Minggu, 03 Januari 2016

  • Belis dan Kedudukan Isteri Dalam Budaya Masyarakat Rote Ndao

                                   BELIS DAN KEDUDUKAN ISTERI         
                                      DALAM HUKUM ADAT ROTE NDAO
    1.       Arti belis
     Pemberian belis merupakan salah satu syarat dalam perkawinan adat masyarakat Rote/Ndao. Dahulu, tidak ada suatu rumah tangga pun yang dibentuk tanpa belis. Namun, bila si pemuda tidak berada, maka ia boleh menjalankan suatu syarat yang disebut ‘ledi ue’ (pencurahan tenaga untuk kawin atau perkawinan mengabdi).
    Untuk syarat ini (ledi ue), si pemuda dibolehkan untuk hidup bersama si gadis dan mereka tinggal bersama orang tua gadis. Si pemuda harus bekerja/mencari hidup untuk seisi rumah. Setelah dianggap sudah cukup mengabdi (bisa sampai belasan tahun) barulah syarat itu diakhiri dan si pemuda/suami bersama isteri dan bersama anak, jika sudah ada anak, mereka akan kembali ke lingkungan keluarga suami. Jeri payah si pemuda selama pencurahan tenaga untuk kawin itu dianggap sebagai pengganti belis.
               Kuntjaraningrat mengatakan (1972) bahwa arti mas kawin mula-mula adalah pengganti kerugian. Setiap seorang wanita kawin berarti suatu kelompok kehilangan tenaga potensial yang amat penting dalam kelompok itu. Mas kawin itu harga penggantinya. Mas kawin bukan berarti harga pembelian tetapi merupakan syarat. Oleh karena perkawinan merupakan peristiwa sosial, maka setiap orang yang mengambil inisiatif untuk kawin haruslah memenuhi syarat.          Mas kawin yang merupakan syarat itu terdapat dalam seluruh bangsa di dunia. Syarat itu dapat dilihat dalam adat-istiadat suku bangsa di dunia berupa tiga macam yaitu : 1. Mas kawin (Bride price); 2. Pencurahan tenaga untuk kawin (Bride service); 3. Pertukaran gadis (Bride exchange).
    Kuntjaraningrat mengatakan selanjutnya bahwa kalau diperhatikan istilah-istilah dari mas kawin itu dalam bahasa daerah di Indonesia, tampak di dalamnya mengandung arti pembelian, sungguhpun demikian kalau dikupas lebih mendalam terbukti bahwa mas kawin itu tidak lagi sebagai harga pembelian. Sebagai syarat orang tidak bertanya lagi, `mengapa dan untuk apa'. Ia hanya tahu bahwa itu harus dilakukan.
    Selanjutnya menurut Prof. Mubyarto (1998), bahwa dalam sistem belis secara moral bermakna bahwa belis bukan ukuran harga diri perempuan melainkan lambang hukum adat untuk menghormati perempuan dan seluruh klen. Di dalam belis terkandung harga diri baik pihak pemberi belis maupun penerima belis.
                Dalam masyarakat Rote terdapat dua versi mengenai arti belis. Pertama: belis atau felis asal dari kata fila', yang artinya menyapih (sole). Menurut kebiasaan bila seseorang anak telah tiba waktunya untuk disapih maka mulut anak yang bersangkutan akan digosok dengan daun sirih dan rupanya belis itu sebagai pengganti daun sirih, karena bila seseorang gadis telah dibawa keluar dari kaum kerabatnya (klennya) karena berumah tangga maka yang bersangkutan dianggap telah disapih, lepas dari susu (menetek), maksudnya lepas dari tanggung jawab orang tua dan keluarganya. Kedua : Belis berasal dari kata induk “beli”, yang berarti mahal; “mabeli” berarti berharga atau bernilai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karangan Poerwardaminta, bahwa arti dari kata “harga” adalah : 1. nilai suatu barang; 2. kehormatan  diri (ki); 3. guna (arti, kepentingan, kadar). Jadi makna belis adalah “kehormatan diri” atau “kadar/martabat diri” seseorang. Kata beli (mahal) diparalelkan dengan kata `mba' (daging), menjadi beli mbas, yang arti harfiahnya ialah berharga/mahal dan daging, maksudnya walaupun manusia, dalam hal ini wanita itu `nilainya' tinggi, namun dalam hal 'mas kawin' gadis tidak merupakan imbalan, tetapi imbalan belis adalah bawaan/balasan dari pihak keluarga gadis yang berupa hewan, bahan pangan, dll.
    Istilah adat untuk menyerahkan mas kawin kepada pihak keluarga gadis, ialah fe belis', yang berarti `pemberian yang bernilai' sedangkan istilah untuk membayar harga sesuatu barang/benda, ialah `bae belin', yang berarti `membayar harganya'. Istilah fe belis (memberikan belis) mengandung makna bahwa pemberian itu merupakan suatu tanda penghargaan, sedang istilah bae belin (membayar harganya) mempunyai hubungan dengan transaksi jual beli.
    Resminya suatu perkawinan menurut Hukum Adat Rote Ndao bila telah selesainya pemberian belis dan telah dilaksanakan upacara nikah (dode).
    2). Yang berhak menerima belis.
    Menurut Hukum Adat Rote Ndao, yang berhak menuntut dan menerima belis ialah :
              a). Ama-na : Ayah dan saudara laki-laki. Ama adalah orang tua dan na (k) adalah saudara lelaki.  b).            To'o : Saudara lelaki ibu dan/atau kerabat
    laki-laki dari pihak ibu. Untuk to’o, kalau terdiri dari beberapa orang, maka umumnya diprioritaskan to’o yang sulung (to’o huk).c).
                Ba'i huk : To'o (paman) ibu. d). Bei Huk : To'o (paman) ayah (berlaku di Rote Timur).
         3).  Besarnya belis
    Menurut Prof. G. P. Murdock yang dikutip  Kuntjaraningrat (1972), bahwa dari berbagai masyarakat yang diselidiki di berbagai tempat di dunia terdapat 102 masyarakat mempunyai mas kawin yang tinggi sebagai syarat untuk kawin.
    Di Rote Ndao besarnya belis tidak sama dari tiap nusak dan karena adat itu bersifat dinamis maka selalu diadakan perubahan sesuai perkembangan ekonomi sosial. Belis serendahnya 15 golden (mata uang Belanda dahulu) setara seekor kerbau gadis/tenak) dan setinggi-tingginya 300 golden (setara 12 ekor kerbau betina). Kini istilah ‘belis’, disebut ‘tanda terima kasih’ dan berupa uang kertas. Pada umumnya hak To’o sebesar/setara seekor kerbau betina dan ba’i huk/bei huk 1/10 dari bagian to’o.  Dahulu material yang diberikan sebagai mas kawin berupa emas (emas biasa atau emas berupa kawat halus yang dianyam yang disebut habas), perak/golden, hewan, dll. Dua puluh lima rupiah uang perak (golden) setara 16 gram emas (16 karat) atau setara seekor kerbau betina.
    Satuan ukuran berat emas orang Rote Ndao mulai dari : koro (0,4 gr), ngguse (0,8 gr), bondo (1,6 gr), oma (6,4 gr), dan batu (64 gr). Satu batu setara empat kerbau betina atau setara 100 rupiah uang perak Belanda dahulu. Agaknya teknik menganyam emas maupun satuan ukuran berat emas orang Rote Ndao merupakan suatu pengetahuan yang sebelumnya belum pernah ditemukan/dimiliki oleh suku bangsa lainnya.
    4). Balasan belis
               Belis yang diberikan oleh pihak keluarga pemuda harus dibalas, karena gadis bukan imbalan dari belis. Dalam bahasa adat dikatakan `belis sao mba', arti harfiahnya `belis kawin daging', maksudnya imbalan belis adalah hewan dan lain-lain (lihat muka). Yang berkewajiban membalas belis ialah pihak orang tua gadis dan to’o gadis; ba’i huk dan bei huk tidak balas.
    Barang-barang balasan belis, disebut ‘dododek’, terdiri dari dua bagian, yaitu : 1). yang terdiri dari hewan, disebut ‘banda dododek’ dan 2). yang terdiri dari barang-barang berupa bahan pangan, pakaian adat, sirih pinang, bantal dan lain-lain, disebut ‘bua dododek’.
    Menurut aturan adat nusak/kerajaan Thie dan lain-lain untuk belis senilai 25 (setara seekor kerbau betina), balasannya adalah dua ekor babi sedang, dua blek padi/gabah, selembar selimut, selembar tikar, sebuah bantal serta sirih, pinang, tembakau secukupnya. Bila belis besar maka akan dibawa juga kerbau atau sapi oleh orang tua gadis sebagai balasan. Jika dibawa kerbau/sapi maka jumlah babi dikurangi. Barang-barang ini dibawa ke rumah pihak pemuda pada saat mengantar penganten perempuan.
    Setelah sampai barang-barang itu akan dicek oleh keluarga pihak pemuda dengan disaksikan oleh tua-tua adat setempat. Jika balasan belis tidak memadai/tidak  memenuhi standar maka pihak keluarga gadis dicemooh, misalnya bila kerbau/sapi kecil, dikatakan `kambing', atau babi dikatakan `tikus'. Kadang-kadang orang tua gadis dituntut untuk memenuhi ketentuan.
    5). Kedudukan isteri
               Tak dapat disangkal bahwa setiap rumah tangga dari budaya yang manapun dan dari suku/bangsa apapun pasti tidak luput dari percekcokan (pingga manggo ratoto). Namun hal itu dapat diredam dengan nilai budaya/ungkapan-ungkapan bermakna yang berfungsi sebagai perekat kasih sayang antarkeluarga. Dalam bahasa Rote terdapat beberapa ungkapan yang bermakna sebagai perekat  kasih sayang antara suami dan isteri. Ungkapan-ungkapan bermakna itu, antara lain : 1). Inak tai touk ma touk tai inak (Perempuan/isteri bergantung kepada laki-laki (suami) dan laki-laki (suami) bergantung kepada perempuan (isteri), maksudnya suami isteri saling memerlukan,  saling mendukung. 2). `Nasak soresi to hu sue sao dai lena' (kemarahan bisa timbul, tetapi kasih sayang terhadap suami dan/atau isteri lebih dari cukup), maksudnya walaupun timbul konflik antara suami isteri, namun bisa dapat diredam dengan cinta kasih. 3). `Nasak susuek, fi'ik nemehokok' (kemarahan adalah kasih sayang, cubitan adalah kegembiraan), maksudnya kemarahan tidak semata-mata adalah kebencian tetapi adalah kesayangan. 4). Inak langgan loe na touk botikana ma touk langgan loe na inak so’ukana (Kepala perempuan/isteri merunduk, laki-laki/suami angkat dan kepala lai-laki/suami merunduk perempuan/isteri tegakan) maksudnya suami isteri saling menolong bila salah seorang menemui suatu masalah. 5). Suami dan/atau isteri, disebut seserin. Arti seserin ialah ‘belahan tubuhnya’. Jadi isteri adalah belahan tubuh dari suami dan suami adalah belahan tubuh dari isteri,  maksudnya suami dan isteri merupakan suatu kesatuan. 6). Tou mane mana tungga sanggak ma Ina kakana mana na'a mudak (Laki-laki/suami biasa mencari sedang wanita/isteri hanya makan gampang seperti anak kecil). Laki-laki disebut tou mane; arti  mane/mone = jantan, raja, yang bermakna kuat, perkasa. Jadi laki-laki disimbolkan sebagai figur yang kuat dan perkasa. Perempuan disebut ina kakana; arti ina = perempuan, ibu; arti kakana = kanak-kanak, remaja. Jadi perempuan disimbolkan sebagai figur yang lemah baik secara fisik maupun secara nalar bagaikan anak-anak. Adanya ungkapan ‘ina kakana' untuk isteri dan/atau wanita karena isteri dan/atau wanita dianggap laksana kanak-kanak baik fisik biologis maupun logika berpikirnya. Sedang ungkapan tou mane' untuk suami dan/atau kaum lelaki maksudnya suami/lelaki dianggap sebagai jantan, mempunyai fisik yang lebih kuat serta logika berpikir yang lebih praktis sehingga kaurn lelaki lebih diandalkan dalam hal-hal yang menyangkut kekuatan fisik, perlindungan, dan pengayoman, maupun yang menyangkut problema-problema hidup (Paul A. Haning : Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Rote Ndao, 2006).  Menurut pemberitaan surat kabar lokal Erende Pos (3-10-2015) bahwa suatu survey yang dilakukan di lima negara Eropa barat oleh perusahaan asal Prancis, Opinionway, menemukan bahwa 2 dari 3 perempuan tidak memiliki kemampuan ilmiah yang mumpuni untuk menjadi ilmuan kelas atas. Survey itu berpendapat perempuan tidak punya cukup kepercayaan diri untuk menjadi ilmuan. Perempuan hanya memiliki kemampuan untuk bergabung dengan barisan peneliti fisika, kimia, dan biologi kelas dua. Hasil survey juga menemukan Jerman menjadi negara yang paling skeptis dengan kemampuan wanita untuk menjadi ilmuan, disusul Italia, dan Prancis. Perempuan penerima Hadiah Nobel Bidang Kedokteran, Elisabet Blackburn, berpendapat laki-laki memang lebih ilmiah dan perempuan lebih sastrawi. Ternyata orang Rote tanpa menelalui suatu survey tapi bisa menyimpulkan bahwa baik secara nalar/pengetahuan maupun secara fisik biologis, perempuan di bawah laki-laki.   
               Kedudukan isteri dalam hukum adat Rote Ndao sama atau setidak-tidaknya hampir sama dengan laki-laki dan tidak seperti barang jualan ataupun bukan seperti perdagangan barter. Hal ini didasarkan atas:
    1. Ada ungkapan 'belis sao mba' (belis kawin daging), maksudnya imbalan/balasan belis ialah hewan, bahan makanan dan lain-lain (lihat muka).
    2.a. Bila suami meninggal, isteri bebas menentukan sikap apakah ia menolak kewargaan suku suami (kembali kepada kerabatnya) atau melanjutkan kewargaan suku suami.
       b. Bila suami meninggal dan isteri kembali, belis tidak dikembalikan.
    3. Bila suami meninggal dan isteri kawin lagi maka belis diterima oleh kerabat isteri bukan oleh kerabat suami almarhum.
    4. Isteri bisa meminta cerai bila suami melakukan sesuatu hal yang bertentangan dengan syarat atau moral perkawinan.
           5. Bila terjadi perceraian, isteri mempunyai hak untuk mendapat bahagian dari harta usaha bersama (gono goni).
           6). Karena belis sao mba (butir 1) yaitu bahwa gadis bukanlah imbalan dari belis maka balasan belis yang tidak pantas mengakibatkan kerabat gadis dihina malahan bila dalam nusak sendiri sering dituntut untuk dilengkapi.
    7.  Karena belis bukan sebagai pembelian (beli putus), maka :
         a. Bila terjadi kekerasan secara terus-menerus oleh suami terhadap isteri maka bisa minta cerai tanpa pengembalian belis.
          b. Tidak terputusnya komunikasi antara isteri dengan orang tua dan kaum kerabatnya.
               Belis merupakan syarat agar isteri dan anak-anak menjadi sah dan menggunakan nama keluarga (fam) suami. Perkawinan yang belum ada belisnya, anak-anak tetap memakai nama keluarga (fam) ibu. Walaupun kini belis tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, namun pihak pemuda selain  memberikan ‘tanda terima kasih’, juga menanggung biaya resepsi sehingga  pemberian/pengeluaran itu dianggap sebagai belis, dengan demikian isteri dan/atau anak-anak sudah sah untuk memakai nama keluarga (fam) ayah.
           Kekerasan dalam rumah tangga di masyarakat Rote Ndao, umumnya terjadi antara suami isteri, dan disebabkan antara lain oleh  : kecemburuan karena adanya pil (pria idaman lain) atau wil (wanita idaman lain), mabuk minuman keras (miras), emosional, dan lain-lain. Dahulu walaupun dalam sesuatu konflik masalah belis kadang-kadang diungkit, namun pangkal perkelahian bukan karena masalah belis, tetapi karena isteri tidak menghasilkan anak. Tujuan utama dari perkawinan adalah mendapatkan anak/turunan. Orang Rote katakan “sao sangga anak” (kawin cari anak). Oleh karena “kawin cari anak” maka isteri yang tidak menghasilkan anak, sering timbul konflik dalam rumah tangga; apalagi kalau belisnya besar, maka selalu menjadi sasaran amarah.    Sebaliknya dalam sesuatu konflik kadang-kadang suami dipermalukan oleh isteri karena perkawinan mereka tidak ada pemberian belis atau suami tidak merugi sesuatu apapun. Sebaliknya sang suami merasa malu atau dipermalukan bila ia tidak memberikan belis. Kekerasan fisik juga kadang-kadang disebabkan karena kekerasan psikologis (perbuatan tidak menyenangkan) yang dilakukan oleh isteri terhadap suami, sehingga suami lepas kontrol. Walaupun kondisi ekonomi orang Rote Ndao terbilang rendah, namun kekerasan rumah tangga yang disebabkan oleh masalah ekonomi sangat jarang. Setelah adanya kemajuan teknologi (dalam hal ini setelah adanya Hp), konflik rumah tangga agak menonjol karena kecemburuan bahkan perceraian. Kecemburuan/perceraian timbul karena sang suami dan/atau sang isteri mendapatkan kesempatan besar untuk berkomunikasi dengan  orang lain hal mana bisa terjerumus dalam permainan cinta.  


  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +