) BUDAYA DAN BAHASA ETNIS
Bahasa adalah cerminan, identitas, dan eksistensi suatu suku/bangsa. Dari
bahasa suatu suku/bangsa dikenal dan dalam bahasa juga tercermin martabatnya.
Bagaimanapun sederhananya suatu suku/bangsa ia mempunyai kebanggaan diri yang
diketahui melalui bahasanya. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang
menghargai dan menjunjung tinggi bahasanya. Bahasa sangat penting dalam
kebudayaan manusia.
Pada umumnya para
linguistik mengatakan bahwa pada mulanya di dunia ini hanya ada satu bahasa.
Seiring dengan tumbuh kembangnya, manusia berpisah menjadi beberapa kelompok
besar, lalu kelompok besar berpisah menjadi kelompok kecil, kelompok kecil yang
menjadi besar kemudian berpisah menjadi beberapa kelompok dan seterusnya.
Setiap kelompok yang berpisah itu kemudian mengembangkan bahasanya menurut
situasi dan karakteristik geografis, sosial, ekonomi, dan teknologi sehingga
lama-kelamaan muncullah bahasa yang unik dan berbeda dengan bahasa asalnya.
Akhirnya dari satu bahasa timbullah ribuan bahasa di dunia ini. Para linguistik
menyebutkan berbagai kesamaan atau kemiripan kata-kata tertentu pada berbagai
bahasa di dunia.
B. Grimers (1977)
mengatakan bahwa di seluruh dunia terdapat 7000 bahasa, sedang di Indonesia
terdapat 742 bahasa daerah. Semua bahasa
daerah itu dibagi atas dua bahagian besar, yaitu : 1). Rumpun bahasa-bahasa
Autronesia (AN) dan 2). Rumpun bahasa-bahasa Non Austronesia (NAN).
Bahasa-bahasa di Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia (AN).
Sedang menurut pembagian
para ahli yang lain, ada tiga rumpun besar bahasa di dunia ini, yang disebut
dengan proto, yaitu : 1). Proto Eropa; 2). Proto Autronesia; dan 3). Proto Indo
Pacifik. Bahasa-bahasa di Indonesia masuk dalam Proto Austronesia. Yang
termasuk Proto Austronesia ialah Ras
Melanesia. Ras Melanesia meliputi negara-negara : Indonesia, Fiji, Papua
Nugini, Solomon Island, Timor Leste, dan New Caledonia. Di Indonesia, propinsi-propinsi yang masuk dalam ras Melanesia,
adalah : NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan
Papua Barat. Menurut Pater Gregor
Neonbasu SVD PhD (Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Propinsi NTT), bahasa-bahasa dari Ras Melanesia itu banyak
kesamaannya.
Di Indonesia, bahasa
daerah yang mempunyai penutur terbanyak adalah bahasa Jawa (65 juta orang).
Belum ada penelitian yang akurat mengenai jumlah penutur untuk bahasa-bahasa
lokal (daerah) di NTT, namun mungkin bahasa dengan penutur yang terbanyak
adalah bahasa Dawan, menyusul bahasa Manggarai dan urutan ke-3 adalah bahasa
Sumba..
Di NTT terdapat 69 bahasa
daerah. Dari ke-69 bahasa daerah itu, 23 terdapat di Alor. Di antara semua ciri
budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena dengan bahasa
tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok
lain. Jika kearifan lokal (budaya termasuk bahasa lokal) tidak dilesarikan maka
kita akan kehilangan berbagai nilai yang merupakan pegangan hidup kita dalam
berbangsa dan bermasyarakat.
Beberapa pakar linguistik
antara lain Djawanai, Guru Besar Bidang Linguistik UGM (2009), mengatakan bahwa
banyak bahasa daerah di Indonesia, termasuk
di Flores dan Rote diambang kepunahan. Kepunahan terjadi karena selain
para penutur dari bahasa tersebut semuanya meninggal dunia, juga para penutur
kurang minat karena dipandang bahasa tersebut kurang bergengsi ataupun bahasa
tersebut terdesak oleh bahasa lain. Djawanai mengatakan bahwa akibat dari
kepunahan bahasa maka : 1). Kehilangan pengetahuan kita tentang suatu
peradaban; 2). Kehilangan kebudayaan dan karya seni; 3). Terhapusnya
ensiklopedia tentang pengetahuan manusia yang telah dihimpun dan ditempa dalam
perjalanan sejarahnya.Untuk itu Djawanai dan pakar lainnya menganjurkan : 1). Perlu ada siaran radio atau
tayangan tv lokal dengan bahasa daerah; 2). Perlu diterapkan pelajaran MULOK di
sekolah; 3). Dalam beribadah dan/atau berkhotbah perlu disampaikan dalam bahasa
daerah.
Untuk mencegah kepunahan bahasa maka anjuran Djawanai dll pakar seperti
tersebut di atas perlu diterapkan. Dahulu bahasa daerah masuk dalam kurikulum
Sekolah Rakyat/Dasar. Pada masa penjajahan pun orang-orang asing telah menulis budaya
Rote dalam bahasa Rote. Seorang Belanda (I. C. G. Jonker) menulis ceritera
rakyat serta aspek lainnya dalam bahasa
Rote/dialek Termanu, sebanyak 117 pasal, dalam bukunya yang berjudul “Rottineesche
Teksten Vertaling”, diterbitkan di
Belanda pada tahun 1911. Pdt. Midelkop pun telah menerjemahkan Injil dalam
bahasa Dawan. Pada tahun 1894 Fanggidaej seorang
guru di Rote menerjemahkan Injil Lukas ke dalam Rote. Injilpun telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Manggarai.
Kini pemerintah termasuk para pemerhati bahasa dan budaya pun berusaha agar
pengembangan dan pelestarian bahasa daerah perlu ditingkatkan. Sebab bila tidak
maka bisa terdesak oleh bahasa lain cq bahasa Indonesia lalu akan punah. Setiap
orang paling sedikit menguasai bahasa ibunya dan bahasa Indonesia. Bahkan
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Bpk Anis Baswedan) menganjurkan agar
setiap pelajar harus menguasai tiga bahasa, yaitu bahasa ibu, bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris.
Kita perlu memberikan apresiasi kepada Sinode GMIT
karena melalui UBB (Unit Bahasa dan Budaya) telah menerjemahkan Injil ke dalam
bahasa Dawan, Tetun, Semau, Rote, dan Sabu. Juga telah menerjemahkan Injil (Perjanjian
Baru) ke dalam bahasa Kupang. Semua karya itu adalah kekayaan budaya NTT yang
perlu disambut dan dihargai dengan baik. Namun hasil terjemahan itu jangan
hanya tinggal dalam bentuk buku tetapi perlu diterapkan; tampaknya para pelayan
firman/para penatua di kalangan GMIT kurang memanfaatkan hasil karya UBB GMIT
ini.
Beberapa tahun terakhir ini pun Sinode GMIT telah melaksanakan
“Bulan Keluarga” pada bulan Oktober setiap tahun. Dalam “Bulan Keluarga”, titik
berat renungan menyangkut “Peran Rumah Tangga Kristen” sesuai pesan Alkitab. Pada
bulan tersebut (Oktober) setiap hari Minggu, liturgi kebaktian bernuansa budaya,
terutama meliputi busana adat, seni musik, lagu rakyat dan tari, serta bahasa.
Begitupun dalam bidang pemerintahan, beberapa
bupati antara lain Bupati Rote Ndao (Drs. Leonard Haning, MM) dan Bupati
Kabupaten Kupang (DR. Ayub Titu Eky) menginstruksikan
aparatnya maupun pelajar untuk menggunakan bahasa ibu waktu jam dinas pada hari
tertentu.
Khusus untuk Jemaat GMIT, di Kota Kupang, jemaatnya
terdiri dari empat etnis yang mayoritas
(Timor, Alor, Rote dan Sabu). Unsur-unsur budaya yang ditonjolkan di
Kota Kupang melalui “Bulan Keluarga” antara lain : busana adat, musik daerah dan
lagu-lagu daerah, makanan khas daerah, bahasa daerah, dll. Selama Bulan Keluarga
(Oktober) tiap minggu diisi oleh sebuah etnis dari ke-4 etnis di Kota Kupang
itu. Sesudah itu, pada minggu terakhir (Hari Ulang Tahun GMIT) diadakan
kebaktian dengan melibatkan ‘Etnis Flobamora’.
Untuk busana adat, baru hanya dikenakan oleh
pelayan firman, dan petugas-petugas liturgi. Sedang untuk bahasa baru berupa
lagu-lagu terjemahan dari Kidung Jemaat, PKJ, NKB, dll; dan untuk nast yang
menjadi renungan baru beberapa gereja, antara lain Gereja Pniel Oebobo yang
menerjemahkan ke dalam bahasa ibu. Melalui “Bulan Keluarga”, tiga aspek budaya
sekaligus dikembangkan dan dilestarikan, yaitu Bahasa, senimusik dan tari serta
tenun ikat.
Sebaiknya yang berpakaian tenunan adat tidak saja
Pelayan Firman dan petugas liturgi, tetapi juga semua jemaat yang turut
berbakti. Bagi gereja yang jemaatnya terdiri dari etnis yang heterogen, busananya
disesuaikan dengan busana etnis yang
terkait. Memang agak sulit karena hal ini menyangkut ‘selera’ dan ‘dana’, namun
kalau ada selera/kemauan maka bisa.
Begitupun, tidak saja nast bacaan diterjemahkan ke
dalam bahasa ibu, tetapi diharapkan khotbah pun dibawakan dalam bahasa ibu dan
bila jemaat bersifat heterogen, maka perlu dipakai penerjemah. Bagi pelayan
yang tidak tahu bahasa ibu, bisa meminta bantuan penerjemah. Masalahnya ialah
menambah waktu kebaktian. Umumnya durasi/waktu khotbah sekitar 15-20 menit.
Penambahan waktu sekitar 20 menit, tidak ada masalah.
Umumnya jemaat GMIT di pedesaan bersifat homogen
sehingga penggunaan busana adat, bahasa ibu, dan seni musik tidak ada masalah.
Namun, kalau dahulu pada setiap hari Minggu/hari-hari raya ataupun pada
acara-acara adat para bapak/ibu memakai sarung (kain dan kebaya) serta selimut dan baju adat,
kini mereka memakai rok/kaleid dan celana panjang dan kemeja toko. Penghargaan
kepada budaya sendiri mulai longgar.
Untuk menghargai budaya, saya kutip kata bijak
dari tiga orang Pendeta/pemimpin agama, sebagai berikut : 1). Prof. DR.
Verkuil, “Cinta kepada kebudayaan dan penghargaan terhadap kebudayaan serta
sikap terbuka kepada kebudayaan, adalah panggilan Kristen.” 2). DR. Eben Nuban
Timo, “Allah dan Firman sudah lebih dahulu ada dan bekerja dalam budaya,
sejarah, dan agama suatu masyarakat. Ini berarti tidak ada budaya, sejarah, dan
agama suatu masyarakat pun berdiri di luar jangkauan pemilihan dan pemerintahan
Allah. Sejahat dan berdosa apapun budaya, sejarah, dan agama suatu masyarakat,
dalam budaya, sejarah dan agama masyarakat itu tersimpan jejak-jedak atau lebih
tepat “sidik jari Allah”. 3). DR. Eka Darmaputera, “Agar gereja mau berusaha
untuk memahami dan menghayati akan sikap Rasul Paulus ketika ia melakukan
penginjilan kepada orang-orang Junani di Airopagus-Athena. Paulus tidak
melecehkan agama orang Junani, melainkan ia mengatakan, “Apa yang kamu sembah
tanpa mengenalnya, itulah yang kuwartakan kepada kamu”.