PULAU NDANA
Bekas
Kerajaan Yang Ada Punya Ceritera
Pulau Ndana, Bekas Kerajaan :
Walaupun dalam ilmu pemgetahuan sosial dikatakan Negara RI terbentang dari
“Sabang sampai ke Merauke dan dari Miangis sampai ke Rote, begitupun Giyanto,
seorang guru yang pernah mengajar di SMP di Rote/Ba’a menulis sebuah buku
dengan judul “Rote Pagar Selatan Indonesia” (1958), namun Pulau Ndana adalah pulau
yang letaknya paling terselatan.
Pulau Ndana juga merupakan pulau terselatan dari Benua Asia.
Pulau ini adalah sebuah pulau
kecil, terdapat di bagian barat daya dari Pulau Rote, kini termasuk Kecamatan
Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao. Dalam berbagai pemberitaan media lokal di
NTT pada tahun 2005, dikatakan bahwa Australia pernah mengklaim bahwa pulau ini
(Ndana) adalah miliknya.
Pulau ini merupakan salah satu
pulau terluar dalam Negara RI. Karena merupakan pulau terluar maka menjadi
perhatian dari Pemerintah RI. Kini, di pulau ini ditempatkan suatu kesatuan
Angkatan Laut RI, untuk melindungi pulau ini. Di pulau ini dibangun
monumen/patung Panglima Besar Sudirman. Dalam peta-peta yang dibuat pemerintah
Hindia Belanda dahulu, mencantumkan nama pulau ini “Dana” dan ada pula yang
menulis/menamakan Pamana. Namun nama sebenarnya adalah Ndana.
Dahulu Pulau Ndana berpenghuni dan merupakan suatu
“Negara Pulau”. Pemerintahan berbentuk kerajaan. Penduduk/masyarakat pulau ini
serumpun dengan masyarakat Rote. Bahasanya/dialeknya mirip dengan bahasa/dialek
Rote Timur. Mereka menyebut Rote Daratan, “Dae Henda”, sedangkan orang Rote
(Dae Henda) menyebut mereka “Ndana Kona”.
Pada sekitar tahun 1660, masyarakat pulau ini
dimusnahkan oleh seorang anak muda dari Nusak/Kerajaan Thie, yang bernama Nale
Sanggu. Anak muda ini menaruh dendam dan akhirnya membunuh rakyat Ndana karena
ayahnya serta pamannya dibunuh oleh pemerintah dan rakyat Ndana. Akhirnya
menjadi pulau tak berpenghuni.
Pada
sekitar tahun 1770-an, Besi Alu Pah alias Bastian Mbura Mesah (Raja Thie :
1771-1783), moyang dari Keluarga Messakh, melepas lima ekor rusa di pulau ini
untuk dilestarikan. Walaupun sampai saat ini habitat rusa di pulau ini terancam
oleh orang-orang yang tidak peduli pada lingkungan hidup, namun masih banyak
yang tersisa. Semoga dengan adanya Satuan Meliter (AL) yang ditempatkan di
pulau ini, rusa yang masih tersisa dapat terlindungi.
Adapun ceritera singkat tentang musnahnya kerajaan Ndana, adalah sebagai berikut :
Ada dua orang kakak beradik, masing-masing Toulo Nale
dan Sangguana Nale. Mereka adalah warga
negara kerajaan Thie. Profesi Toulo Nale dan Sangguana Nale adalah sebagai
nelayan. Hampir setiap hari Toulo dan Sangguana menghabiskan waktu untuk
mencari nafkah demi kebutuhan hidup keluarga. Disamping profesi sebagai
nelayan, kedua oknum ini terkenal pula sebagai seniman. Walaupun mereka berdua
telah berumah tangga (isteri Sangguana Nale sementara mengandung dan Toulo Nale
sudah punya dua anak), namun mereka masih muda dan sangat tampan. Mereka bukan
saja pandai dan trampil dalam hal mencari sesuatu bagi kebutuhan jasmaniah,
tetapi pula trampil dalam mengisi kebutuhan rohaniah. Bernyanyi, menari, dan bermain
musik (memetik sasandu) adalah bagian pula dari hidup dan kehidupan mereka.
Ketrampilan seni dan ketrampilan memancing berpadu menjadi satu dan
menghasilkan suatu kebahagiaan hidup tersendiri.
Merupakan suatu kebanggaan bagi para seniman pada umumnya
dan penyanyi khususnya karena sangat digemari oleh banyak orang dan ada yang
menjadi idola bagi orang lain bahkan ada yang dikejar-kejar oleh pengagumnya.
Demikian pun dengan Sangguana dan Taulo. Dalam berbagai penampilan di Dae Henda
mereka muncul dengan kekhususan sebagai artis, penuh pesona. Di mana-mana
mereka disambut dan diperlakukan sebagai primadona. Banyak sanjungan yang
berhamburan disertai tawaran berkenalan. Celakanya lagi tak sedikit di antara
para penggemar/pengagum yang terbuai oleh suara dan penampilan kedua orang Dae
Henda ini lalu jadi mabuk kepayang dan berkhayal macam-macam. Mereka menjadi
kerumunan para pengagum
Sebagai nelayan biasanya mereka tidak akan kembali ke
rumah selama beberapa hari sebelum memperoleh hasil yang memuaskan. Siang dan
malam mereka menantang laut, bergumul dengan ombak dan gelombang karena
tuntutan hidup. Pada siang hari mereka disengat terik matahari sedang pada
malam hari mereka hanya beratapkan langit yang berhiaskan jutaan bintang
seperti kunang-kunang di malam kelam.
Dalam mengarungi lautan deburan ombak sering laksana
puisi yang indah membuat hati mereka gembira ria, tetapi kadang-kadang pula
menjadi lawan yang mengerikan. Dalam kehidupan mereka sehari-hari
menjala/mengail serta senandung lagu dengan iringan musik sasandu merupakan
kegiatan yang memberi nikmat dan hikmat tersendiri.
Hidup bagi mereka adalah putaran waktu yang menyeret
bungkahan kehidupan di tengah ombak dan gelombang, di tengah samudera luas
serta di tebing-tebing pinggiran laut. Sebagai seniman tiap riak gelombang dan
deburan ombak di pantai dan karang serta sinar rembulan dan kerdipan bintang di
malam kelam memberi inspirasi menumbuhkan imajinasi yang sangat berharga bagi
mereka.
Ke mana pun mereka pergi mencari ikan alat musik
sasandu selalu dibawa serta. Bila beristirahat melepaskan lelah baik di atas
biduk maupun di pinggir pantai mereka memetik sasandu sambil bersenandung dan
bermadah. Kedua kakak beradik itu adalah bersaudara yang serasi dalam hidup dan
perjuangan hidup mereka. Mereka sama-sama menjalani hidup ini baik dalam duka
maupun dalam suka.
Demikianlah pada suatu saat yaitu kira-kira pada
tahun 1660 dalam suatu petualangan untuk mencari nafkah (ikan), suatu malam
mereka dihadang oleh angin topan yang dahsyat. Pada malam itu mendung menutup
langit dan kegelapan pun mulai merajai bumi. Kelam begitu cepat berubah
menjadi kepekatan yang kedap. Rona cahaya bintang yang tadinya gemerlapan
menghiasi angkasa raya, semuanya telah ditutup dengan kekelaman. Tiada satu
bintang pun bertengger di langit, gelap gulita, tiada seberkas sinar pun
menerangi alam.
Kemudian hujan turun seperti dicurahkan dari langit,
disertai bunyi guruh bersahut-sahutan seperti hendak melumat jagat. Badai pun
mengamuk memporak-porandakan segala yang diterjangnya.
Kedua kakak beradik itu tidak lagi berdaya menghadapi
topan, mereka pun pasrah. Dalam kepasrahan menghadapi maut, pertolongan Tuhan
pun sampai. Mereka terdampar ke pulau Ndana dengan selamat. Maut yang hendak
merenggut hidup mereka telah dikalahkan. Mereka merasa gembira dalam suatu
helaan napas yang menyesak, namun terlintas dalam pikiran suatu malapetaka
masih datang mengintai.
Walaupun mereka telah lolos dari sergapan ombak namun
masih ada bahaya yang lain. Nasib mereka seolah-olah luput dari mulut harimau
jatuh ke mulut buaya. Mereka menyadari bahwa pasti mereka menghadapi suatu
bahaya yang besar lagi oleh karena Ndana merupakan daerah tertutup bagi negara
lain, terutama bagi negara/kerajaan Thie, asal kedua oknum ini.
Dikala itu kerajaan Thie menuntut agar kerajaan
Ndana membayar upeti kepada kerajaan Thie. Tuntutan itu ditolak lalu putuslah
hubungan diplomatik maupun ekonomi antara kedua kerajaan tersebut. Dalam
keadaan yang tegang seperti itu setiap orang yang ingin pergi ke kerajaan
Ndana dan/atau sebaliknya tanpa ijin akan dikenakan hukuman yang berat. Hal
inilah yang membuat Sangguana dan Toulo bersedih walaupun telah lolos dari
sergapan tofan.
Kedua bersaudara ini terdampar ke Pulau Ndana bersama
alat musik sasandu yang merupakan alat penghibur di kala santai. Karena takut
terhadap penduduk Ndana lalu mereka bersembunyi dalam suatu gua. Namun mereka
ditemukan oleh seorang penduduk Ndana yang bernama Nunu Foe, lalu keduanya
ditampung di rumah oknum ini.
Sementara menanti kesempatan untuk kembali ke Rote,
setiap saat mereka berdua bermain sasandu. Banyak orang Ndana turut menonton
dan bahkan tertarik dan kagum atas bunyi alat musik tersebut. Berita mengenai
kedua oknum ini dengan alat musik mereka, sampai juga ke Istana Raja Ndana
(Taka La’a), lalu mereka berdua dipanggil ke Istana untuk menghibur keluarga
Istana dengan alat musik tersebut.
Dalam memetik/bermain sasandu, Sangguana mendapat
perhatian khusus dari istana sehingga pada setiap upacara adat atau pada
saat-saat santai Sangguana dan Toulo diundang untuk menghibur rakyat maupun
keluarga istana. Bunyi musik sasandu biasanya menggugah dan membuat pendengar
menjadi terpesona karena itu dalam ungkapan Rote dikatakan ‘Sandu mana kokoek,
ma hitu mana kokonik‘ artinya alat musik sasandu mempunyai sifat/kemampuan
merayu dan membujuk, maksudnya membuat hati pendengar menjadi luluh. Kehadiran
mereka berdua di istana membuat penghuni istana menjadi bahagia dan terhibur.
Raja Ndana (Taka La’a) mempunyai dua orang puteri
cantik yang penuh pesona pula. Kedua puteri tersebut tertarik pada musik maupun
nyanyi dan tari dan sekaligus tertarik pula pada Sangguana dan Toulo sebab
mereka pun tampan dan seksi. Hal ini berlangsung terus dan akhirnya daya tarik
masing-masing membuahkan cinta yang makin hari makin bersemi, mereka
masing-masing terpanah asmara.
Senandung cinta mulai berdendang di hati kedua pasang
anak Adam itu. Wajah kedua puteri begitu binar sebagaimana halnya perawan yang
baru pertama kali merasakan asmara ketika cinta menyentuh dunia mereka. Mulai
terjadilah love affair antara mereka.
Petualangan cinta dalam perkawinan anak-anak Adam
rupanya sudah menjadi drama kehidupan klasik yang sangat menarik sehingga
adalah wajar jika dua insan berlawanan jenis kelamin menjalin asmara. Namun,
khususnya love affair antara Sangguana dan Toulo dengan kedua puteri berdarah
biru itu penuh resiko karena adanya perbedaan status sosial dari kedua pasang
pelaku cinta itu, apalagi Sangguana dan Toulo sudah berkeluarga. Isteri
Sangguana sementara mengandung untuk pertama kalinya dan Toulo mempunyai
seorang isteri dan dua orang anak yang masih kecil. Sebaliknya bagi kedua
puteri, petualangan cinta mereka dengan kedua pemuda Dae Henda itu bukan cinta
gombal, bukan sekedar bertemu, kenalan, berkencan lalu berpisah. Betul-betul
mereka ingin membentuk rumah tangga dengan kedua pemuda tersebut.
Mungkin kedua insan Dae Henda kakak beradik itu
tidak sebagai penyulut api pertama kali, tapi jelas mereka berdua telah
menyambut permainan itu. Akibatnya love affair itu merepotkan bahkan
membahayakan mereka karena bara cinta yang menyala itu sukar dipadamkan. Memang
bila cinta memadukan dua insan apa pun akan dapat dilewati mereka kecuali maut.
Berlangsungnya love affair itu tanpa diketahui oleh istana. Hal ini berlangsung
lama akibatnya hasilnya dipetik, kedua puteri mengandung bersama-sama.
Orang pun mulai ramai bicara. Di sudut-sudut gang
dalam ibu kota hal ini dianggap sebagai suatu kejadian yang sudah menjadi
rahasia umum. Keluarga istana menjadi penasaran, kuping mereka seolah pecah
oleh perguncingan yang datang dibawa oleh suara burung dan hembusan angin.
Biasanya suara burung adalah nyanyian yang merdu dan hembusan angin adalah
musik alam yang penuh kesukaan. Tetapi yang sampai ke istana justru angin busuk
dan teriakan suara yang memekakan telinga. Istana merasa amat terhina karena
hal itu menyangkut kehormatan seluruh keluarga istana bahkan seluruh rakyat
Ndana.
Kedua insan Dae Henda itu diintrograsi. Ternyata
keduanya mengakui perbuatan mereka. Raja sangat terpukul karena perbuatan baik
yang telah ditunjukkan kepada mereka dibalas dengan kejahatan. Raja pun sangat
bingung, ia berada di simpang jalan yaitu antara mengawinkan kedua puterinya
itu dengan kedua insan itu atau batal.
Sementara raja bingung, rakyat pun unjuk rasa. Mereka
menuntut supaya kedua oknum itu segera diadili karena telah menodai martabat
keluarga kerajaan. Segera diadakan sidang untuk menentukan apakah hubungan
mereka direstui atau dibatalkan.
Atas desakan rakyat, sidang memutuskan bahwa
Sangguana dan Toulo harus dihukum mati karena perbuatan mereka telah memalukan
dan menghina pemerintah/raja dan bangsa. Akhirnya mereka dieksekusi mati dengan cara dipancung.
Lahirnya Nale
Sanggu : Beberapa bulan
telah berlalu, kandungan isteri Sangguana makin hari makin sarat. Setiap hari
pikiran sang isteri selalu tertumpu pada suaminya dan kakak iparnya yang tak
kunjung-kunjung pulang dari mencari nafkah. Kadang-kadang bayangan sang suami
merajai dalam kalbunya, hadir dalam serangkai mimpi di malam sepi. Kerinduan
menyentuh-nyentuh di dalam hatinya membuat perasaannya menjadi sendu.
Setiap malam ia tak begitu nyenyak tidur, selalu
dikagetkan oleh lolongan anjing dikejauhan seperti orang meratapi mayat dan
kadang kala diselingi oleh jeritan hantu. Ia merasa ngeri. Sementara itu ia
selalu memikirkan pula saat-saat melahirkan. Hatinya makin gelisah, pikirannya
bertambah risau.
Tak seorang pun menginginkan perpisahan dengan
orang-orang yang dicintainya. Tetapi sering takdir berlaku lain. Banyak
peristiwa yang tak terduga yang kemudian membuahkan kisah yang mengharukan :
penantian terhadap orang-orang terkasih yang tak pernah kunjung tiba. Mereka
hilang tak tentu rimbanya.
Isteri Sangguana menunggu dua peristiwa dengan penuh
kesabaran, tapi juga dengan penuh kekawatiran dan kegelisahan. Menunggu
kembalinya sang suami tercinta, sementara itu menanti juga kehadiran seorang
generasi baru, seorang bayi buah hatinya. Dari kedua peristiwa yang dinantikannya
itu, sudah mulai ada gejala-gejala akan segera hadirnya si bayi. Sementara itu
tidak disangka bahwa sang suami yang juga ditunggu kedatangannya, telah
menjalani eksekusi mati di negeri Ndana.
Saat-saat melahirkan bagi seorang ibu adalah saat
yang penuh kengerian. Banyak ibu tewas diwaktu melahirkan karena mengalami
kesulitan. Isteri Sangguana menanti saat-saat persalinannya dengan penuh
kepasrahan. Dan saat itu pun tiba. Sang bayi pun keluar, keluar dari suatu alam
yang sempit memasuki suatu alam yang maha luas. Bayi ini lahir tanpa sambutan
sang ayah.
Situasi dan peristiwa yang dialami oleh sang ibu
membuatnya sangat sakit, pedih dan perih. Semuanya itu tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata dan bukan itu semata. Yang lebih menyakitkan,
meluluhlantahkan batinnya ialah tidak ada seorang ayah yang turut menyambut
kehadiran bayinya itu.
Namun, dibalik semua penderitaan itu setelah
diketahuinya bahwa bayinya itu laki-laki, duka laranya agak terobati karena disamping telah melahirkan
generasi penerus kehidupan umat manusia, juga penerus generasi suaminya, bahkan
sekaligus pengganti ayahnya dalam menopang hidup ini kalau tokh sang ayah tidak
kembali lagi.
Bayi ini diberi nama “Nale” dan karena nama ayahnya
adalah Sanggu, maka nama lengkapnya adalah “Nale Sanggu” (biasanya nama anak
digabung dengan nama ayah). Walaupun secara kebetulan namun arti nama-nama ini
cocok dengan pengalaman hidup bahkan takdir kedua orang tua beranak itu. Nale
artinya nasib, sedangkan Sanggu artinya angin topan. Nale Sanggu bernasib sial
selama hidup, begitu pun ayahnya Sangguana Nale diserang angin topan sehingga
terdampar di Ndana dan mengakhiri hidupnya di sana. Begitu pun nama Toulo Nale
bermakna “bernasib hidup di rumah orang atau “di rantau orang”.
Berita Duka : Sambil menunggu-nunggu berita mengenai keadaan suami dan kakak iparnya, isteri Sangguana dengan penuh kecintaan
mengurus bayinya. Berbagai kebutuhan diusahakan dengan sekuat tenaga. Dirasakan
betapa beratnya beban yang dipikulnya sendirian tanpa suaminya. Hatinya menjadi
pedih dan perih.
Si bayi sejenak-sejenak menangis karena lapar atau
basah, tetapi kadang-kadang menangis seperti kaget. Pada saat seperti itu
bayangan sang suami selalu datang dan tinggal dalam singgasana hati sang
isteri, menggugah tali-tali pengekang perasaannya. Ia sangat merindukan
kehadiran suaminya.
Pada suatu saat sementara si ibu merawat bayinya
datanglah seorang tamu. Tamu itu (Rondo Nunu, anak Nunu Foeh) tampak asing sama
sekali.
Walaupun selama itu tak ada sesuatu firasat yang
mengisyaratkan akan adanya sesuatu peristiwa buruk namun dengan tidak
kembalinya suaminya kakak beradik selama beberapa bulan itu maka sang isteri
merasakan bahwa pasti telah terjadi sesuatu peristiwa atas keselamatan mereka.
Oleh karena itu kedatangan tamu asing itu penuh tanda tanya baginya.
Setelah tamu itu dipersilahkan duduk sang isteri
menunggu dengan sabar menahan rasa ingin tahu berita apa yang dibawanya. Dengan
hati berdebar dengan bergemuruh dihentak jantung yang berpacu, ia menanti apa
yang akan disampaikan oleh tamu ini. Namun, si tamu masih membisu, belum
mengungkapkan maksud kedatangannya. Hanya diperhatikannya sang ibu bersama
bayinya. Keadaan menjadi hening.
Sesaat kemudian tamu itu mulai membuka keheningan
lalu berkata, “Saya adalah Rondo Nunu, anak dari Nunu Foeh, berasal dari negeri
yang jauh”. Kemudian ia sengaja bertanya, “Dimanakah suami Ibu?”
Setelah diam sesaat si ibu membuka suara lalu
menjawab, “Suamiku bersama kakaknya pergi mencari nafkah, mencari ikan pada
beberapa bulan yang lalu tetapi sampai kini belum kembali”. Lalu ia bertanya pula,” Belum pernahkah Ibu
mendengar suatu peristiwa pembunuhan yang tragis di negeri Ndana pada beberapa
bulan yang lalu ? Sang Ibu cepat-cepat
menjawab, “Saya belum pernah mendengar berita itu”.
Dengan hati
yang berdegap-degap sang Ibu bertanya pula, “Apakah suamiku dibunuh di negeri
Ndana ? Setelah terjadi keheningan sesaat berkatalah tamu itu,” Suamimu dan
kakaknya terdampar di pulau Ndana dan mereka ………., mereka telah dibunuh.”
Baru saja Rondo Nunu berbicara demikian si isteri
terhentak dan menjerit histeris lalu terhempas di lantai seperti barang yang
tak bernyawa. Ia pingsan dan tak sadarkan diri lagi. Karena teriakan histeris
itu maka berdatanganlah tetangga dan kaum kerabat, termasuk isteri Toulo.
Setelah suasana menjadi tenang, si tamu mulai menceriterakan kronologis serta
sebab musabab terjadinya hukuman/pembunuhan terhadap mereka berdua.
Sang isteri dan iparnya makin meratap, mereka tidak
sanggup menahan kesedihan, sedangkan tetangga dan kaum kerabat mereka pun turut
berair mata mengenang Sangguana dan kakaknya yang selalu dinantikan tetapi tak
kunjung kembali.
Rumah tangga yang dibentuk Sangguana baru beberapa
bulan usianya tetapi terasa kebahagiaan selalu meronai rumah tangga muda itu,
dan karena tuntutan hidup pasangan suami isteri terpaksa harus terpisah. Sang
suami sering pergi…pergi mencari nafkah lalu kembali. Namun kepergiannya kali
ini adalah kepergian untuk selama-lamanya. Tak mereka bayangkan bahwa sesuatu
akan menghadang hari-hari ceria mereka.
Kini telah disadari oleh sang isteri bahwa suami
terkasih yang telah dinantikan selama berbulan-bulan itu tidak akan kembali
lagi. Dirasakannya vonis mati kepada suami dan kakaknya itu tidak setimpal
dengan kesalahan mereka. Namun, apa hendak dikata suami tercinta dan kakaknya
telah dibunuh. Mereka telah pergi untuk selamanya.
Kini si isteri telah menjadi janda dan buah hatinya
yang baru beberapa hari hadir di bumi pun telah menjadi yatim pula. Mereka
menjadi janda dan yatim karena kebengisan manusia oleh manusia.
Sang ibu menatap ke depan, matanya menerawang jauh
ingin menembus misteri hari esok dan kini terbayang di hadapannya masa depan
yang penuh kekelaman. Nasib manusia seperti cuaca, selalu berubah-ubah tanpa
diduga. Kini ia sendiri menatang anaknya menjelajah hidup ini. Harapan dan
dambaan akan suatu kehidupan keluarga yang penuh keceriaan telah sirna.
Mendung musim hujan telah berlalu dan musim kemarau
telah menampakkan diri. Bumi mulai dilanda kegersangan. Terbentang hamparan
padang rumput yang mulai layu. Sang isteri menyaksikan semua ini dengan penuh
kecemasan. Hatinya gundah. Kemarau akan segera melanda buana dan kemarau pun
melanda hidupnya. Pikirannya menerawang jauh dan jauh. Melintasi awan
melintasi langit, melontarkan ia kembali ke masa lalu, masa mereka duduk
bersanding kala yang penuh dengan keceriaan. Namun, realitas dunia penuh
misteri dan fatamorgana.
Waktu berjalan terus. Ingatan dan perasaan sang ibu
masih tetap menggapai ke belakang dalam semilir angin berembus, mengenang
segala peristiwa yang telah mereka alami, baik dihari-hari keceriaan mereka
sewaktu pertama kali memasuki mahligai perkawinan, maupun di hari-hari naas
yang telah menghancurkan harapan dan masa depan mereka.
Setiap saat sang ibu menatap anaknya dengan penuh
keharuan. Namun, sebutir pengharapan masih memberi semangat kepadanya, masih
sisa suatu kekayaan dalam hidupnya ialah buah hatinya. Anaknya adalah
segala-galanya. Ia ditatang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab. Si
ibu sadar bahwa tanggung jawab sebagai seorang ayah telah beralih kepadanya.
Dialah yang harus menghadapi berbagai tantangan yang terhampar di depannya.
Di sana, di desanya yang kecil dan sunyi itu sang ibu
mengambil alih kemudi kehidupan lalu berjuang sendirian menghadapi badai dan
tofan demi kelangsungan hidup mereka, demi kelangsungan hidup buah hati
satu-satunya. Ia menghadapi hari-hari kehidupan mereka dengan tabah dan ulet
dan berusaha untuk menguak misteri hari esok yang selalu menggoda dalam maya.
Mencari Ayah : Nale Sanggu adalah satu-satunya harapan sang ibu dalam
melanjutkan generasi baru maupun penopang dalam kehidupan setelah sang ibu
sudah tua. Ia mulai dipersiapkan oleh si ibu untuk mengambil alih semua
tanggung jawab keluarga. Dalam segala kekurangan dan keterbatasan hidup, sang
ibu memelihara dan membina si yatim itu.
Setiap hari sang ibu bergulat mencari sesuap nasi dan
seteguk air bagi buah hatinya. Kalau pada masa lalu hidup suami isteri ini
cukup lumayan kini sepeninggal suami si janda dan anaknya hidup dalam kemelaratan.
Dalam menopang hidup disamping bertani secara
kecil-kecilan, sang ibu hampir setiap hari pergi ke laut untuk mencari kerang,
ikan, dan sayur laut dan setelah pulang dimasak lalu dimakan bersama marungga
(kelor). Semuanya itu merupakan makanan khas orang Rote yang cukup bergizi.
Sang ibu buta huruf, tetapi ia pandai mengatur menu dengan makanan yang sangat
sederhana itu. Makanan tersebut telah membuat Nale Sanggu tumbuh dengan subur
dan sehat, tubuhnya montok, penuh gizi.
Walaupun kehidupan sebagai nelayan yang pernah
dijalani oleh suami almarhum cukup memberi hidup yang lumayan namun sang ibu
tidak mempersiapkan buah hatinya Nale Sanggu untuk menjadi nelayan mengikuti
jejak ayahnya. Tragedi yang telah menimpa suaminya almarhum masih membuat ia
merasa trauma oleh karena itu ia tidak mau anaknya mengikuti profesi ayahnya.
Ia ingin anaknya menjadi petani.
Setelah Nale Sanggu berumur enam tahun ia dilatih
oleh ibunya menggembalakan ternak. Ayahnya meninggalkan sejumlah harta
kekayaan antara lain sekawanan domba. Kawanan domba itu diserahkan oleh ibunya
kepadanya untuk diurus.
Nale Sanggu merasa senang menjadi gembala dan
peternak. Tiap hari ia menggiring domba-dombanya ke padang sabana bersama kawan
gembala lainnya. Mereka menghabiskan waktu di padang sabana menggembalakan
ternak dan bertahan hanya dengan sebotol gula merah atau jagung goreng.
Di padang sabana sementara kawanan domba mereka
masing-masing menikmati rumput Nale Sanggu dan kawan-kawanya melakukan berbagai
atraksi. Sambil menabuh genderang kecil yang dibuat dari tempurung kelapa dan
kulit kambing, mereka menari-nari penuh kegirangan. Darah seni sang ayah
menurun kepada sang anak. Bunyi/alunan genderang kecil serta panorama alam di
padang peternakan menggugah dan menyentuh jiwa seninya sehingga suasana itu
merupakan puisi yang mempesona walaupun hanya berlangsung sesaat.
Pekerjaan sebagai gembala dan suasana di padang
sabana sangat menggembirakan, namun kegembiraan itu selalu disertai dengan
detak jantung dan getaran hati kesedihan. Panorama alam yang indah yang
menawan kalbu, cepat berubah menjadi drama yang menyedihkan, penuh kesyahduan.
Keceriaan dan kesedihan silih berganti. Ia sedih karena setiap kali pulang dari
padang sabana kawan-kawanya disambut oleh ayah mereka masing-masing dengan
berbagai rayuan dan bujukan manis, sedang tak ada figur yang bernama ayah yang
menyambutnya kecuali ibunya. Mulai timbul pertanyaan dalam hatinya, apakah ia
tidak berayah, ataukah ayahnya telah meninggal ? Begitulah naluri seorang anak
yang menyimpan rindu pada figur ayah.
Melihat kawan-kawannya mempunyai ayah, ia selalu
merindu untuk mengetahui di mana ayahnya sedang berada. Selama itu, sang ibu
tidak pernah berceritera meyangkut figur ayah. Namun pada suatu saat sementara
bersama ibunya sedang duduk-duduk, ia mulai mengemukakan kerinduannya kepada
ibunya. Ia bertanya, “Dimanakah ayahku, Ibu? Apakah ia sudah meninggal atau
bepergian jauh? Ataukah aku dilahirkan tanpa ayah?”
Sang ibu sangat sedih mendengar pertanyaan buah
hatinya itu. Demi menghindari kesedihan yang berlarut sang ibu menjawab,
“Ayahmu sedang bepergian jauh, pergi berdagang di negeri orang.”
Jawaban si ibu belum dapat mengobati perasaan duka
yang begitu besar lalu ia bertanya lagi, “Mengapa sudah bertahun-tahun ayah
telah pergi tetapi sampai kini belum kembali juga Ibu ?”
Sang ibu bertambah syahdu. Ia tidak menjawab hanya
meneteskan air mata. Melihat sikap ibunya si yatim menjadi sedih. Sedih karena
disamping tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari ibunya, juga karena
ia ingat akan kata-kata kawan-kawannya yang secara sinis mengatakan bahwa
dalam hidup mereka belum pernah melihat orang dilahirkan tanpa ayah.
Menurut pola pandang orang Rote bahwa jika seorang
anak dilahirkan tanpa ayah maka pasti anak yang bersangkutan lahir dari
perkawinan yang haram misalnya hubungan gelap ataupun sumbang (inses).
Kawan-kawan sebaya Nale Sanggu mengetahui hanya
sedikit tentang kisah hidup ayah Nale Sanggu. Dari masyarakat sekitar pun Nale
Sanggu tidak mendapat informasi yang jelas tentang keberadaan ayahnya.
Karena penderitaan batin Nale Sanggu makin parah maka
ia ingin mendapatkan suatu jawaban yang jujur dari ibunya. Jawaban ibunya
beberapa waktu yang lalu tetap merupakan misteri baginya sehingga batinnya
tidak tenteram. Oleh karena itu pada suatu malam sewaktu sang ibu dan anak
masuk ke peraduan, sang anak memeluk ibunya sambil mengusap-usap pipi ibunya
tercinta. Sang ibu membiarkan pipinya diusap oleh buah hatinya itu. Air mata si
yatim tercurah. Hati ibu pun luluh lantak.
Dalam keheningan malam yang hanya diiringi deburan
ombak di pantai dan kerik jangkrik laksana untaian nada yang menawan hati, sang
yatim dengan suara terbata-bata disertai linangan air mata berkata, “Ibuku
sayang, hatiku sangat sedih dan sakit. Hatiku laksana diiris seribu sembilu.”
Mendengar kata-kata anaknya itu sang ibu kaget lalu
bertanya, “Mengapa anakku sayang ?” Sambil menahan tangis ia menjawab, “Mereka
itu.., kawan-kawanku, mengatakan bahwa baru pernah ditemukan dalam hidup
mereka di dunia ini anak manusia dilahirkan tanpa ayah. Betulkah ayahku berdagang
di negeri orang ibu? Jika sayang padaku ceriterakanlah sebenarnya, Bu!”.
Sang ibu makin terenyuh mendengar semua perkataan
yang terucap dari mulut mungil Nale Sanggu buah hatinya itu. Ia menarik nafas
panjang disertai cucuran air mata namun ditahannya perasaan dukanya itu.
Melihat keadaan buah hatinya itu sang ibu berpendapat bahwa sebaiknya ia harus
berterus terang, oleh karena itu setelah beberapa saat kemudian sang ibu
berkata, “Anakku sayang, saya tahu bahwa kau sangat mencintai ayahmu. Nanti
besok menjelang malam akan kuceritakan ke padamu apa yang telah terjadi atas
ayahmu.”
Mendengar jawaban itu, Nale Sanggu merasa agak lega
namun menunggu sampai besok malam rasanya terlalu lama. Suara hatinya mendesak
ibunya untuk menceriterakannya saat itu juga tetapi demi hormat dan taat kepada
ibunya diterimanya keputusan ibunya itu walaupun menunggu adalah suatu
pekerjaan yang berat. Malam itu ia tidak dapat tidur, ingin agar hari segera
siang, namun dirasakannya putaran waktu seolah-olah terlalu lamban. Dari luar
terdengar jangkrik bersahut-sahutan seakan berdendang membawakan lagu nina
bobok. Tak berapa lama ia pun terbuai dalam kelelapan tidur.
Pada pagi harinya sewaktu matahari mulai menyebarkan
sinar pagi yang begitu lembut dan nyaman ke bumi persada, si yatim Nale Sanggu
telah siap pula untuk menggiring domba-dombanya ke padang sabana. Hari itu
kawan-kawannya bersuka ria sebaliknya Nale Sanggu tidak begitu bersemangat.
Pikirannya tetap terpaut pada janji ibunya. Ia berharap agar hari segera
menjadi sore supaya bisa cepat pulang ke rumah. Beberapa jam sebelum matahari
masuk ke peraduannya, ia pamit pada kawan-kawannya dan lebih dahulu menggiring
domba-dombanya pulang ke rumah.
Sesuai janji ibunya untuk menceritakan apa yang
ditanyakan anaknya maka sesudah makan malam sang ibu mengajak sang anak untuk
duduk-duduk di halaman depan rumah. Sementara duduk sang ibu
berkata,”Arahkanlah pandanganmu ke sana…..! (sambil ibunya mengacungkan
telunjuknya ke langit bagian barat daya). Disana…, di bawah kedua bintang itu*
ada sebuah pulau, namanya Ndana. Di pulau itulah ayahmu dan “bapak besarmu”
(kakak laki-laki ayah) mengakhiri hidup mereka. Mereka berdua dibunuh oleh raja
beserta rakyat pulau tersebut sementara bergulat dengan hidup untuk menghidupi
saya dan juga engkau yang dikala itu masih dalam kandunganku.”
Baru saja mengucapkan kata-kata itu sang ibu
menghempaskan tubuhnya ke tanah sambil menangis histeris, sedangkan si yatim
terdiam hanya mencucurkan air mata. Dirasakan tubuhnya kosong seolah-olah tak
bertulang. Ia merasa lemas. Ia bergumam perlahan, “Bapakku dan bapak besarku
telah tiada, mereka telah dibunuh!” Ia menatap ke depan merenung nasib ayahnya,
ibunya, dan dia sendiri bahkan pamannya.
Walaupun masih kanak-kanak namun selama ini dirasakan
oleh Nale Sanggu betapa berat dan susahnya hidup sebagai janda dan yatim.
Baginya hidup ini merupakan melodrama yang tertayang di hadapan mereka.
Dirasakannya bahwa kehilangan ayah adalah kehilangan pengharapan, kehilangan
tempat bergantung. Disaksikannya ibunya setiap saat sendiri-sendiri bergumul
dengan hidup untuk menghidupi mereka. Semua pengalaman pahit ini membuatnya
mengalami trauma dalam hidupnya.
Kini telah terungkap misteri yang selama ini
menyelubungi kehidupan keluarganya. Disangkanya sang ayah tercinta yang selalu
dirindukan telah meninggal atau sedang berpergian jauh, padahal hidupnya diatur
oleh tangan manusia, tangan orang jahil yang tidak berhak untuk melakukan hal
itu. Ia tetap terpaku, merenung lama.
Beberapa saat kemudian dalam suatu helaan napas yang
panjang Nale Sanggu berkata, “Ibu, manusia di sana…..di pulau itu terlalu
kejam, lebih kejam dari binatang!” Kemudian ia bertanya,” Mengapa ayah dan
bapak besar dibunuh, Ibu?”
Sang ibu kembali terenyuh, ulu hatinya seolah-olah
dihentak alu dan hatinya serasa diiris seribu sembilu. Ia lagi-lagi menarik
napas dalam-dalam sambil berusaha menelan duka yang menyekat kerongkongan.
Perih sekali. Kematian suaminya merampas semangatnya, meluluhlantakan jiwanya.
Ditambah lagi dengan beban berat yang telah dipikulnya dalam status sebagai
janda dalam menantang hidup ini. Dalam menjalani hidup dirasakannya
seolah-olah hari-hari kehidupan mereka terlalu panjang tak berkesudahan.
Setelah sang ibu menguatkan batin yang masih dilanda
kepiluan, diceritakannya kepada buah hatinya segala sebab musabab yang mengakibatkan
ayahnya yang tercinta dan pamannya dihadapkan kepada maut. Nale Sanggu hanya
menelan duka namun secara perlahan di batinnya mulai bersemi perasaan benci
yang akhirnya terjelma menjadi rasa dendam kusumat yang makin hari makin membesar
tanpa ketahuan ibunya.
Membalas-Dendam: Dalam menapak jalan panjang ke belakang
menyusuri jejak-jejak kehidupan sebagai janda dan yatim beberapa tahun silam,
sesekali dapat menikmati suasana indah dan menyenangkan, namun belum dapat
mengimbangi kepahitan dan penderitaan hidup yang berkepanjangan itu. Trauma
dalam kehidupannya itu yang membuat rasa dendam kesumat Nale Sanggu terhadap
raja dan rakyat Ndana semakin membara lalu merencanakan suatu pembalasan
dendam.
Dua puluhan tahun telah berlalu. Raja dan rakyat
Ndana telah melupakan suatu tragedi yang pernah dibuat mereka terhadap dua
insan Dae Henda. Mereka hidup tanpa rasa curiga terhadap kerajaan lain. Mereka
tidak menyangka bahwa hukuman mati yang pernah dijatuhkan terhadap kedua insan
tersebut pada waktu lalu berakibat buruk. Padahal secara diam-diam dan dalam
jangka waktu yang cukup lama ternyata Nale Sanggu menyusun suatu rencana untuk
memusnahkan mereka.
Untuk berhasilnya idenya itu, ia harus mengetahui
keadaan medan negeri Ndana. Untunglah dua orang perempuan Dae Henda (Rote) yang
masih berkerabat dengan Nale Sanggu kawin dengan orang Ndana. Oleh karena
mereka merasa sangat prihatin dengan Nale Sanggu dan ibunya maka kedua
perempuan tersebut memberi petunjuk kepada Nale Sanggu dan memnbantu Nale
Sanggu dalam menyukseskan rencananya.
Namun, rakyat Ndana yang tinggal di sebuah pulau
tersendiri dengan sistem pertahanan yang kuat pasti sulit dikalahkan. Oleh
karena itu Nale Sanggu berpendapat bahwa Ndana tidak dapat dikalahkan hanya
dengan kemampuan militer. Ia tidak mengerahkan satuan tempur. Ia menempuh
cara-cara yang lunak tapi dapat menjerat mereka. Nalarnya cukup tinggi dalam
mengambil siasat dan taktik.
Karena tidak adanya satuan militer yang dipunyainya
serta terbatasnya sarana perang terutama sarana transportasi, maka Ndana hanya
dapat dikalahkan dengan cara tipu muslihat dan kemudian barulah fisik
(senjata). Rakyat Ndana harus dijebak. Tipu muslihat yang direncanakannya ialah
dengan mengadakan suatu permainan. Permainan yang dimaksud ialah semacam
permainan sirkus.
Dari petunjuk kedua perempuan kerabatnya itu, ia
sudah tahu bahwa orang Ndana belum pernah melihat kerbau karena itu kerbau
dipilih sebagai salah satu alat permainan. Selain dari itu direncanakan juga
sebuah senapan batu api. Alat ini pun belum pernah dilihat oleh rakyat Ndana,
merupakan alat canggih bagi mereka. Dengan menampilkan benda-benda yang asing
itu apalagi diadakannya suatu pertunjukkan sirkus diyakini bahwa rakyat Ndana
pasti tertarik dan semua akan hadir untuk menonton dengan demikian rencana
untuk menghabiskan mereka akan berhasil.
Dalam rencana perangnya selain tipu muslihat yang
dipakai, satu-satunya senjata yang diandalkan ialah pedang. Hanya sebuah
pedang yang disiapkan dan diandalkan. Dalam skenario penyerbuan pada saat
klimaks barulah pedang difungsikan. Senapan yang akan dibawa tidak dipakai
untuk alat perang tapi sebagai alat permainan.
Kerbau sebagai alat permainan yang utama dalam
rencananya itu dilatih dengan penuh semangat. Dari latihan itu, kerbau pun
telah mampu melakukan gerakan-gerakan demonstratif yang mengagumkan, termasuk
melompat, menanduk, mengibas-kibaskan skor dll.
Setelah latihan rampung dan mantap maka ia melaporkan
kepada ibunya sekaligus memohon restu. Mendengar laporan anaknya itu sang ibu
menjadi sangat terpaku. Ia menatap buah hatinya dengan penuh haru. Drama
kematian suaminya seolah-olah tertayang kembali di hadapannya. Ia kembali sedih
dan syahdu. Ia menatap ke depan, mengenang tragedi yang telah terjadi atas
suaminya.
Kini buah hatinya mau kesana … kebangsa bar-bar itu
lagi. Ia khawatir jangan sampai anaknya senasib dengan ayahnya tewas di negeri
orang tanpa pusara yang dapat dikunjungi oleh orang-orang yang terkasih.
Mengenang tragedi masa lalu itu bulu romanya berdiri, ia merasa ngeri, takut
peristiwa itu terulang kembali.
Sesudah ibunya merestuinya, ia pergi pula melaporkan
rencananya itu raja Thie (Nale Mesa : 1665-1690). Pada mulanya raja keberatan,
karena pemerintah kerajaan Thie berencana menyerang kerajaan Ndana karena
pernah timbul sengketa antara kedua kerajaan ini. Tetapi kemudian raja
menyetujui rencana Nale Sanggu setelah Nale Sanggu membeberkan skenario
penyerangannya. Raja pun memberikan kepada Nale Sanggu sebuah senapan batu api,
sebagai tanda keterlibatan pemeritahan kerajaan Thie.
Nale Sanggu membutuhkan lima orang dalam rencananya
itu. Kelima orang tersebut mempersiapkan diri melalui latihan-latihan yang mantap
baik yang menyangkut ketahanan fisik mental maupun yang menyangkut keterampilan
dalam memainkan kerbau serta keterampilan berperang..
Ke-5 orang itu dengan tugas sbb :
- Seorang
sebagai juru mudi sekaligus menjaga keamanan biduk.
- Seorang
pemain sirkus, mengurus dan mengendalikan kerbau.
- Seorang pemain sirkus yang lainnya, memainkan
bedil.
- Seorang bagian konsumsi.
- Seorang pembantu umum.
Pada tahun 1680 berangkatlah ekspedisi itu dibawah
pimpinan Nale Sanggu yang baru berumur sekitar dua puluh tahun menuju medan
pertempuran (Pulau Ndana), dengan membawa sarana yang dibutuhkan untuk misi
tersebut. Untuk pengangkutan
diperlukan sebuah biduk. Oleh karena biduk (perahu) yang dipergunakan terlalu
kecil maka kerbau diikat pada biduk dan dalam pelayaran kerbau tersebut
mengikuti biduk dengan cara berenang.
Setelah mereka sampai, Nale Sanggu menaikkan sepotong
kain putih (bendera putih) sebagai tanda perdamaian. Melihat biduk menaikkan
kain putih (bendera putih) maka badan sekuriti menerima mereka dengan baik.
Kemudian mereka melaporkan diri kepada pemerintah/raja Ndana dan mengemukakan maksud
kedatangan mereka. Dilaporkan oleh Nale Sanggu bahwa mereka datang ke negeri
ini dengan tujuan untuk mengadakan suatu pertunjukkan (sirkus) dan memohon agar
diijinkan untuk maksud tersebut. Mereka diterima dengan senang, baik yang
menyangkut kehadiran maupun rencana untuk mengadakan pertunjukan.
Sebelum permainan dimulai Nale Sanggu memohon kepada
raja Ndana agar mereka diberi istirahat selama beberapa hari. Selama ijin
istirahat itu ia mendapat kesempatan untuk orientasi lapangan. Ia berjalan
berkeliling negeri untuk mengenal keadaan medan secara nyata (langsung). Ada dua titik (tempat) yang menjadi
perhatian baginya, yaitu tempat permainan sirkus dan Nusak Lain (benteng
kerajaan Ndana). Di sini (Nusak Lain) terdapat sebuah ngarai yang dalam.
Dengan melihat langsung kedua tempat
tersebut, skenario yang telah disusun tidak akan meleset dari sasaran. Begitupun
ia dapat mengenal keluarga kedua perempuan, kerabatnya itu. Atas perjanjian
bersama antara Nale Sanggu dan kedua perempuan itu, maka keluarga dari kedua perempuan itu, tidak
boleh dimusnsahksn.
Setelah Nale Sanggu menguasai keadaan/medan maka
mulailah disusun jadwal pertunjukkan. Lokasi pertama (tempat permainan sirkus) sebagai tempat
untuk memancing rakyat Ndana agar mereka beramai-ramai datang menonton dan
lokasi kedua ialah jalan menuju Benteng/Istanah raja Ndana.
Pertunjukkan untuk hari pertama mulai berlangsung.
Banyak orang turut menonton. Pemain sirkus yang bertugas memandu kerbau mulai
memberikan aba-aba kepada kerbau untuk beraksi dengan cara menyentak talinya. Kerbau mulai
bergerak, menari, melompat, mengibaskan ekor dengan gerakan-gerakan yang cepat
dan menarik. Sementara itu telinganya digerakkan seirama dengan gerakan kaki
dan ekornya. Setelah berhenti sejenak, melompat lagi, menerjang, dan menanduk
kesana-kemari. Semua gerakannya indah, menarik, dan mengagumkan. Sementara
kerbau beraksi pemain sirkus/petugas bedil mulai menembakkan bedilnya
sekali-sekali mengikuti irama gerakan kerbau. Tiap kali pelatuk dilepaskan
timbul kilat kecil disertai dentuman. Permainan berlangsung beberapa jam.
Permainan itu membuat para penonton termasuk raja
dan fetor sangat kagum. Mereka belum pernah menyaksikan benda-benda maupun permainan
yang aneh seperti itu. Gerakan kerbau dan dentuman bedil disertai kilat/percikan
api dari moncong senapan itu membuat mereka kagum dan terpaku. Mereka
terheran-heran dan mengatakan, “Apa itu, apa itu, ekornya dikibas-kibaskan,
telinganya digerak-gerakan, dan tanduknya terbentang !” Dikatakan juga, “Apa
ini-apa ini, ...berdentum dan memuntahkan kilat, maksudnya bedil dapat
mengeluarkan kilat dan guntur.
Setelah selesai pertunjukan hari pertama, informasi
mulai disebarluaskan oleh penonton maupun atas instruksi raja ke seluruh
penjuru mengenai atraksi yang dianggap aneh tapi mengagumkan itu. Mereka
menyiarkan berita bahwa ada seekor hewan dapat menari, melompat, ekornya
dikibas-kibaskan, telinganya digerak-gerakan, serta tanduknya terbentang,
menanduk ke sana
ke mari, semua gerakannya berirama, indah dan mengagumkan. Oleh karena berita
itu sangat menarik apa lagi atas instruksi raja maka pertunjukan hari kedua dan
ketiga hampir seluruh rakyat turut mengambil bagian.
Pada hari kedua Nalle Sanggu mengumumkan bahwa
pertunjukan hanya berlangsung selama tiga hari dan diharapkan kepada semua
penduduk agar tidak ada yang ketinggalan. Terselip dalam hatinya bahwa jika
semua penduduk dapat hadir maka rencananya untuk melaksanakan pembunuhan masal
dapat berjalan dengan sukses.
Keesokan harinya sesudah pertunjukan terakhir semua
rakyat tidak pulang, mereka mengikuti suatu acara ramah tamah. Acara itu
berlangsung pada sore hari dengan sangat meriah. Hampir semua rakyat Ndana
turut hadir. Mereka bersukaria tanpa menyadari bahwa hidup mereka tinggal hanya
beberapa saat. Mereka tidak tahu bahwa di antara semua orang yang mengambil
bahagian dalam pesta itu ada seorang anak manusia yang walaupun secara lahir
turut bergembira dan cukup simpatik namun dibatinnya tetap terpendam kebencian
dan rasa dendam terhadap rakyat Ndana dan berusaha sungguh-sungguh untuk
mengakhiri hidup mereka. Memang manusia itu penuh kompleksitas. Bisa saja di
permukaan tampak senang, ramah, dan simpatik. Tetapi di dalamnya penuh dengan
kepahitan, dendam, dan kebencian.
Sesudah ramah tamah Nale Sanggu meminta izin untuk
menghitung jumlah penonton dengan dalih ingin mengetahui banyaknya orang yang
turut mengambil bahagian dalam pertunjukan itu. Lebih lanjut dikatakan bahwa
permainan sirkus itu akan dipentaskan di beberapa negeri lainnya sehingga
dengan mengetahui jumlah penonton yang berpartisipasi pada pertunjukan perdana
itu akan diketahui dan diantisipasi bagaimana minat orang selanjutnya terhadap
permainan sirkus itu.
Sebenarnya tujuan Nale Sanggu ialah sebagai tipu
muslihat untuk melaksanakan rencananya. Raja mengabulkan permohonannya tanpa
suatu prasangka buruk. Penerimaan dan sambutan pemerintah dan rakyat Ndana
yang begitu baik terhadap Nalle Sanggu bersama rombongan tidak dapat menggugah
rasa kemanusiaannya untuk mengurungkan niatnya karena dendam kesumat yang
tertanam dalam batinnya selama bertahun-tahun telah berurat berakar.
Setelah mendapat persetujuan untuk menghitung orang
yang hadir, ia mulai menjalankan tipu muslihatnya. Disuruhnya rakyat duduk
berderet-deret, lalu menghitung. Tiap kali menghitung seseorang dipilihnya
sebuah kerikil. Agar terjadi kekeliruan dalam perhitungan sesuai dengan
skenario yang disusunnya, maka setelah melewati beberapa orang diambil atau
dipilihnya kerikil lebih dari satu.
Setelah selesai kerikil-kerikil itu dihitung bersama
oleh Nale Sanggu, raja, dan fetor. Sesudah diketahui jumlah orang berdasarkan
kerikil-kerikil yang terkumpul maka Nale Sanggu menyerahkan kerikil-kerikil
itu kepada rakyat/penonton yang sementara masih duduk pada tempatnya, satu demi
satu dengan tujuan untuk mencek kebenaran dari perhitungan itu. Setelah tiba
pada orang yang duduk pada deretan terakhir ternyata kelebihan beberapa kerikil.
Mereka heran mengapa ada kelebihan kerikil, Nale Sanggu pun sengaja heran.
Nale sanggu
meminta supaya diadakan perhitungan ulang. Setiap orang belum beranjak dari
tempat duduknya. Ia menghitung ulang mulai dari orang yang pertama (muka). Pada
permulaannya tiap meraba seseorang dipilihnya sebuah kerikil tapi kemudian ia
sengaja mengambil kerikil padahal tidak. Kemudian kerikil-kerikil itu dihitung
lagi. Setelah diketahui jumlah orang berdasarkan kerikil yang telah terkumpul
itu, Nale Sanggu menyerahkan lagi kepada setiap orang yang masih duduk dengan
dalih yang sama seperti perhitungan yang pertama. Sebelum sampai pada orang
terakhir kerikil sudah tak mencukupi.
Semua orang pada heran, Nale Sanggu pun sengaja
bertambah heran. Raja pun heran bercampur marah. Raja mempersalahkan fetor
dengan alasan bahwa oleh karena fetor tidak turut mengawasi rakyat sehingga
pasti sesudah perhitungan pertama ada yang sudah pulang dan sekarang sesudah
perhitungan kedua baru mereka datang dengan demikian mengakibatkan kelebihan
kerikil pada perhitungan pertama dan kekurangan pada perhitungan kedua.
Sekali lagi Nale Sanggu mengusulkan untuk dilakukan
perhitungan ulang. Perhitungan ketiga ini merupakan saat yang
dinanti-nantikan, saat klimaks sesuai skenario yang telah dibuat Nale Sanggu
untuk memusnahkan rakyat Ndana.
Setelah raja menyetujui perhitungan ulang untuk
ketiga kalinya maka Nale Sanggu mengusulkan pula agar perhitungan kali ini
akan dilakukan bersama pula namun berbeda caranya. Raja pun turut menyetujui usulnya
itu tanpa suatu kecurigaan. Kemahiran dan kelincahan Nale Sanggu dalam
memimpin acara pertunjukan itu telah memikat raja, fetor, dan semua rakyat
sehingga mereka tidak merasakan apa yang kelak terjadi dibalik semua atraksi
yang mengagumkan itu.
Usulan Nale Sanggu yang terakhir ini adalah agar
semua rakyat atau penonton harus masuk ke istana raja. Istana raja serta
sebagian pemukiman kaum elite terdapat di ibu kota kerajaan yang sekaligus sebagai benteng
pertahanan yang disebut Nusaklain. Ibu kota
atau benteng tersebut terletak di ketinggian, dikelilingi oleh pagar batu yang
tebal dan tinggi, juga sebagian dibatasi oleh tebing yang tinggi dan ngarai
yang dalam. Dari pertunjukan lokasi pertama ke Nusaklain hanya satu rute atau
jalan dan berkelok-kelok.
Nale Sanggu meminta kesediaan raja untuk mengawal
rakyat (tempat A) serta memerintahkan mereka satu persatu berangkat menuju
Nusaklain setelah mendapat isyarat / aba-aba dari Nale Sanggu. Fetor berdiri di
tempat B dan Nale Sanggu di tempat C (lihat denah).
Orang-orang Ndana menuju Nusak Lain (ilustrasi)
Antara raja, fetor, dan Nalle Sanggu disepakati
beberapa hal sebagai berikut:
a Setelah mendapat isyarat dari Nalle
Sanggu (melalui seorang temannya), raja memerintahkan rakyat untuk mulai
berangkat secara berurutan dengan jarak agak berjauhan.
b. Setiap rakyat yang lewat akan dioles
(dengan cara tally) dengan arang hitam pada belakang, mula-mula oleh raja,
sesudah itu oleh fetor, dan terakhir oleh Nalle Sanggu.
c. Rakyat yang terakhir harus melapor pada
fetor bahwa dialah yang terakhir.
d. Setelah rakyat yang terakhir dioles
oleh fetor ia melanjutkan perjalanan menuju Nalle Sanggu, kemudian diikuti
fetor dan terakhir menyusul raja.
Setelah mendapat isyarat dari Nale Sanggu, raja
memerintahkan rakyat untuk berangkat seorang demi seorang. Beliau memulai
perhitungan dengan mengoles tubuh rakyat secara berurutan dengan arang hitam
lalu berjalan terus menuju ke tempat B. Di tempat ini (B), fetor mengoles tubuh
oknum yang bersangkutan sekali lagi dengan arang hitam, sehingga terdapat dua
goresan hitam.
Sesudah itu perjalanan diteruskan menuju istana. Di
pintu gerbang Nale Sanggu dalam keadaan siap di dekat ngarai (C) dan agak
tersembunyi. Di dekat pintu gerbang dan halaman istana telah siap pula pembantu-pembantu
Nale Sanggu untuk menerima dan mengawal orang-orang yang akan dibebaskan. Oleh
karena perjalanan menuju Nusaklain melalui pepohonan (hutan) dan karena
adanya kelokan serta saat itu sudah mulai magrib, maka apa yang dilakukan Nale
Sanggu tidak diketahui oleh orang lain.
Rakyat yang telah sampai oleh Nale Sanggu disuruh
berdiri membelakanginya di tepi ngarai dengan dalih akan diolesi arang hitam
sebagai tanda perhitungan, padahal yang bersangkutan ditebas atau didorong
masuk ke dalam ngarai itu (tempat F) tanpa mengenal belas kasihan. Senjatanya
(pedang) hanya dipergunakan dalam keadaan darurat. Karena ngarai terlalu dalam
maka walaupun ada yang tanpa dipotong pun akan mati konyol di dalamnya. Rakyat
yang tidak dikenakan hukuman mati (dibebaskan), dibimbing masuk kedalam istana
oleh pembantu-pembantu Nale Sanggu (tempat D) dan dikumpulkan di E.
Peristiwa dramatis itu berlangsung sesuai skenario,
berjalan dengan mulus dan tidak begitu ada teriakan-teriakan histeris, pun
tanpa ada rasa curiga sama sekali, semuanya bagaikan kena hipnotis. Mereka
masing-masing menyangka bahwa benar-benar menuju Nusaklain padahal menuju
jurang maut.
Setelah peristiwa itu berlangsung beberapa jam, tidak
ada lagi orang yang datang melewati B, tempat berdiri fetor. Karena fetor yakin
tidak ada orang lagi, apalagi sudah ada pemberitahuan dari yang terakhir maka
ia mulai maju menuju Nalle Sanggu tanpa sesuatu kecurigaan pula. Setelah dekat
secepat kilat Nalle Sanggu melayangkan pedangnya tepat mengenai leher fetor.
Fetor pun rebah dan jatuh kedalam ngarai tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Selang beberapa menit muncul pula raja. Dalam
keremangan malam raja sempat melihat sorot mata Nale Sanggu begitu menyeramkan.
Diperhatikan tubuhnya. Ada
percikan darah. Dilihatnya Nale Sanggu sedang menggenggam sebuah pedang yang
berlumuran dengan darah pula. Saat itu barulah ia sadar apa yang telah dibuat
Nale Sanggu, apa yang telah terjadi atas rakyatnya. Ia pun sadar apa yang akan
segera terjadi pula atas dirinya. Naluri sebagai seorang laki-laki
merangsangnya untuk berontak tetapi semangatnya hilang, tubuhnya menjadi
lemas. Namun, ia berusaha untuk mengumpulkan tenaga, bukan untuk melawan
melainkan bermaksud menyadarkan Nale Sanggu dari naluri kebinatangannya. Raja
berteriak, “Nale Sanggu, apakah yang telah kau perbuat terhadap bangsaku?
Kebaikan kami dalam menyambut dan meladeni kalian selama sekian hari itu,
tegakah engkau balas dengan kejahatan?”
Nale Sanggu masih tetap membungkam sedang sorot
matanya bertambah menyeramkan bahkan mulai maju ke arah sang raja. Saat itu
benar-benar sang raja merasakan bahwa maut segera merenggut jiwanya.
Semangatnya semakin hilang, tubuhnya semakin lemah. Dalam ketidak berdayaannya
ia masih sempat menawarkan kepada Nale Sanggu sebagai berikut, “Nale Sanggu,
janganlah kau membunuhku supaya harta kekayaan Ndana yang kini tersimpan dalam
suatu tempat yang sangat rahasia akan kuberitahukan kepadamu, supaya kau
miliki!”
Selama manusia diamuk nafsu angkara murka dan dilanda
dendam kesumat maka susah dihimbau dan dibujuk rayu. Dalam peristiwa dramatis
ini raja Ndana telah menunjukkan sikap yang sangat merendah meminta belas
kasihan namun semua usaha raja itu sia-sia belaka, rasa kemanusiaan Nalle
Sanggu tidak tergugah sama sekali. Tawaran sang raja ditolak secara total.
Berkatalah Nale Sanggu, “Selama dua puluh tahun saya
dan ibu saya tenggelam dalam kesengsaraan dan kepahitan hidup. Hidup tanpa
pengharapan akan masa depan, hidup tanpa gantungan hidup, hidup dalam kehinaan
sebagai janda karena kehilangan suami, sebagai yatim karena kematian ayah. Hal
ini semua kami alami dan kami pikul karena perbuatanmu bersama bangsamu.
Seorang suami yang sangat dicintai oleh isterinya, seorang ayah yang dikasihi
anaknya, telah kamu akhiri hidupnya di negeri ini, negerimu.
Hatimu pun tak pernah mengenal kasihan, tanganmu pun
tak pernah mengenal ampun. Semua kekayaan Ndana yang kau tawarkan kepadaku,
tidak seharga ayahku tercinta. Semua itu saya tidak menginginkannya. Saya hanya
ingin memiliki tengkorakmu agar kupersembahkan kepada ibuku dan rajaku.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu dengan sikap sergap
dilayangkanya pedangnya tepat mengenai leher sang raja yang sudah dari tadi
tidak berdaya lagi lalu rebah ke tanah. Setelah melihat sang raja telah
menghembuskan napasnya yang terakhir, dipenggalnya kepalanya sedang tubuhnya
didorong masuk ke dalam ngarai. (Memenggal kepala dalam peperangan merupakan
adat dalam masyarakat Rote).
Kemudian Nale Sanggu membawa tengkorak raja ke
sebuah danau yang letaknya tidak jauh dari situ. Di danau tersebut ia membersihkan
tubuhnya, pedangnya, dan mencuci tengkorak itu pula. Sampai sekarang bagian
atas dari air danau tersebut berwarna merah, sedang bagian bawah (dasar)
jernih. Danau ini kemudian dikenal dengan nama “Telaga Air Merah.”
Setelah berakhirnya peristiwa peperangan itu
kembalilah ekspedisi Nale Sanggu ke Dae Henda. Setelah tiba mereka tidak saja
disambut dengan tempik sorak kemenangan, tetapi juga disabut dengan cucuran air
mata, bukan air mata kesedihan tetapi air mata kegemrigaan karena mereka,
terlebih Nale Sanggu kembali dengan selamat.
Penduduk Ndana yang tidak
dibunuh, Rondo Nunu serta keluarga dari kedua perempuan seperti tersebut di
atas, dibawa ke Dae Henda (Rote) dan kemudian diadopsi oleh Raja Thie (Nale
Mesah) menjadi keluarganya. Turunan Rondo Nunu dan keluarga dari kedua
perempuan tersebut memakai nama keluarga “Nunuhitu”.
Peristiwa
itu adalah suatu kisah nyata yang sangat tragis, suatu kisah unhappy ending. Walaupun
peristiwa pemusnahan masal rakyat Ndana oleh Nale Sanggu agak diragukan oleh
segelintir orang dan dianggap sebagai dongeng, namun ia (Nale Sanggu) sebagai
pribadi historis benar-benar ada. Bukan adalah konsepsional atau ide dan nilai
yang dikembangkan secara perlahan-lahan melalui suatu proses personifikasi
akhirnya berubah menjadi tokoh yang dianggap ada secara historis.
Memang di berbagai tempat sebagian besar sumber
sejarah asli tentang zaman kuno baik yang menyangkut gejala dan peristiwa alam
maupun manusia, dilihat dari kerangka pemikiran dan penghayatan serba magis
(mitologis). Sejarah, hari lampau yang pernah dilalui dan mitologi kelampauan
yang realitasnya berada dalam konsepsi terkumpul dan berbaur, seolah-olah merupakan gambaran yang utuh.
Status dan masa depan Pulau Ndana : Setelah
kerajaan Ndana dihancurkan oleh Nale Sanggu, Pulau Ndana diklaim sebagai milik
Kerajaan Thie. Hasil Pulau Ndana berupa hasil laut, kayu, dll dinikmati oleh
rakyat Thie. Pada tahun 1770-an, Besi Alu Pa (raja Thie), seorang moyang
keluarga Messakh melepaskan lima ekor rusa di pulau ini dan berkembang sampai
sekarang. Hasil rusa-rusa tersebut dinikmati oleh Besi Alu Pa turun-temurun. Pada
tahun 1909, waktu Raja Thie (Jonas Nikolas Messakh) purna bakti sebagai raja,
atas kesepakatan tua-tua adat, pulau ini dihibahkan kepada beliau (Jonas
Nikolas Messakh). Dengan demikian semua hasil pulau ini dinikmati oleh keluarga
Messakh. Pada tahun 2005, berdasarkan pemberitaan koran-koran lokal, Australia
mengklaim pulau ini sebagai miliknya. Kini pemerintah RI telah menempatkan
satuan militer di pulau ini. Sebaiknya diadakan transmigrasi lokal di pulau
ini. Tetapi karena adanya hibah seperti tersebut di atas, maka untuk merancang
suatu pembangunan di pulau ini oleh pemerintah setempat, tentu perlu suatu
kompromi antara pemerintah dan keluarga Messakh.