BELIS
DAN KEDUDUKAN ISTERI
DALAM HUKUM ADAT ROTE NDAO
1.
Arti belis
Pemberian
belis merupakan salah satu syarat dalam perkawinan adat masyarakat Rote/Ndao. Dahulu, tidak ada suatu rumah tangga pun yang dibentuk
tanpa belis. Namun, bila si pemuda tidak berada, maka ia boleh menjalankan
suatu syarat yang disebut ‘ledi ue’ (pencurahan tenaga untuk kawin atau
perkawinan mengabdi).
Untuk syarat
ini (ledi ue), si pemuda dibolehkan untuk hidup bersama si gadis dan mereka
tinggal bersama orang tua gadis. Si pemuda harus bekerja/mencari hidup untuk
seisi rumah. Setelah dianggap sudah cukup mengabdi (bisa sampai belasan tahun)
barulah syarat itu diakhiri dan si pemuda/suami bersama isteri dan bersama
anak, jika sudah ada anak, mereka akan kembali ke lingkungan keluarga suami.
Jeri payah si pemuda selama pencurahan tenaga untuk kawin itu dianggap sebagai
pengganti belis.
Kuntjaraningrat mengatakan (1972) bahwa arti mas kawin mula-mula adalah pengganti kerugian. Setiap seorang
wanita kawin berarti suatu kelompok kehilangan tenaga potensial yang amat
penting dalam kelompok itu. Mas kawin itu harga penggantinya. Mas kawin bukan berarti harga
pembelian tetapi merupakan syarat. Oleh karena perkawinan merupakan peristiwa
sosial, maka setiap orang yang mengambil inisiatif untuk kawin haruslah
memenuhi syarat. Mas
kawin yang merupakan syarat itu
terdapat dalam seluruh bangsa di dunia. Syarat itu dapat dilihat dalam
adat-istiadat suku bangsa di dunia berupa tiga macam yaitu : 1. Mas kawin (Bride price); 2. Pencurahan tenaga untuk kawin (Bride service); 3. Pertukaran gadis (Bride exchange).
Kuntjaraningrat
mengatakan selanjutnya bahwa kalau diperhatikan
istilah-istilah dari mas kawin itu dalam bahasa daerah di Indonesia, tampak di
dalamnya mengandung arti pembelian, sungguhpun demikian kalau dikupas lebih
mendalam terbukti bahwa mas kawin itu tidak lagi sebagai harga pembelian. Sebagai syarat orang tidak bertanya lagi, `mengapa’ dan ‘untuk apa'. Ia hanya tahu bahwa itu harus dilakukan.
Selanjutnya menurut Prof. Mubyarto (1998), bahwa dalam sistem belis secara moral
bermakna bahwa belis bukan ukuran harga diri perempuan melainkan lambang hukum
adat untuk menghormati perempuan dan seluruh klen. Di
dalam belis terkandung harga diri baik pihak pemberi belis maupun penerima
belis.
Dalam masyarakat Rote terdapat dua versi mengenai arti belis. Pertama: belis atau felis asal dari kata ‘fila', yang artinya menyapih (sole). Menurut kebiasaan
bila seseorang anak telah tiba waktunya untuk disapih maka mulut anak yang
bersangkutan akan digosok dengan daun sirih dan rupanya belis itu sebagai pengganti daun sirih, karena bila seseorang
gadis telah dibawa keluar dari kaum kerabatnya (klennya) karena berumah tangga
maka yang bersangkutan dianggap telah disapih, lepas dari susu (menetek),
maksudnya lepas dari tanggung jawab orang tua dan keluarganya. Kedua : Belis berasal dari kata induk “beli”, yang berarti mahal;
“mabeli” berarti berharga atau bernilai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
karangan Poerwardaminta, bahwa arti dari kata “harga” adalah : 1. nilai suatu
barang; 2. kehormatan diri (ki); 3. guna
(arti, kepentingan, kadar). Jadi makna belis adalah “kehormatan diri” atau
“kadar/martabat diri” seseorang. Kata
beli (mahal) diparalelkan dengan kata `mba' (daging), menjadi beli mbas, yang arti harfiahnya ialah berharga/mahal dan daging, maksudnya walaupun manusia,
dalam hal ini wanita itu `nilainya' tinggi, namun dalam hal 'mas kawin' gadis tidak merupakan imbalan, tetapi imbalan belis adalah
bawaan/balasan dari pihak keluarga gadis yang berupa hewan, bahan pangan, dll.
Istilah adat untuk menyerahkan
mas kawin kepada pihak keluarga gadis, ialah fe belis', yang berarti `pemberian
yang bernilai' sedangkan istilah untuk membayar harga sesuatu barang/benda,
ialah `bae belin', yang berarti `membayar harganya'. Istilah fe belis
(memberikan belis) mengandung makna bahwa pemberian itu merupakan suatu tanda
penghargaan, sedang istilah bae belin (membayar harganya) mempunyai hubungan
dengan transaksi jual beli.
Resminya suatu perkawinan
menurut Hukum Adat Rote Ndao bila telah selesainya pemberian belis dan telah
dilaksanakan upacara nikah (dode).
2). Yang berhak menerima belis.
Menurut Hukum Adat Rote Ndao, yang berhak menuntut dan
menerima belis ialah :
a). Ama-na : Ayah dan saudara laki-laki. Ama adalah orang tua dan
na (k) adalah saudara lelaki. b). To'o : Saudara
lelaki ibu dan/atau kerabat
laki-laki dari pihak ibu. Untuk to’o, kalau terdiri dari beberapa orang, maka umumnya diprioritaskan to’o yang sulung (to’o huk).c).
laki-laki dari pihak ibu. Untuk to’o, kalau terdiri dari beberapa orang, maka umumnya diprioritaskan to’o yang sulung (to’o huk).c).
Ba'i huk : To'o (paman) ibu. d). Bei Huk : To'o (paman) ayah (berlaku di
Rote Timur).
3). Besarnya belis
Menurut Prof. G. P. Murdock yang
dikutip Kuntjaraningrat (1972), bahwa
dari berbagai masyarakat yang diselidiki di
berbagai tempat di dunia terdapat 102 masyarakat mempunyai mas kawin yang
tinggi sebagai syarat untuk kawin.
Di Rote Ndao besarnya belis
tidak sama dari tiap nusak dan karena adat itu bersifat dinamis maka selalu
diadakan perubahan sesuai perkembangan ekonomi sosial. Belis serendahnya 15 golden (mata uang Belanda dahulu) setara seekor kerbau gadis/tenak)
dan setinggi-tingginya 300 golden (setara 12 ekor kerbau
betina). Kini istilah ‘belis’, disebut ‘tanda terima kasih’ dan berupa uang
kertas. Pada umumnya hak To’o sebesar/setara seekor kerbau betina dan ba’i
huk/bei huk 1/10 dari bagian to’o. Dahulu
material yang diberikan sebagai mas kawin berupa emas (emas biasa atau emas
berupa kawat halus yang dianyam yang disebut habas), perak/golden, hewan, dll.
Dua puluh lima rupiah uang perak (golden) setara 16 gram emas (16 karat) atau
setara seekor kerbau betina.
Satuan ukuran berat emas orang
Rote Ndao mulai dari : koro (0,4 gr),
ngguse (0,8 gr), bondo (1,6 gr), oma (6,4 gr), dan batu (64 gr). Satu batu setara empat kerbau betina atau setara 100
rupiah uang perak Belanda dahulu. Agaknya teknik menganyam emas maupun satuan
ukuran berat emas orang Rote Ndao merupakan suatu pengetahuan yang sebelumnya
belum pernah ditemukan/dimiliki oleh suku bangsa lainnya.
4). Balasan belis
Belis yang diberikan oleh pihak keluarga pemuda harus dibalas, karena gadis bukan imbalan dari belis. Dalam
bahasa adat dikatakan `belis sao mba', arti
harfiahnya `belis kawin daging', maksudnya imbalan
belis adalah hewan dan lain-lain (lihat
muka). Yang berkewajiban membalas belis ialah pihak
orang tua gadis dan to’o gadis; ba’i huk dan bei huk tidak balas.
Barang-barang balasan belis, disebut ‘dododek’, terdiri dari
dua bagian, yaitu : 1). yang terdiri dari hewan, disebut ‘banda dododek’ dan 2).
yang terdiri dari barang-barang berupa bahan pangan, pakaian adat, sirih
pinang, bantal dan lain-lain, disebut ‘bua dododek’.
Menurut aturan adat nusak/kerajaan Thie dan lain-lain untuk belis senilai 25 (setara seekor kerbau betina), balasannya adalah dua ekor babi sedang, dua blek
padi/gabah, selembar selimut, selembar tikar, sebuah bantal serta sirih,
pinang, tembakau secukupnya. Bila belis besar maka akan dibawa juga kerbau atau
sapi oleh orang tua gadis sebagai balasan. Jika dibawa kerbau/sapi maka jumlah babi
dikurangi. Barang-barang ini dibawa
ke rumah pihak pemuda pada saat mengantar penganten perempuan.
Setelah sampai barang-barang itu
akan dicek oleh keluarga pihak pemuda dengan disaksikan oleh tua-tua adat
setempat. Jika balasan belis tidak memadai/tidak memenuhi
standar maka pihak keluarga gadis dicemooh, misalnya bila kerbau/sapi kecil,
dikatakan `kambing', atau babi dikatakan `tikus'. Kadang-kadang orang tua gadis
dituntut untuk memenuhi ketentuan.
5). Kedudukan isteri
Tak dapat disangkal bahwa setiap rumah tangga dari budaya
yang manapun dan dari suku/bangsa apapun pasti tidak luput dari percekcokan
(pingga manggo ratoto). Namun hal itu dapat diredam dengan nilai budaya/ungkapan-ungkapan
bermakna yang berfungsi sebagai perekat kasih sayang antarkeluarga. Dalam
bahasa Rote terdapat beberapa ungkapan yang bermakna sebagai perekat kasih sayang antara suami dan isteri.
Ungkapan-ungkapan bermakna itu, antara lain : 1). Inak tai touk ma touk tai inak (Perempuan/isteri bergantung kepada
laki-laki (suami) dan laki-laki (suami) bergantung kepada perempuan (isteri),
maksudnya suami isteri saling memerlukan, saling mendukung.
2). `Nasak soresi to hu sue sao dai lena'
(kemarahan bisa timbul, tetapi kasih sayang
terhadap suami dan/atau isteri lebih dari cukup), maksudnya walaupun timbul
konflik antara suami isteri, namun bisa dapat
diredam dengan cinta kasih. 3). `Nasak
susuek, fi'ik nemehokok' (kemarahan adalah kasih sayang, cubitan adalah
kegembiraan), maksudnya kemarahan tidak semata-mata adalah kebencian tetapi adalah kesayangan. 4). Inak langgan loe na touk botikana ma touk
langgan loe na inak so’ukana (Kepala perempuan/isteri merunduk,
laki-laki/suami angkat dan kepala lai-laki/suami merunduk perempuan/isteri
tegakan) maksudnya suami isteri saling menolong bila salah seorang menemui
suatu masalah. 5). Suami dan/atau isteri, disebut seserin. Arti seserin ialah ‘belahan tubuhnya’. Jadi isteri adalah
belahan tubuh dari suami dan suami adalah belahan tubuh dari isteri, maksudnya suami
dan isteri merupakan suatu kesatuan. 6). Tou mane mana tungga sanggak ma Ina
kakana mana na'a mudak (Laki-laki/suami
biasa mencari sedang wanita/isteri hanya makan gampang seperti anak
kecil). Laki-laki disebut tou mane; arti
mane/mone = jantan, raja, yang bermakna kuat, perkasa. Jadi laki-laki
disimbolkan sebagai figur yang kuat dan perkasa. Perempuan disebut ina kakana;
arti ina = perempuan, ibu; arti kakana = kanak-kanak, remaja. Jadi perempuan
disimbolkan sebagai figur yang lemah baik secara fisik maupun secara nalar bagaikan
anak-anak. Adanya ungkapan ‘ina kakana' untuk isteri dan/atau wanita
karena isteri dan/atau wanita dianggap laksana kanak-kanak baik fisik biologis
maupun logika berpikirnya. Sedang ungkapan tou
mane' untuk suami dan/atau kaum lelaki maksudnya suami/lelaki dianggap
sebagai jantan, mempunyai fisik yang lebih kuat serta logika berpikir yang
lebih praktis sehingga kaurn lelaki lebih
diandalkan dalam hal-hal yang menyangkut kekuatan fisik, perlindungan,
dan pengayoman, maupun yang menyangkut problema-problema hidup (Paul A. Haning
: Hukum Perkawinan Adat Masyarakat
Rote Ndao, 2006). Menurut pemberitaan
surat kabar lokal Erende Pos (3-10-2015) bahwa suatu survey yang dilakukan di
lima negara Eropa barat oleh perusahaan asal Prancis, Opinionway, menemukan
bahwa 2 dari 3 perempuan tidak memiliki kemampuan ilmiah yang mumpuni untuk
menjadi ilmuan kelas atas. Survey itu berpendapat perempuan tidak punya cukup
kepercayaan diri untuk menjadi ilmuan. Perempuan hanya memiliki kemampuan untuk
bergabung dengan barisan peneliti fisika, kimia, dan biologi kelas dua. Hasil
survey juga menemukan Jerman menjadi negara yang paling skeptis dengan
kemampuan wanita untuk menjadi ilmuan, disusul Italia, dan Prancis. Perempuan
penerima Hadiah Nobel Bidang Kedokteran, Elisabet Blackburn, berpendapat
laki-laki memang lebih ilmiah dan perempuan lebih sastrawi. Ternyata orang Rote
tanpa menelalui suatu survey tapi bisa menyimpulkan bahwa
baik secara nalar/pengetahuan maupun secara fisik
biologis, perempuan di bawah laki-laki.
Kedudukan isteri dalam hukum adat Rote Ndao sama atau
setidak-tidaknya hampir sama dengan laki-laki dan tidak seperti barang
jualan ataupun bukan seperti perdagangan barter. Hal ini didasarkan atas:
1. Ada
ungkapan 'belis sao mba' (belis kawin
daging), maksudnya imbalan/balasan belis ialah hewan, bahan makanan dan
lain-lain (lihat muka).
2.a.
Bila suami meninggal, isteri bebas menentukan sikap apakah ia menolak kewargaan
suku suami (kembali kepada kerabatnya) atau melanjutkan kewargaan suku suami.
b.
Bila suami meninggal dan isteri kembali, belis tidak dikembalikan.
3. Bila suami meninggal dan isteri kawin lagi maka belis
diterima oleh kerabat isteri bukan oleh kerabat suami almarhum.
4. Isteri bisa meminta cerai bila suami melakukan sesuatu
hal yang bertentangan dengan syarat atau moral perkawinan.
5. Bila
terjadi perceraian, isteri mempunyai hak untuk mendapat bahagian dari harta
usaha bersama (gono goni).
6). Karena
belis sao mba (butir 1)
yaitu bahwa gadis bukanlah imbalan dari belis
maka balasan belis
yang tidak pantas mengakibatkan kerabat gadis dihina malahan bila dalam nusak
sendiri sering dituntut untuk dilengkapi.
7. Karena belis
bukan sebagai pembelian (beli putus), maka :
a. Bila
terjadi kekerasan secara terus-menerus oleh suami terhadap isteri maka bisa minta
cerai tanpa pengembalian belis.
b. Tidak
terputusnya komunikasi antara isteri dengan orang tua dan kaum kerabatnya.
Belis merupakan syarat
agar isteri dan anak-anak menjadi sah dan menggunakan nama keluarga (fam)
suami. Perkawinan yang belum ada belisnya, anak-anak tetap memakai nama
keluarga (fam) ibu. Walaupun kini belis tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya, namun pihak pemuda selain
memberikan ‘tanda terima kasih’, juga menanggung biaya resepsi sehingga pemberian/pengeluaran itu dianggap sebagai
belis, dengan demikian isteri dan/atau anak-anak sudah sah untuk memakai nama
keluarga (fam) ayah.
Kekerasan
dalam rumah tangga di masyarakat Rote Ndao, umumnya terjadi antara suami
isteri, dan disebabkan antara lain oleh : kecemburuan karena adanya pil (pria idaman
lain) atau wil (wanita idaman lain),
mabuk minuman keras (miras), emosional,
dan lain-lain. Dahulu walaupun dalam sesuatu
konflik masalah belis kadang-kadang diungkit, namun pangkal perkelahian bukan
karena masalah belis, tetapi
karena isteri tidak menghasilkan anak.
Tujuan utama dari perkawinan
adalah mendapatkan anak/turunan. Orang Rote katakan “sao sangga anak” (kawin
cari anak). Oleh karena “kawin cari anak” maka isteri yang tidak menghasilkan
anak, sering timbul konflik dalam rumah tangga; apalagi kalau belisnya besar,
maka selalu menjadi sasaran amarah. Sebaliknya dalam sesuatu konflik kadang-kadang suami
dipermalukan oleh isteri karena perkawinan mereka tidak ada pemberian belis
atau suami tidak merugi sesuatu apapun. Sebaliknya
sang suami merasa malu atau dipermalukan bila ia tidak memberikan belis. Kekerasan fisik juga kadang-kadang disebabkan karena kekerasan psikologis (perbuatan tidak
menyenangkan) yang dilakukan oleh isteri terhadap suami, sehingga suami lepas
kontrol. Walaupun kondisi
ekonomi orang Rote Ndao terbilang rendah, namun kekerasan rumah tangga yang
disebabkan oleh masalah ekonomi sangat jarang. Setelah adanya kemajuan
teknologi (dalam hal ini setelah adanya Hp), konflik rumah tangga agak menonjol
karena kecemburuan bahkan perceraian. Kecemburuan/perceraian timbul karena sang
suami dan/atau sang isteri mendapatkan kesempatan besar untuk berkomunikasi
dengan orang lain hal mana bisa
terjerumus dalam permainan cinta.