2). UPACARA KELAHIRAN
Sesuai Adat Rote Ndao
Terdapat berbagai upacara dalam
adat dan budaya masyarakat Rote Ndao. Salah satunya adalah upacara yang
berkenaan dengan siklus kehidupan manusia. Untuk siklus hidup manusia pun
berdapat beberapa upacara, salah satunya adalah upacara kelahiran. Dalam
upacara kelahiran terdapat beberapa tatacara, antara lain sebagai berikut :
1. Tatacara memberi
nama
Setelah melahirkan, jika siang hari maka pada malamnya atau jika
malam hari maka pada
siangnya akan diadakan pemberian nama. Acara mana nama dalam
bahasa Rote disebut foi felu do bara tora
atau aki dae do bala tola.
Bayi akan diberi nama sesuai nama salah seorang kerabat ayah atau ibu, yang sudah meninggal dunia, diutamakan kerabat ayah, umumnya nama dari oknum yang selagi hidup menjadi panutan atau mempunyai reputasi yang baik. Akhir-akhir ini diberi nama sesuai pula dengan nama kaum kerabat yang masih hidup, diprioritaskan nama kakek atau nenek si bayi. Bisa juga dipilih dari nama-nama leluhur Rote-lainnya.
Bila bayi telah diberi nama menurut nama seseorang yang telah meninggal tetapi ia selalu menangis atau tidak buang air maka hal itu merupakan indikasi bahwa si bayi yang bersangkutan tidak ingin atau tidak bersedia agar namanya diabadikan dari nama oknum tersebut. Atau bila bayi diberi nama menurut nama seorang arwah, tetapi selalu menangis atau tidak buang air, maka merupakan indikasi bahwa arwah tersebut tidak mau namanya diabadikan pada bayi tersebut atau juga karena beberapa arwah leluhur berebutan/bersaingan agar nama mereka dipilih.
Bayi akan diberi nama sesuai nama salah seorang kerabat ayah atau ibu, yang sudah meninggal dunia, diutamakan kerabat ayah, umumnya nama dari oknum yang selagi hidup menjadi panutan atau mempunyai reputasi yang baik. Akhir-akhir ini diberi nama sesuai pula dengan nama kaum kerabat yang masih hidup, diprioritaskan nama kakek atau nenek si bayi. Bisa juga dipilih dari nama-nama leluhur Rote-lainnya.
Bila bayi telah diberi nama menurut nama seseorang yang telah meninggal tetapi ia selalu menangis atau tidak buang air maka hal itu merupakan indikasi bahwa si bayi yang bersangkutan tidak ingin atau tidak bersedia agar namanya diabadikan dari nama oknum tersebut. Atau bila bayi diberi nama menurut nama seorang arwah, tetapi selalu menangis atau tidak buang air, maka merupakan indikasi bahwa arwah tersebut tidak mau namanya diabadikan pada bayi tersebut atau juga karena beberapa arwah leluhur berebutan/bersaingan agar nama mereka dipilih.
Bila si bayi telah diberi nama tetapi
selalu menangis atau tidak buang air, maka nama bayi itu segera diganti dengan nama oknum atau arwah lainnya. Kalau cara ini
pun belum berhasil (si bayi masih tetap menangis/tidak buang air) maka upaya
lainnya ialah mencari tahu nama dan arwah/nenek moyang siapa yang mau
diabadikan. Hal ini dapat diketahui dengan cara ‘mendepa tombak’, disebut ‘re’a dali’, yang akan dilakukan oleh seorang imam (manasonggo/manasongo).
Seorang manasonggo/songo sedang ‘RE’A DALI’
Imam mengambil sebuah tombak/lembing lalu ditikam/disentuhkannya mata
tombak pada sebuah tiang rumah lalu direntangkannya kedua belah tangannya,
sebelah memegang bagian pangkal
tombak yang sedang menyentuh tiang dan tangan lainnya memegang bagian ujung tombak sambil berdialog, dalam bahasa Rote,
disebut ‘neseseo’. Dalam dialog itu
manasonggo menyampaikan apa yang diperlukan kepada para arwah nenek moyang dari si bayi, seorang demi-seorang, secara verbal,
sedang si arwah membalasnya tidak dengan verbal tetapi hanya berupa
tanda/gerakan, yaitu pada
saat nama seseorang arwah disebut lalu bila tangan manasonggo terasa
lemas berarti arwah yang
bersangkutan bersedia agar namanya boleh diberikan/diabadikan kepada si bayi.
Tetapi bila tangan manasonggo terasa kejang/tegang berarti si arwah menolak.
Ada
pula yang pada saat menjelang melahirkan, seseorang arwah mana kepada si ibu dalam mimpi dengan meminta atau
dengan penampilan yang mengandung arti meminta agar namanya diberikan kepada si
bayi nanti. Bila terjadi demikian maka setelah melahirkan pasti bayi dinamakan sesuai dengan nama leluhur tersebut. Permintaan arwah dengan
cara demikian disebut ‘noke naden’
(meminta namanya), maksudnya meminta agar namanya diabadikan kepada si bayi nanti.
Kadang-kadang walaupun seseorang bayi telah diberi nama selama beberapa waktu lamanya, tapi bila kemudian hari bayi yang bersangkutan sakit-sakitan maka roh dari nenek moyang yang telah diabadikan namanya tu minta sesuatu yaitu ‘minta makan’ atau mungkin keluarga bayi yang masih hidup melakukan sesuatu hal yang tidak berkenan kepada arwah tersebut. Untuk itu keluarga/orang tua si bayi harus mana makan kepada si arwah berupa hewan, paling sedikit adalah ayam ataupun sesajen (beras). Kalau penyebabnya seperti tersebut maka pasti kesehatan bayi segera pulih kembali. Kegiatan ritual seperti itu (mana makan) disebut ‘ise-naden’. Kadang-kadang pemberian nama sudah lama berlangsung misalnya si bayi telah mencapai usia remaja tetapi diadakan pergantian nama. Hal ni disebabkan karena si arwah yang telah berkenan untuk dipergunakan namanya ¡tu tidak bersedia lagi agar namanya dipakai terus, ia menarik kembali namanya. Karena tidak bersedia lagi, ¡a (arwah) membuat yang bersangkutan sakit-sakitan. Semua ini dapat diketahui melalui pendepaan tombak.
Yang paling banyak diabadikan namanya adalah oknum-oknum (keluarga) yang menjadi panutan dan mempunyai nama yang harum dalam masyarakat selagi hidup atau tokoh-tokoh/orang orang berbudi luhur atau yang pintar dengan harapan agar si bayi dapat mewarisi sifat-sifat dari yang bersangkutan. Umumnya nama bayi laki-laki diambil dari nama keluarga yang laki-laki dan bayi perempuan diambil dari nama keluarga yang perempuan, jadi dari sejenis kelamin, tapi kadang-kadang dapat pula dari lawan jenis kelamin. Kini pada umumnya orang Rote masih memberi nama kepada anak cucu mereka menurut nama kakek/nenek atau nenek moyang mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Namun mereka berpendapat bahwa bila setelah diberi nama dan bayi tetap menangis atau tidak buang air, maka bayi sendiri yang tidak menyetujui nama tersebut. Bayi mengetahui itu secara kejiwaan/kontak batin. Bila demikian, maka nama bayi segera diganti tanpa meminta petunjuk dari roh-roh nenek moyang. Akhir-akhir ini ada yang menganjurkan agar tidak lagi mengabadikan nama-nama dari seseorang yang telah meninggal karena dianggap masih menganut paham mana t, tetapi tampaknya masyarakat ¡ni tetap mempertahankan karena pertama-tama merupakan nama khas daerah dan selain dañ itu sebagai kenang-kenangan terhadap keluarga yang telah meninggal, karena walaupun mereka telah meninggal tapi adalah hasil ciptaan Tuhan. Dengan demikian mana semua anggota masyarakat Rote yang beragama Kristen, disamping memakai nama menurut Alkitab (nama permandian) atau nama-nama lainnya, masih tetap pula memakai nama adat/daerah (nade dinitiu) atau nama adat digabung dengan nama Alkitab atau yang lainnya atau hanya memakai nama adat/daerah lalu direstui/diberkati menjadi nama permandian (Nasrani).
Bagi yang telah menjadi orang Kristen, nama Nasraninya yang dipergunakan dalam sapaan. Sedang dalam menyebut kadang-kadang nama adat/daerah digabung dengan nama Nasrani, misalnya nama adat seorang adalah Ndolu dan nama Nasraninya adalah Daud, maka yang bersangkutan disebut/dipanggil Ndolu Daud. Bila dipergunakan sebagai sapaan, maka yang bersangkutan merasa tersinggung. Kecuali bersifat gurauan, karena cara menyebut/menyapa seperti itu dianggap kasar. Kini nama Nasrani lebih populer bahkan ada yang hanya memakai nama Nasrani tanpa nama adat. Bila seseorang bernama Hermanus dan yang bersangkutan adalah tokoh panutan, maka pasti banyak anak cucu dalam subklen bahkan klen dari tokoh panutan tersebut menyandang nama ‘Hermanus’.
2. Nama gelar/nama
tambahan
Seseorang man mendapat tambahan nama, bila telah beranak cucu. Misalnya seorang laki-laki bernama Adu, setelah kawin dan mendapat anak pertama yang diberi nama Henuk, maka si Adu tadi boleh tetap disapa Adu, tapi man pula (yang lebih mana t) disapa ‘Henuk Aman Adu’ atau dipendekkan : ‘Henuk Aman’, artinya Ayah dari si Henuk. Bila si Henuk tadi kawin dan mendapat anak pula maka si Henuk mendapat tambahan nama lagi, begitu pun dengan si Adu yaitu Ayah si Henuk. Misalnya anak yang pentama dari si Henuk-bernama-Dula, maka:
1. Si Henuk disapa pula dengan nama ‘Dula Ama Henuk’ atau dipendekkan : ‘Dula Aman’ (ayah si Dula). 2. Si Adu selain dari namanya yang asli yaitu Adu dan nama tambahan menurut anaknya Henuk menjadi Henuk Aman, setelah mendapat cucu yang bernama Dula tadi ditambah lagi nama dan disapa ‘Dula Bai’ artinya kakek dari si Dula. Begitu pun misalnya isteri lelaki Adu bernama ‘Bute’, setelah mendapat anak yang pertama tadi (Henuk) dan cucu yang pertama pula (Dula) maka isteri si Adu yaitu Bute, dapat disapa/disebut pula dengan salah satu dari tiga nama berikut: 1. Bute, nama asli,
2. Henuk Inan Bute (disingkat Henuk lnan) artinya ibunya si Henuk atau,
3. Dula Bei Bute (disingkat Dula Bei) artinya neneknya si Dula. Umumnya setelah mendapat anak dan cucu maka nama ayah-ibu dan kakek nenek (kakek nenek pihak ayah) bertambah dan disapa sesuai nama-nama gelaran seperti contoh tersebut. Penambahan nama ¡tu hanya berdasarkan nama anak atau cucu yang sulung. Generasi yang belakangan lebih senang dengan nama tambahan yang berciri Nasrani. Misalnya anak sulung suatu keluarga bernama Kristofel (disingkat To’e), maka si ayah disapa/disebut To’e mana tau To’e Papan (ayahnya To’e), dan si ¡bu disapa/disebut To’e inan atau To’e Maman (ibunya To’e). Nama-nama Nasrani orang Rote, dalam sapaan/sebutan disingkat, misalnya Kristofel disingkat (To’e), Welem (Beng), Yohanis (Nani), Maria (Mia), dan Wilhelmina (Mi’a).
Nama-nama yang diabadikan sekarang pun tidak saja sesuai dengan nama orang/leluhur Rote, tetapi ada yang berciri etnis luar, bahkan ada yang mengabadikan nama artis nasional bahkan internasional ataupun nama lainnya yang merupakan idola bagi seseorang.
F. Arti Nama. Walaupun ada adegium “apa arti sebuah nama”, yang mempertanyakan hahekat “nama”, dan mungkin bagi sebagian orang hal itu tidak penting, namun bagi orang Rote, nama tidak hanya sekedar “teks” yang ditempelkan tetapi adalah kesejatian suatu obyek. Nama penting untuk dijadikan alat yang mencitrakan keberadaan obyek, benda, binatang, dan manusia. Oleh karena itu bagi orang Rote, nama dari setiap benda termasuk manusia ada artinya.
Nama-nama orang Rote umumnya menurut nama berbagai benda atau berupa filsafat hidup, misalnya :
1. Menurut nama benda (hewan) di air/laut : Tasi (laut), 0e (air), Nafi (teripang), Ngonggoek (kerang), Mboek (udang), lu (yu), Balu/k (perahu), Foeh (buaya/kambuh, mulai).
2. Menurut nama benda-benda di darat: Dae (tanah), Batu (batu), Mbatu (benteng), Ufi (ubi), Fangidae (tanah terbelah), Dilak (duri), Nggoe (kunci).
3. Menurut nama hewan darat: Manu (ayam), Mbuik (burung).
4. Menurut nama benda-benda galian/logam: Lilo (emas), Besi (besi), Meda (patri).
5. Menurut nama benda keramik : Nggusi (guci), Pingga (piring), Henu/k (muti/ penuh).
6. Menurut nama benda-benda angkasa : Ledo (surya/matahari), Bulan/k (rembulan/bulan), Ndu/n (bintang), Angin (angin/bayu), Soan (awan), Huan/Siluk (fajar), Lai/Lay (angkasa).
7. Menurut nama-nama yang mengandung unsur Ilahi : Adu (pencipta), Sura (pencatat), Manafe (pemberi).
8. Menurut nama-nama tumbuhan : Lena (wijen), Na’u (rumput), Ufi (ubi).
9. Menurut filsafat/sifat profesi dan lain-lain : Hani/ng (pemberi minum), Meru/k (pem berani), Nale (untung/nasib), Mandala (penjala ¡kan), Ndolu (pendamai), Moi (licin), Eoh (keliling), Foe/s (timbul/terulang) atau buaya, Naru (panjang), Tulle (berbalik), Pella/Longe (menari dengan cara tertentu), Lino (tenang), Manasopu/Mansopu (pemburu).9. Menurut filsafat/sifat profesi dan lain-lain : Hani/ng (pemberi minum), Meru/k (pem berani), Nale (untung/nasib), Mandala (penjala ¡kan), Ndolu (pendamai), Moi (licin), Eoh (keliling), Foe/s (timbul/terulang) atau buaya, Naru (panjang), Tulle (berbalik), Pella/Longe (menari dengan cara tertentu), Lino (tenang), Manasopu/Mansopu (pemburu).