PENGGUNAAN ISTILAH KEKERABATAN
Sesuai Norma/Budaya Masyarakat Rote Ndao
Norma
adalah kaidah atau aturan yang disepakati masyarakat dan memberi
pedoman bagi pelaku para anggotanya dalam mengejar sesuatu yang dianggap baik
atau diinginkan. Norma terdiri dari
beberapa aspek, salah satu di antaranya ialah norma kesopanan. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai
norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan/etnis, dan waktu.
Di sini saya khususkan norma kesopanan yang menyangkut istilah-istilah
kekerabatan yang lazim digunakan
dikalangan masyarakat Rote dalam berelasi. Berbicara mengenai istilah maka tentu berbicara
tentang bahasa.
Tinggi rendahnya budaya suatu suku/bangsa, bisa diukur dari tutur kata sehari-hari.
Berbagai macam istilah adat dan ungkapan yang bermakna yang terdapat dalam
bahasa Rote, perlu dihayati dan dilestarikan oleh masyarakat Rote karena
mengandung nilai sosiologis bahkan nilai filosofis yang tinggi dan merupakan
unsur perekat antara sesama.
Misalnya dalam bahasa
Rote, istilah menyapa “bo’i” atau bo’i sue” terhadap seseorang mengandung unsur
perekat yang tinggi., Arti kata bo’i
adalah kandung dan arti kata sue adalah sayang. Istilah ini umumnya dipakai di
kalangan kaum kerabat Namun, walaupun seseorang bukan adalah kerabat tetapi
kalau disapa dengan kata bo’i atau bo’i
sue, berarti orang tersebut dipandang sebagai keluarga kandung yang tersayang.
Orang Rote pun menyapa orang lain (termasuk yang di luar kelompok/out group)
yang lebih muda dengan istilah ‘papa’ bagi laki-laki dan ‘mama’ bagi perempuan.
Sapaan ini pun adalah sapaan yang mengandung rasa kekeluargaan atau
kemesraan.
Begitupun penggunaan istilah-istilah kekerabatan yang sesuai dapat
mempererat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Tentu setiap etnis pasti
punya ungkapan atau istilah yang dapat mempererat hubungan kekeluargaan dalam
berelasi.
Dipandang
dari sudut cara pemakaian istilah kekerabatan pada umumnya, tiap-tiap bahasa
mempunayi dua macam istilah, yaitu istilah menyapa dan istilah menyebut.
Istilah menyapa dipakai pada hubungan pembicaraan langsung sedang
istilah menyebut dipakai bila membicarakan orang ketiga. Para antropolog
mempergunakan 10 prinsip universal yang membedakan satu tipe atau kelas kerabat
dari yang lain dengan istilah-istilah tertentu.
Dalam bahasa Rote istilah menyapa bagi ayah ialah ‘papa’,
sedang istilah menyebut bagi ayah
ialah ‘ama’. Begitupun istilah
menyapa bagi ibu ialah mama dan istilah menyebutnya ialah ina. Anak saudara
perempuan, istilah menyapa : ana (anak), istilah menyebut : dadis/sele.
Istilah-istilah
yang dipergunakan dalam bahasa Rote antara lain sbb. : bapak (ama/papa), ibu (ina/mama), kakek (ba’i/papa be’a/opa), nenek
(bei/mama be’a/oma), ayah mertua (ari ama/ari papa), ibu mertua (ari ina/ari
mama), ipar lelaki (kera/keraba’i), ipar perempuan (hi’a), paman pihak bapak
(ama/papa), paman pihak ibu (to’o), anak pihak saudara lelaki (ana->anak),
anak pihak saudara perempuan (dadis/sele), saudara perempuan ayah (te’o), saudara
perempuan ibu (ti’i), besan (tidak ada istilah yang baku; disebut saja mantu
punya orang tua, menantu lelaki (monefeuk), menantu perempuan (feto feuk), tiri
(mbala), ayah tiri (ama mbala), ibu tiri (ina mbala), saudara tiri (torano
mbala); Pengertian
‘saudara tiri’ dalam bahasa Rote adalah anak yang berlainan ayah dan berlainan ibu. Sedang
dikenal ‘sekandung ayah’ yaitu seayah tetapi berlainan ibu dan ‘sekandung ibu’
yaitu seibu tetapi berlainan ayah. Sapaan/sebutan
“to’o” lebih spesifik dan lebih mesrah dari pada sapaan/sebutan “om” untuk
saudara lelaki ibu. Apalagi sapaan/sebutan om bukan saja terhadap saudara
lelaki ibu, tetapi juga terhadap para lelaki pada umumnya.
Sopan
tidaknya seseorang, dapat dilihat atau diukur dari cara menyapa/menyebut sesuai
istilah-istilah seperti tersebut. Misalnya seorang yang dalam status anak harus
menyapa/menyebut “papa/ mama/ te’o/ti’i /to’o” kepada tipe
kerabat lainnya yang setingkat lebih tinggi, walaupun yang berada pada status
yang lebih tinggi itu umurnya lebih rendah dari yang status anak. Sapaan/sebutan yang tidak
pantas terlebih terhadap tipe kerabat yang angkatannya (statusnya) lebih tinggi,
dicap tidak sopan (ta nelela hadak).
Setiap genealogi merupakan suatu urutan nama yang teratur mulai dengan nama
seseorang leluhur dan berlanjut dalam suatu garis langsung ke nama turunannya
yang terakhir. Untuk mengetahui status atau urutan generasi (dalam bahasa Rote
disebut ‘dombe/dope) seseorang maka mulai dilacak dari leluhur yang pertama
dalam genealogi tersebut. Tokoh atau leluhur yang menurunkan suatu genealogi
(komunitas), baik komunitas etnis, subetnis ataupun klen, disebut ‘ba’i kise’
(kakek awal/kakek tunggal). Karena adanya urutan generasi yang teratur, maka
bisa diketahui tingkat/urutan generasi (dombe/dope) seseorang, sehingga tidak
salah menyapa seseorang yang sesuai dengan status/tingkat generasinya.
Dalam berelasi/berdialog, orang tua dan/atau orang yang lebih tua atau
orang yang status generasinya lebih tinggi, tidak etis bila disapa dengan
menyebut namanya. Bila disapa dengan menyebut namanya, maka hal/cara itu
dikatakan ‘fi’i naden’(arti harfiah : cubit namanya).
Kalau dalam menyapa, langsung disebut nama orang yang lebih tua teristimewa
yang berada dalam hubungan kekerabatan, maka hatinya terasa sakit, seperti
dicubit-cubit, oleh karena itu dikatakan
‘fi’i (cubit).
Supaya
hal itu jangan terjadi, maka misalnya dalam bersaudara laki-laki, ada sapaan
‘ka’a huk’ untuk kakak yang sulung, atau ‘ka’a ladak’ untuk kakak yang tengah.
Begitupun yang dalam status anak (keponakan) menyapa/menyebut ‘papa huk (bapa
besar/papa besa) untuk bapak yang sulung, dan ‘papa ladak’ (bapa tenga/papa tenga) untuk bapak
yang tengah. Selanjutnya anak-anak dari saudara yang sulung menyapa/menyebut
‘bapa/papa
ladak’ untuk bapak yang tengah dan ‘papa anak’ (papa kici) untuk bapak yang
bungsu atau yang adik. Anak-anak dari
saudara perempuan pun mempergunakan istilah-istilah
sapaan/sebutan yang khas itu untuk to’o (to’o huk/to’o besa, to’o ladak/to’o
tenga, dan to’o anak/to’o kici). Penggunaan istilah to’o lebih spesifik dan
lebih intim dari istilah om. Karena
begitu besarnya rasa kekeluargaan orang Rote, maka sapaan seperti itu bukan
saja terjadi dalam orang bersaudara kandung tetapi juga dalam/melintasi orang
sefamili, bahkan sesuku dan/atau sealiansi. Terhadap kerabat yang perempuan
pun, sapaan-sapaan hormat seperti tersebut diterapkan.
Salah satu
cara yang lainnya untuk menghindari sapaan/sebutan yang dianggap kasar atau tidak sopan,
maka ‘nama rumah’ dan/atau ‘nama tempat domisili’ yang mempunyai ciri khusus dari keluarga yang lebih tua, yang disebut, misalnya
Ba’i Uma Baleek (Kakek Rumah Baleek/seng)
maksudnya kakek yang atap rumahnya dari seng, Mama Kolee
Hu (Mama
Pohon Kusambi) — maksudnya di sekitar/kintal rumahnya terdapat pohon kusambi.
Jadi nama dari kerabat yang lebih tua atau yang dihormati itu tidak
disebut/tidak di fi’i.
Dalam berelasi secara langsung,
bahasa yang ditujukan kepada orang yang lebih tua/dihormati, dihindari kata
sapaan ‘o’ (kau/anda – person kedua
tunggal), karena penggunaan sapaan ‘o’
(kau, anda) tidak sopan. Untuk menghindari hal itu, maka person kedua tunggal
(kau/anda) diposisikan sebagai person ketiga tunggal (dia). Contoh 1. a : Papa mu leo ‘silahkan bapak pergi’. Kalimat
lengkapnya seharusnya sebagai berikut : O mu
leo papa ‘silahkan kau pergi bapak’.
Namun, demi menjaga etika dalam menyapa, maka kalimat yang dipakai adalah 1. b
: Papa neu leo ‘Silahkan bapak
pergi’. Kata mu ‘pergi’, menunjuk
person kedua tunggal (kau/anda) dan kata neu
‘pergi’ menunjuk person ketiga tunggal. Contoh 2. a. Mama mu’a leo ‘Silahkan mama makan’àO mu’a
leo mama ‘Silahkan kau makan mama’ (II tunggal) – tidak etis. 2.b. Mama na’a leo (III tunggal) ‘Silahkan makan
mama’ (etis). Kata mu’a ‘makan’
menunjuk person II tunggal dan kata na’a ‘makan'
menunjuk person III tunggal. Sedang untuk bentuk jamak/II jamak (kamu = kalian)
dapat diposisikan sebagai person III
jamak : Silahkan bapak-bapak makan (papasara mi’a leoàpapasara ra’a
leo).
Di atas saya telah kemukakan
istilah-istilah sapaan maupun istilah sebutan dalam hubungan kekerabatan. Untuk
orang-orang diluar hubungan kekerabatan (out group) pun tidak ada perbedaan
yang prinsipil, kecuali menyangkut perbedaan tingkat/generasi. Untuk orang di
luar lingkungan keluarga, senioritas dan/atau umur menjadi ukuran. Kalau kita
ikuti wawancara para penyiar di ‘beberapa’ TV di Indonesia, maka sikap dan cara
menyapa mereka dirasakan tidak etis bila ditinjau dari budaya orang Rote Ndao
maupun orang NTT. Misalnya mereka menjawab dengan kata ‘hu...!’ ataupun menyapa
dengan kata ‘anda’ atau menyebut nama kepada orang yang lebih senior atau
terhadap seseorang ‘pejabat’. Terhadap lawan bicara, bila sebaya maka sebaiknya
digunakan kata ‘saudara’, sedang terhadap yang lebih senior, sebaiknya
digunakan kata ‘pak’ atau ‘bapak’. Begitupun mereka ‘fi’i
nadek’, misalnya menyebut ‘nama’ dari Presiden tanpa didahului dengan kata
‘bapak/pak’. Memang sesuatu yang dipandang sopan oleh sesuatu masyarakat
belum tentu dipandang sopan oleh masyarakat lain. Namun untuk orang Indonesia,
adat sopan santun umumnya sama antara
satu masyarakat dengan yang lainnya. Di NTT, bagaimana perasaan seseorang bila
mendengar/melihat seorang pewancara di bawah umur menyapa “anda” kepada Bapak
Frans Lebu Raya yang lebih senior bahkan dalam kedudukannya sebagai Gubernur
NTT? Apakah sesuai dengan etika orang NTT ?
Jadi dalam bahasa, dalam hal ini
bahasa lokal (ibu), ada istilah/kata yang dianggap tabuh ataupun fulgar untuk
diucapkan. Salah satu contoh lainnya : kata ‘selingkuh’ atau ‘vagina/zakar’
(bahasa Indonesia), tidak dirasa pantang/tabuh bila diucapkan didepan umum
dalam bahasa Indonesianya, sedang bila diucapkan dalam bahasa ibu maka terasa
vulgar. Dari contoh-contoh itu dapat disimpulkan bahwa bahasa ibu/lokal
merupakan bahasa/budaya yang mempunyai nilai etika dan filosofi yang tinggi
oleh masyarakat pemakainya, sehingga sangatlah pantas bila harus dikembangkan
dan dilestarikan.