Pulau Landu
Daerah
otonom dari Nusak (Kerajaan) Thie
Pulau Landu adalah sebuah pulau
kecil, berpenghuni, terletak di sebelah selatan barat daya dari Pulau Rote,
juga letaknya paling selatan dari kepulauan Nusantara. Pulau ini merupakan
sebuah desa, masuk wilayah Kecamatan Rote Barat Daya - Kabupaten Rote Ndao –
Propinsi NTT. Penduduk asli Kecamatan Rote Barat Daya adalah sebuah komunitas
yang disebut orang “Thie”. Mereka adalah salah satu subetnis dari 19 subetnis
yang terdapat di Kabupaten Rote Ndao. Subetnis Thie atau orang Thie, adalah
turunan dari seorang moyang, yang bernama Ti Mau. Ti Mau bersaudara antara lain
dengan Rote Mau, Savu Mau, dan Belu Mau. Ayah mereka bernama Mau Ndole. Mereka
dilahirkan di sekitar Gunung Lakaan (Belu).
Kemudian anak-anak Mau Ndole
berpisah dan bertualang. Mula-mula Ti Mau tinggal di kaki sebuah gunung, yang
kemudian gunung itu disebut “Ti Mau” (di Amfoang). Kemudian, dari Gunung Ti Mau,
Ti Mau bersama keluarganya hijrah ke Pulau Rote, lalu tinggal di Karafao (Landu
Leko). Sesudah itu mereka berpindah lagi ke bahagian barat Rote, lalu tinggal
di sebuah pulau kecil, yang Ti Mau beri nama pulau itu, “Landu”, sesuai dengan
nama Nusak Landu, yang pernah mereka tinggal.
Setelah turunan Ti Mau bertambah
banyak mereka tinggalkan Pulau Landu, lalu mereka ke Rote Daratan, yang di kala
itu Pulau Rote disebut Dae Henda. Daerah (wilayah) yang didududki turunan Ti
Mau, yaitu bahagian barat daya Rote dan Pulau Landu, kemudian dikenal dengan
nama “Nusak Thie”, yang kini menjadi Kecamatan Rote Barat Daya.
Waktu turunan Ti Mau hijrah ke
Dae Henda, seorang moyang, turunan Ti Mau, tetap tinggal di Pulau Landu. Moyang
itu bernama BUSA TOLA. Turunan moyang itu terorganisir dalam suatu komunitas
dan merupakan sebuah klen, disebut LEO LANDU.
Sesuai sensus penduduk serta
pertanian untuk subetnis Thie yang dilakukan oleh raja Thie (Salmun J. N.
Messakh) pada tahun 1910, jumlah jiwa klen LANDU 32 orang, terdiri dari 14 KK
(Kepala Keluarga) dan pembayar pajak yang terbesar adalah Ndu Moi, yaitu : f 2,50/2,50 gulden). Pada saat itu Kepala Suku dari Klen Landu,
bernama Langga Tola.
Selanjutnya sesuai sensus
penduduk (sensus pribadi) yang saya lakukan untuk subetnis Thie pada tahun
2005, khusus untuk LEO LANDU, jumlah
jiwanya sebanyak 77 orang, terdiri dari 20 kepala keluarga (KK). Selain dari
penduduk asli (Orang Landu), kini di Pulau ini terdapat pula beberapa leo/klen
lainnya dari masyarakat Thie. Perkembangan populasi suku ini sangat kecil, 95
tahun kemudian, dari 32 jiwa menjadi 77 jiwa.
Pada masa pemerintahan Raja Thie,
SAKU NARA (1565-1600), ia (SAKU NARA) membuat peraturan (hukum adat) sebagai
berikut :
1. Memberi otonomi kepada turunan Ti Mau yang tinggal di Pulau
Landu.[Dalam bahasa Rote : Fesara koladu
aon sira nusan (harfiah : kasih mereka atur sendiri negeri mereka)].
2. Membagi turunan Ti Mau yang berada di Dae Henda (Rote Daratan)
menjadi dua suku besar (moite),
dengan nama : SABARAI dan TARATU.
3. Setiap kelompok suku
(SABARAI dan TARATU), mencari jodoh dari luar kelompok suku (eksogami), begitupun
halnya dengan klen LANDU.
4. Pelanggaran terhadap
pembatasan jodoh, dinggap sebagai perbuatan inces (disebut “telutae”), dan
dikenakan sanksi sebesar seekor kebau betina, disebut “tati telutae”.
Dalam perjalanan selanjutnya,
moyang suku SABARAI berkembang menjadi 13 ranting (keturunan) dan suku TARATU
menjadi 12 ranting (keturunan). Pada masa pemeritahan raja Thie, Besi Alu Pa
(1771-1783), ke-25 ranting dari suku SABARAI dan TARATU itu ditetapkan menjadi
25 suku kecil, sehingga dalam kelompok SABARAI terdapat 13 suku/klen dan dalam
kelompok TARATU terdapat 12 suku/klen. Dengan demikian, sampai dengan masa
pemerintahan raja Besi Alu Pa, di Nusak/Kerajaan Thie terdapat 26 suku/klen,
termasuk suku/klen LANDU.
Sebagaimana telah saya katakan di
atas bahwa Pulau Landu diberi status otonomi oleh raja Thie SAKU NARA. Memang
masa itu masyarakat Thie belum mengenal istilah ‘otonomi’, sehingga tidak
dinyatakan dalam bahasa teknis yang modern, namun demikian, dengan menentukan
atau memberi hak kepada mereka (Pulau Landu) dengan kata : “fesara koladu aon
sira nusan” (berikan mereka untuk atur negeri mereka sendiri), dalam pengertian
sekarang berarti “otonomi”.
Ternyata orang Rote pun pada masa
jahiliah, mereka sudah punya ide-ide yang inovatif dan cemerlang. Selain dari
SAKU NARA, inovator-inovator yang lain, antaranya FOE MBURA (raja Thie), dan
LAKAMOLA BULAN (raja Bilba). Ide/pemikiran mereka sudah melampaui zaman mereka,
melampaui ruang dan waktu.
Di batas selatan Negara RI,
selain dari Pulau Ndana dan Pulau Landu, terdapat pula sebuah pulau, disebut
Nusa Manuk. Letaknya berdekatan dengan Pulau Landu (sejajar). Dahulu pulau ini
(Nusa Manuk) kosong, tetapi pada permulaan tahun 2000, mulai didiami manusia.
Penduduknya adalah orang-orang dari subetnis Thie; kini sekitar 38 KK dengan jumlah jiwa 200 orang. Kini Pulau Landu dan Pulau Nusa
Manuk merupakan sebuah “desa” dari Kecamatan Rote Barat Daya dan disebut Desa Landu. Kedua pulau ini,
adalah pulau-pulau yang “berpenghuni” yang letaknya paling selatan dari
Kepulauan Nusantara. Jumlah penduduk
Desa Landu, baik yang terdiri dari klen/leo Landu sendiri, maupun dari klen
dan/atau subetnis yang lainnya, sekitar 1.000 orang.
Selama ini sebagian besar
penduduk dari kedua pulau ini belum pernah mengikuti upacara/ perayaan HUT Kemerdekaan RI. Agar mereka merasakan dan
menyadari bahwa mereka pun adalah bagian dari Negara Kesatuan RI sehingga tidak
merasa dimarginalkan, maka pada hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-71,
Bupati Rote Ndao (Drs. L. Haning) mengadakan
upacara kemerdekaan di Pulau Landu. Tampaknya rakyat Landu dan Nusa Manuk
sangat senang mengikuti upacara itu.
Mata pencaharian penduduk kedua
pulau itu, hanyalah berupa nelayan dan petani rumput laut. Betapa senangnya
mereka, jika pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, juga
memperhatikan kebutuhan hidup mereka yang lainnya.