserta musyawarah terdiri dari para pejabat/fungsionaris adat dan tua tua adat (lasi hadak). 
       Di Rote Ndao, suku-suku/klen (leo) tertentu pun berfungsi sebagai dewan legeslatif yang tugasnya ialah mengangkat raja dan menurunkan raja bila melakukan sesuatu kesalahan yang mendasar dalam menjalankan tugasnya. Antara lain, di nusak Ba’a, sebagai dewan legeslatif adalah suku-suku : Ene, Modok, Nggi, dan Felama. Juga di nusak Thie, terdapat empat suku yang berfungsi sebagai dewan legeslatif, yaitu Todefeo, Nalefeo, Mesafeo, dan Ndanafeo. Gabungan keempat suku ini disebut “Leo Boru Anan”.
    Di Thie bila seseorang raja melakukan sesuatu kesalahan dalam jabatannya sehingga tidak lagi didukung oleh rakyat maka Leo Boru Anan menyembelih seekor kuda jantan, diambilnya kaki muka sebelah kanan, dikeluarkan kukunya lalu kaki kuda itu dikirim kepada raja yang dipandang tidak lagi didukung oleh rakyatnya. Tata cara ini disebut “ndara fangga” (kuku kuda).
    Setelah alat itu diterima oleh raja, maka ia sadar bahwa ia tidak dipercayai dan tidak didukung lagi oleh rakyat. Dengan demikian, dengan legowo ia mengundurkan diri lalu diganti dengan yang lain.  Tindakan itu adalah semacam mosi tidak percaya.
    Kuku kuda (ndara fangga) secara filosofis dianggap sebagai alas kaki yang kukuh bagi kuda untuk berjalan dan menginjak. Bila telah dikeluarkan kukunya maka si kuda tidak berdaya lagi. Begitupun bagi seorang penguasa, ia tidak kuat lagi berjalan (maksudnya tidak kuat lagi menjalankan kekuasaan) dan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menginjak (maksudnya tidak mampu lagi menghukum) karena telah dicopot otoritasnya.
           Di satu pihak Leo Boru Anan tersebut sebagai pengontrol (oposan), sedang di lain pihak juga sebagai pelindung kekuasaan dan/atau mitra pemerintah; dalam bahasa adat dikatakan “Boru Anan mana holu kadera ein” (Boru Anan yang memeluk kaki kursi). Selama Leo Boru Anan mendukung kepemimpinan raja, maka raja tidak perlu kuatir akan kedudukannya.
           Pemahaman atas ketatanegaraan orang Rote Ndao sudah tinggi. Selain dari pembagian/pemisahan kekuasaan, orang Rote Ndao pun sudah praktekkan sistim otonomi.  Kerajaan Thie, terdiri dari 26 suku/klen; mereka masing masing mendiami sebuah wilayah/desa tradisional (nggorok/ngolok/korok). Dari ke-26 klen itu, sebuah klen (disebut Leo Landu), tinggal di sebuah pulau kecil (Pulau Landu), di sebelah selatan Pulau Rote. Pada masa pemerintahan Raja Thie (Saku Nara : 1565-1600), suku tersebut diberi hak otonomi. Sedang ke-25 klen yang lainnya itu terpayungi dalam sebuah hukum adat, yaitu Hukum Adat Masyarakat Thie. Jadi dari segi pemerintahan, Leo Landu termasuk nusak/kerajaan Thie, tetapi ia tidak terpayungi dalam hukum adat nusak/kerajaan Thie; ia mengurus dirinya sendiri. Kepala Suku Leo Landu, disebut Mane Landu (Raja Landu). Selain dari daerah otonomi Pulau Landu, menurutt DR. J. J. Fox bahwa walaupun Pulau Ndao (Kerajaan Ndao) adalah negara berdaulat namun sejak tahun 1720-an kerajaan ini (Ndao) telah diperlakukan sebagai salah satu daerah kekuasaan politik yang semi otonom dari orang Rote.
            Pada masa lalu terminologi ‘otonomi’ belum diketahui/dimengerti oleh masyarakat Rote Ndao, namun praktek ketatanegaan seperti tersebut di atas, mengindikasikan bahwa mereka telah terapkan sistem otonomi melampaui zaman mereka.
            Khusus bidang eksekutif/pemerintahan stratanya pada umumnya seperti pada susunan berikut (hierarkhi turun), yaitu : manek (raja), fetor (wakil raja), maneleo/manesio (kepala suku), langgak (kepala kampung), lasin (sejenis RT), lalu rau inggu (rakyat). Namun pada tahun 1940-an, pernah ditambah dua bidang, sehingga lapisannya sebagai berikut : manek, fetor, sio leik⃰ (kepala suku kordinator), maneleo/manesio, langga ina⃰ (kepala kampung kordinator), langgak, lasin, rau inggu (rakyat). ⃰ bidang yg di +; maneleo/manesio adalah satu fugur dgn multi fungsi.


  • Sabtu, 06 Juni 2015

  • Foto Keluarga


    Opa & Oma Haning

    Delegasi Peminang Versi Asli


    Delegasi Peminang Versi Modifikasi

    Nona Erna Haning


    Nona Jane Tomeluk


  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +