Jumat, 24 Juni 2016

  • Istilah Kekerabatan

           PENGGUNAAN ISTILAH KEKERABATAN
    Sesuai Norma/Budaya Masyarakat Rote Ndao
    Norma adalah kaidah atau aturan yang disepakati masyarakat dan memberi pedoman bagi pelaku para anggotanya dalam mengejar sesuatu yang dianggap baik atau diinginkan. Norma terdiri dari beberapa aspek, salah satu di antaranya ialah norma kesopanan. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan/etnis, dan waktu. Di sini saya khususkan norma kesopanan yang menyangkut istilah-istilah kekerabatan yang lazim digunakan dikalangan masyarakat Rote dalam berelasi. Berbicara mengenai istilah maka tentu berbicara tentang bahasa.
    Tinggi rendahnya budaya suatu suku/bangsa, bisa diukur dari tutur kata sehari-hari. Berbagai macam istilah adat dan ungkapan yang bermakna yang terdapat dalam bahasa Rote, perlu dihayati dan dilestarikan oleh masyarakat Rote karena mengandung nilai sosiologis bahkan nilai filosofis yang tinggi dan merupakan unsur perekat  antara sesama.
                Misalnya dalam bahasa Rote, istilah menyapa “bo’i” atau bo’i sue” terhadap seseorang mengandung unsur perekat yang tinggi., Arti  kata bo’i adalah kandung dan arti kata sue adalah sayang. Istilah ini umumnya dipakai di kalangan kaum kerabat Namun, walaupun seseorang bukan adalah kerabat tetapi kalau disapa dengan kata bo’i atau  bo’i sue, berarti orang tersebut dipandang sebagai keluarga kandung yang tersayang. Orang Rote pun menyapa orang lain (termasuk yang di luar kelompok/out group) yang lebih muda dengan istilah ‘papa’ bagi laki-laki dan ‘mama’ bagi perempuan. Sapaan ini pun adalah sapaan yang mengandung rasa kekeluargaan atau kemesraan.  
    Begitupun penggunaan istilah-istilah kekerabatan yang sesuai dapat mempererat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Tentu setiap etnis pasti punya ungkapan atau istilah yang dapat mempererat hubungan kekeluargaan dalam berelasi.
    Dipandang dari sudut cara pemakaian istilah kekerabatan pada umumnya, tiap-tiap bahasa mempunayi dua macam istilah, yaitu istilah menyapa dan istilah menyebut. Istilah menyapa dipakai pada hubungan pembicaraan langsung sedang istilah menyebut dipakai bila membicarakan orang ketiga. Para antropolog mempergunakan 10 prinsip universal yang membedakan satu tipe atau kelas kerabat dari yang lain dengan istilah-istilah tertentu.
    Dalam bahasa Rote istilah menyapa bagi ayah ialah papa, sedang istilah menyebut bagi ayah ialah ‘ama. Begitupun istilah menyapa bagi ibu ialah mama dan istilah menyebutnya ialah ina. Anak saudara perempuan, istilah menyapa : ana (anak), istilah menyebut : dadis/sele.
               Istilah-istilah yang dipergunakan dalam bahasa Rote antara lain sbb. : bapak (ama/papa), ibu (ina/mama), kakek (ba’i/papa be’a/opa), nenek (bei/mama be’a/oma), ayah mertua (ari ama/ari papa), ibu mertua (ari ina/ari mama), ipar lelaki (kera/keraba’i), ipar perempuan (hi’a), paman pihak bapak (ama/papa), paman pihak ibu (to’o), anak pihak saudara lelaki (ana->anak), anak pihak saudara perempuan (dadis/sele), saudara perempuan ayah (te’o), saudara perempuan ibu (ti’i), besan (tidak ada istilah yang baku; disebut saja mantu punya orang tua, menantu lelaki (monefeuk), menantu perempuan (feto feuk), tiri (mbala), ayah tiri (ama mbala), ibu tiri (ina mbala), saudara tiri (torano mbala); Pengertian ‘saudara tiri’ dalam bahasa Rote adalah anak yang berlainan ayah dan berlainan ibu. Sedang dikenal ‘sekandung ayah’ yaitu seayah tetapi berlainan ibu dan ‘sekandung ibu’ yaitu seibu  tetapi berlainan ayah. Sapaan/sebutan “to’o” lebih spesifik dan lebih mesrah dari pada sapaan/sebutan “om” untuk saudara lelaki ibu. Apalagi sapaan/sebutan om bukan saja terhadap saudara lelaki ibu, tetapi juga terhadap para lelaki pada umumnya.
     Sopan tidaknya seseorang, dapat dilihat atau diukur dari cara menyapa/menyebut sesuai istilah-istilah seperti tersebut. Misalnya seorang yang dalam status anak harus menyapa/menyebut “papa/ mama/ te’o/ti’i /to’o” kepada tipe kerabat lainnya yang setingkat lebih tinggi, walaupun yang berada pada status yang lebih tinggi itu umurnya lebih rendah dari yang status anak. Sapaan/sebutan yang tidak pantas terlebih terhadap tipe kerabat yang angkatannya (statusnya) lebih tinggi, dicap tidak sopan (ta nelela hadak).
    Setiap genealogi merupakan suatu urutan nama yang teratur mulai dengan nama seseorang leluhur dan berlanjut dalam suatu garis langsung ke nama turunannya yang terakhir. Untuk mengetahui status atau urutan generasi (dalam bahasa Rote disebut ‘dombe/dope) seseorang maka mulai dilacak dari leluhur yang pertama dalam genealogi tersebut. Tokoh atau leluhur yang menurunkan suatu genealogi (komunitas), baik komunitas etnis, subetnis ataupun klen, disebut ‘ba’i kise’ (kakek awal/kakek tunggal). Karena adanya urutan generasi yang teratur, maka bisa diketahui tingkat/urutan generasi (dombe/dope) seseorang, sehingga tidak salah menyapa seseorang yang sesuai dengan status/tingkat generasinya.  
    Dalam berelasi/berdialog, orang tua dan/atau orang yang lebih tua atau orang yang status generasinya lebih tinggi, tidak etis bila disapa dengan menyebut namanya. Bila disapa dengan menyebut namanya, maka hal/cara itu dikatakan ‘fi’i naden’(arti harfiah : cubit namanya). Kalau dalam menyapa, langsung disebut nama orang yang lebih tua teristimewa yang berada dalam hubungan kekerabatan, maka hatinya terasa sakit, seperti dicubit-cubit, oleh karena itu dikatakan  ‘fi’i (cubit).
    Supaya hal itu jangan terjadi, maka misalnya dalam bersaudara laki-laki, ada sapaan ‘ka’a huk’ untuk kakak yang sulung, atau ‘ka’a ladak’ untuk kakak yang tengah. Begitupun yang dalam status anak (keponakan) menyapa/menyebut ‘papa huk (bapa besar/papa besa) untuk bapak yang sulung, dan ‘papa ladak’ (bapa tenga/papa tenga) untuk bapak yang tengah. Selanjutnya anak-anak dari saudara yang sulung menyapa/menyebut ‘bapa/papa ladak’ untuk bapak yang tengah dan ‘papa anak’ (papa kici) untuk bapak yang bungsu atau yang adik. Anak-anak dari saudara perempuan pun mempergunakan istilah-istilah sapaan/sebutan yang khas itu untuk to’o (to’o huk/to’o besa, to’o ladak/to’o tenga, dan to’o anak/to’o kici). Penggunaan istilah to’o lebih spesifik dan lebih intim dari istilah om.  Karena begitu besarnya rasa kekeluargaan orang Rote, maka sapaan seperti itu bukan saja terjadi dalam orang bersaudara kandung tetapi juga dalam/melintasi orang sefamili, bahkan sesuku dan/atau sealiansi. Terhadap kerabat yang perempuan pun, sapaan-sapaan hormat seperti tersebut diterapkan.
               Salah satu cara yang lainnya untuk menghindari sapaan/sebutan yang dianggap kasar atau tidak sopan, maka ‘nama rumah’ dan/atau ‘nama tempat domisili’ yang mempunyai ciri khusus dari  keluarga yang lebih tua, yang disebut, misalnya Ba’i Uma Baleek (Kakek Rumah Baleek/seng) maksudnya kakek yang atap rumahnya dari seng, Mama Kolee Hu (Mama Pohon Kusambi) maksudnya di sekitar/kintal rumahnya terdapat pohon kusambi. Jadi nama dari kerabat yang lebih tua atau yang dihormati itu tidak disebut/tidak di fi’i.
                Dalam berelasi secara langsung, bahasa yang ditujukan kepada orang yang lebih tua/dihormati, dihindari kata sapaan ‘o’ (kau/anda – person kedua tunggal), karena penggunaan sapaan ‘o’ (kau, anda) tidak sopan. Untuk menghindari hal itu, maka person kedua tunggal (kau/anda) diposisikan sebagai person ketiga tunggal (dia). Contoh 1. a : Papa mu leo ‘silahkan bapak pergi’. Kalimat lengkapnya seharusnya sebagai berikut : O mu leo papa ‘silahkan kau pergi bapak’. Namun, demi menjaga etika dalam menyapa, maka kalimat yang dipakai adalah 1. b : Papa neu leo ‘Silahkan bapak pergi’. Kata mu ‘pergi’, menunjuk person kedua tunggal (kau/anda) dan kata neu ‘pergi’ menunjuk person ketiga tunggal. Contoh 2. a. Mama mu’a leo ‘Silahkan mama makan’àO mu’a leo mama ‘Silahkan kau makan mama’ (II tunggal) – tidak etis. 2.b. Mama na’a leo (III tunggal) ‘Silahkan makan mama’ (etis). Kata mu’a ‘makan’ menunjuk person II tunggal dan kata na’a ‘makan' menunjuk person III tunggal. Sedang untuk bentuk jamak/II jamak (kamu = kalian) dapat diposisikan sebagai  person III jamak : Silahkan bapak-bapak makan (papasara mi’a leoàpapasara ra’a leo).
               Di atas saya telah kemukakan istilah-istilah sapaan maupun istilah sebutan dalam hubungan kekerabatan. Untuk orang-orang diluar hubungan kekerabatan (out group) pun tidak ada perbedaan yang prinsipil, kecuali menyangkut perbedaan tingkat/generasi. Untuk orang di luar lingkungan keluarga, senioritas dan/atau umur menjadi ukuran. Kalau kita ikuti wawancara para penyiar di ‘beberapa’ TV di Indonesia, maka sikap dan cara menyapa mereka dirasakan tidak etis bila ditinjau dari budaya orang Rote Ndao maupun orang NTT. Misalnya mereka menjawab dengan kata ‘hu...!’ ataupun menyapa dengan kata ‘anda’ atau menyebut nama kepada orang yang lebih senior atau terhadap seseorang ‘pejabat’. Terhadap lawan bicara, bila sebaya maka sebaiknya digunakan kata ‘saudara’, sedang terhadap yang lebih senior, sebaiknya digunakan kata ‘pak’ atau ‘bapak’. Begitupun mereka ‘fi’i nadek’, misalnya menyebut ‘nama’ dari Presiden tanpa didahului dengan kata ‘bapak/pak’. Memang sesuatu yang dipandang sopan oleh sesuatu masyarakat belum tentu dipandang sopan oleh masyarakat lain. Namun untuk orang Indonesia, adat sopan santun  umumnya sama antara satu masyarakat dengan yang lainnya. Di NTT, bagaimana perasaan seseorang bila mendengar/melihat seorang pewancara di bawah umur menyapa “anda” kepada Bapak Frans Lebu Raya yang lebih senior bahkan dalam kedudukannya sebagai Gubernur NTT? Apakah sesuai dengan etika orang NTT ?  
               Jadi dalam bahasa, dalam hal ini bahasa lokal (ibu), ada istilah/kata yang dianggap tabuh ataupun fulgar untuk diucapkan. Salah satu contoh lainnya : kata ‘selingkuh’ atau ‘vagina/zakar’ (bahasa Indonesia), tidak dirasa pantang/tabuh bila diucapkan didepan umum dalam bahasa Indonesianya, sedang bila diucapkan dalam bahasa ibu maka terasa vulgar. Dari contoh-contoh itu dapat disimpulkan bahwa bahasa ibu/lokal merupakan bahasa/budaya yang mempunyai nilai etika dan filosofi yang tinggi oleh masyarakat pemakainya, sehingga sangatlah pantas bila harus dikembangkan dan dilestarikan.


  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +