Rabu, 17 Februari 2016

  • FUNGSI KAIN TENUN IKAT ntt

                                                        FUNGSI KAIN TENUN IKAT NTT
    ASAL USUL BUNGA SARUNG  DAN SELIMUT
    ORANG ROTE NDAO


                Hasil kerajinan tenun bagi masyarakat Indonesia merupakan salah satu hasil kebudayaan materi, begitu juga halnya masyarakat Nusa Tenggara Timur, termasuk Rote Ndao. Menurut sejarah, masyarakat NTT telah mengenal kerajinan tenun yang benangnya diolah dari kulit kayu dan serat gewang, sebagai pakaian penutup tubuhnya. Setelah mengenal kapas, masyarakat NTT mengolah serat kapas menjadi benang sebagai bahan baku pembuatan pakaian.
             Tenunan tradisional yang dikenal di NTT pada umumnya tenun ikat. Nama ini dikenal melalui Etnografi Indonesia yang berasal dari Belanda yaitu G.P.Rouffaer, sekitar tahun 1900, mengadakan penelitian tentang pembuatan ragam hias dan proses pewarnaan kain tenun. Rouffaer menyimpulkan bahwa ragam hias yang dihasilkan merupakan hasil celupan benang lungsi yang diikat, sehingga tenunan ini dinamakan tenun ikat.
              Mulanya tenunan adat pada masyarakat NTT pada umumnya dan masyarakat Rote/Nado pada khususnya hanya sebagai kebutuhan dasar manusia (melindungi diri) sehingga dalam syair dikatakan “pele pou ma ba lafa” (bahasa Rote). Arti harfiah dari kata pele ialah terhalang atau menghalangi pandangan, dan arti pou ialah sarung, maksudnya menutup tubuh dengan sarung. Selanjutnya arti harfiah dari kata ba ialah menghalangi dan arti lafa ialah selimut, maksudnya menghalangi pandangan orang terhadap tubuh manusia dengan cara memakai selimut. Kalau dahulu tenunan adat hanyalah sebagai penutup tubuh, kemudian tenunan adat pun berfungsi dan bernilai baik ekonomis, sosial, maupun budaya. Antara lain dapat dilihat bahwa tenunan ini dipakai sebagai salah satu obyek belis dalam upacara perkawinan, kain penutup jenazah, disamping itu tenunan ini juga dapat memberikan identitas sosial (etika dan estetika) dari si pemakai.
    1). Fungsi tenunan adat NTT
    Fungsi kain tenun NTT secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi, antara lain :
    1.      Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutup tubuh.
    2.      Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian/upacara adat.
    3.      Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (belis/mas kawin).
    4.      Sebagai pakaian adat perkawinan.
    5.      Sebagai alat/pakaian untuk membungkus mayat.
    6.      Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
    7.      Sebagai alat untuk denda adat dalam mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat suatu pelanggaran adat.
    8.      Sebagai alat tukar dalam bidang ekonomi.
    9.      Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
    10.  Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat, dan lain-lain.
    11.  Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang.
    12.  Dalam perkembangannya merupakan sumber pendapatan masyarakat NTT terutama masyarakat di pedesaan.  
    13.  Telah dimanfaatan pula sebagai pakaian resmi untuk Pegawai Negeri Sipil pada hari tertentu.
            
               Dahulu, setiap wanita yang pandai menenun dianggap lebih tinggi derajatnya dari yang lain, sehingga umumnya gadis yang pandai menenun selalu menjadi inceran para pemuda. Selain dari itu kain tenun ikat juga merupakan suatu sugesti yang memberikan kekuatan terhadap suatu tindakan, misalnya pemberian kain/sarung/selimut oleh seorang ibu kepada anaknya yang pergi merantau atau yang akan kawin. Material ini dianggap sebagai suatu media yang memberi kekuatan kepada si anak di rantau atau di kehidupan yang baru.
             Kain tenun juga merupakan suatu hal yang dapat dijadikan kebanggaan bagi seseorang/sebuah keluarga. Hal ini tampak bila seorang/keluarga yang didatangi tamu untuk bermalam, maka suatu kewajiban yang merupakan kebanggaan bagi tuan rumah ialah menyediakan selimut atau hasil kerajinan tenunannya agar dipergunakan untuk berselubung.   

            2). Pola Dasar Ragam Hias.
             Pada suku atau daerah tertentu corak/motif binatang atau orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, singa, orang-orangan, tengkorak dan lain-lain, sedangkan TTS banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya, dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga, atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.
             Pola dasar dari bentuk corak motif/ragam hias tenunan ikat NTT yang dihasilkan dapat dikelompokan sebagai berikut :
    a. Ragam hias zoomorpic (bentuk fauna)
    b. Ragam hias antropomorph (bentuk/figure manusia)
    c. Ragam hias flora (stilisasi tumbuhan)
    d. Ragam hias geometri (kerucut, segitiga, setengan jajaran genjang)
    e. Ragam hias replica, ragam hias kain Patola (India).
             Selanjutnya ragam hias (dulak) pada tenunan orang Rote Ndao merupakan replika (peniruan secara cermat) dari warna-warni kulit buaya dengan kombinasi dari struktur pola patola/cinde – India (menurut Dra. Aurora Murnayati bahwa ragam hias yang ada tidak lepas dari arti simbolis ragam hias patola). Ragam hias orang Rote Ndao, sebagai berikut :
    a. Bentuk-bentuk geometri (kerucut, segi tiga/tumpal).
    b. Kembang delapan yang disebut motif hitam (dula nggeok).
    c. Setengah jajaran genjang, yang disebut dula pendik.
    d. Tangkai bunga, disebut dula bunak.
    e. Pohon, disebut dula aik.
    f. Rumput laut, disebut dula latu dok.

               Oleh karena tenunan adat orang Rote-Ndao tidak dipakai sebagai busana harian atau busana kerja, kecuali sudah tua/usang, maka sebelum adanya tekstil yang diperoleh dari toko, mereka membuat pakaian harian/kerja tanpa motif bunga. Benang yang telah diolah cukup dihitamkan (tatabu) lalu ditenun menjadi selimut dan sarung, disebut lafa/lafe nggeok dan rombo/lambi/pou nggeok. Sedang untuk baju tidak diberi warna hitam tetapi tetap putih. Pakaian kerja/tani bisa dibuat juga dari serat halus pucuk daun gewang (lafa soka/lafe teik untuk laki-laki dan rombo/pou soka atau lambi teik untuk perempuan). 

    3). Arti Simbolis Ragam Hias Tenun Ikat NTT
             Ragam hias pada kain tenun ikat NTT tidak hanya merupakan hiasan atau dekoratif saja sifatnya.Tetapi ragam hias yang terdapat pada setiap kain tenun yang dihasilkan merupakan manifestasi dari kehidupan mereka. Jadi merupakan suatu symbol atau lambang. Selain ragam hias yang mempunyai arti tertentu, warna yang dipakai pun mempunyai arti tertentu seperti warna hitam berari kedukaan, merah kejantanan, putih kesucian, kuning kebahagiaan, biru kedamaian, dan hijau kesuburan.

    4). Bahan Pewarna
        Bahan pewarna tenun ikat NTT berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti : tarum, mengkudu, kunyit, kemiri, kapur, kesumba, lumpur. Bahan-bahan pewarna ini adalah bahan pewarna tradisional. Bahan pewarna yang utama terdiri dari warna hitam, merah, putih, dan kuning, sedang warnawarna yang lainnya merupakan campuran dari warna-warna yang pokok. Kini para pengrajin telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan karena proses pekerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, tahan gosok dan serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang, dan zat warna reaktif. Namun demikian ada juga pengrajin yang masih menggunakan zat warna nabati, lilin, dll.

    5). Asal Usul Ragam Hias NTT
               Masing-masing daerah/suku di NTT mempunyai sejarah/mitos tentang ragam hias tenun ikatnya. Untuk orang/suku Rote Ndao, asal-usul ragam hiasnya adalah sebagai berikut:
              “ Pada zaman dahulu terdapat dua orang puteri kakak-beradik yang sangat cantik. Mereka adalah orang Lole. Nama mereka adalah Pua Kende dan No Kende. Keduanya telah mengikat janji percintaan dengan dua perjaka orang Ndao. Sesudah itu kedua perjaka orang Ndao tersebut kembali ke Ndao.
    Kemudian muncullah dua orang raja muda dari Sain do Liun (Dasar Samudera). Nama mereka ialah Dula Foek (Buaya) dan Pata Iuk (Hiu). Kulit Dula Foek terdiri dari beberapa corak bunga yang indah. Kedua puteri itu tertarik lagi dengan kedua pemuda Sain tersebut lalu mereka kawin.
             Tidak lama kemudian  kedua perjaka orang Ndao tersebut kembali dari Ndao. Mereka kaget karena pacar mereka yaitu Pua Kende dan No Kende telah kawin dengan orang-orang lain. Kedua pemuda Ndao itu merasa dipermainkan bahkan dipermalukan. Akibatnya mereka membunuh kedua mantan pacar mereka. Sebelum menghembuskan napas, kedua gadis bersumpah dengan mengatakan bahwa mulai dari saat itu sampai seterusnya, orang Lole yang asli tidak akan melahirkan anak gadis yang cantik, kecuali darah campuran.
    Karena kecewa dan malu, kedua raja muda Sain itu pun (Dula Foek dan Pata Iuk) kemudian mengakhiri hidup mereka di tempat yang bernama Oli Ba’i. Kulit Dula Foek yang berwarna-warni itu membuat orang Rote tertarik lalu mayat/bangkainya dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada setiap suku/subetnis.  Bunga kulit Dula Foek itu memberi inspirasi kepada orang Rote Ndao lalu kemudian mereka mencipta bunga (dulak) selimut dan sarung adat sesuai dengan warna kulit Dula Foek seperti tersebut.
             Orang Lole mendapat ekor karena itu tenunan adat mereka bercorak hitam di tengah. Orang Thie mendapat sirip (hinggik) sehingga tenunan adat mereka bercorak belang-belang, disebut ‘keketak’. Orang Termanu dan orang Ndao mendapat bagian belakang sehingga tenunan  adat  mereka   bagus.  Orang   Korbafo mendapat paru-paru sehingga tenunan adat mereka seperti warna paru-paru, disebut ‘masakea bak’. Dan Lamak Anan (Rote Timur) mendapat dada, sehingga tenunan adat mereka bercorak silang, disebut ‘nggangge.

              Untuk menghasilkan tenunan yang coraknya seperti kulit buaya itu, dibutuhkan bahan baku dengan warna : hitam, putih, merah, dan kuning. Untuk warna hitam, bahan bakunya ialah pohon tarum/nila; untuk warna putih, benang cukup ditutup/diikat dengan futus; untuk warna merah, bahan bakunya adalah mengkudu; dan untuk warna kuning, bahan bakunya adalah kunyit. Oleh karena bahan-bahan baku tersebut tidak banyak yang tumbuh secara liar, maka orang Rote Ndao mulai memelihara/menanamnya. Kini mereka tinggalkan bahan baku tradisional itu setelah adanya bahan pewarna hasil industri modern.

               Sebelum timbulnya pakaian teksil hasil industri modern, pada mulanya orang Rote/Ndao membuat pakaiannya dengan cara menenun. Bahan baku yang dipergunakan adalah kapas. Oleh karena bahan baku pakaian mereka adalah kapas, maka mereka menanam pohon kapas. Dengan demikian setiap rumah tangga mempunyai kebun kapas.
               Pakaian yang dihasilkan itu pada umumnya berwarna putih polos. Pakaian mereka terdiri dari kain/sarung dan baju. Kain untuk laki-laki disebut sidi. Dan untuk perempuan disebut rombo, lambik atau pou. Kemudian, baru kain untuk laki-laki diselang-seling dengan warna hitam dan untuk  perempuan (sarung) dihitamkan dengan lumpur hitam.  Sedang baju, disebut ‘badu’ (untuk laki-laki) dan kebaya disebut kabae (untuk perempuan), tetap berwarna putih. Mereka belum mengenal atau belum mencipta ragam hias atau bunga pakain. 
                Walaupun pada mulanya pakaian orang NTT masih sangat sederhana, belum mempunyai corak, namun pada dasarnya Tuhan telah menciptakan manusia dan dilengkapi dengan berbagai organ, di antaranya ‘otak’. Dengan otak manusia bisa menciptakan berbagai ketrampilan tangan dengan memanfaatkan daya khayal ataupun dengan cara meniru. Dari daya khayal dan/atau meniru, maka setiap suku di NTT mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi orang Rote Ndao, kulit Dula Foek seperti tersebut pada legenda di atas dengan replika dari kain patola  India, memberi inspirasi pada mereka, lalu mereka mulai membuat tenun ikat dan memberi corak bunga seperti kulit buaya tersebut.

    6). Perkembangan Tenun Ikat
               Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung di dalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat. Begitupun, kini nilai ekonomis dan nilai sosialnya pun sudah cukup lumayan. Banyak industri rumah tangga terdapat di berbagai tempat/desa di NTT. Di Rote Ndao, para ibu di Kecamatan Ndao Nuse, hampir semuanya sebagai pengrajin tenun ikat. Selain dari industri rumah tangga, di Kota Kupang terdapat beberapa sanggar yang mengembangkan tenun ikat. Pada hari tertentu setiap minggu pun para pegawai negeri diwajibkan memakai busana daerah/busana adat.

               Pihak penguasa maupun pihak pengusaha pun telah menaruh perhatian yang besar untuk membantu mengembangkan dan meningkatkan kualitas tenun ikat NTT. Bapak Drs Setya Novanto (pengusaha sekaligus Ketua DPR RI) telah memberikan perhatian yang serius dalam menghasilkan tenun ikat Nusa Tenggara Timur yang berkualitas dan membantu mempromosikan dan memasarkan karya para wanita NTT. Ibu Deisti Astriana Novanto (isteri Bapak Novanto) pun telah mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan tenun ikat di Desa Manusak (Kabupaten Kupang). Ibu Novanto bersama Oskar Lawalata (desainer kenamaan) memperkenalkan tenun ikat keluar dari NTT, bahkan memperkenalkan tenun ikat NTT ke luar negeri. Begitupun Bapak Saleh Husein (Menteri Perindustrian RI)  merencanakan untuk membuka fabrik tenun di Rote Ndao. Masyarakat NTT patut memberi apresiasi yang tinggi kepada para ibu dan pemilik sanggar tenun ikat maupun kepada Bapak Novanto beserta Ibu dan Bapak Saleh Husein atas keseriusan mereka dalam mengembangkan tenun ikat NTT.
  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +