Rabu, 17 Februari 2016

  • Budaya dan bahasa etnis

    )              BUDAYA DAN BAHASA ETNIS

            Bahasa adalah cerminan, identitas, dan eksistensi suatu suku/bangsa. Dari bahasa suatu suku/bangsa dikenal dan dalam bahasa juga tercermin martabatnya. Bagaimanapun sederhananya suatu suku/bangsa ia mempunyai kebanggaan diri yang diketahui melalui bahasanya. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menghargai dan menjunjung tinggi bahasanya. Bahasa sangat penting dalam kebudayaan manusia.
              Pada umumnya para linguistik mengatakan bahwa pada mulanya di dunia ini hanya ada satu bahasa. Seiring dengan tumbuh kembangnya, manusia berpisah menjadi beberapa kelompok besar, lalu kelompok besar berpisah menjadi kelompok kecil, kelompok kecil yang menjadi besar kemudian berpisah menjadi beberapa kelompok dan seterusnya. Setiap kelompok yang berpisah itu kemudian mengembangkan bahasanya menurut situasi dan karakteristik geografis, sosial, ekonomi, dan teknologi sehingga lama-kelamaan muncullah bahasa yang unik dan berbeda dengan bahasa asalnya. Akhirnya dari satu bahasa timbullah ribuan bahasa di dunia ini. Para linguistik menyebutkan berbagai kesamaan atau kemiripan kata-kata tertentu pada berbagai bahasa di dunia.      
              B. Grimers (1977) mengatakan bahwa di seluruh dunia terdapat 7000 bahasa, sedang di Indonesia terdapat 742  bahasa daerah. Semua bahasa daerah itu dibagi atas dua bahagian besar, yaitu : 1). Rumpun bahasa-bahasa Autronesia (AN) dan 2). Rumpun bahasa-bahasa Non Austronesia (NAN). Bahasa-bahasa di Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia (AN).
              Sedang menurut pembagian para ahli yang lain, ada tiga rumpun besar bahasa di dunia ini, yang disebut dengan proto, yaitu : 1). Proto Eropa; 2). Proto Autronesia; dan 3). Proto Indo Pacifik. Bahasa-bahasa di Indonesia masuk dalam Proto Austronesia. Yang termasuk Proto Austronesia  ialah Ras Melanesia. Ras Melanesia meliputi negara-negara : Indonesia, Fiji, Papua Nugini, Solomon Island, Timor Leste, dan New Caledonia. Di Indonesia, propinsi-propinsi yang masuk dalam ras Melanesia, adalah : NTT, Maluku, Maluku  Utara, Papua, dan Papua Barat. Menurut Pater Gregor Neonbasu SVD PhD (Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Propinsi NTT), bahasa-bahasa dari Ras Melanesia itu banyak kesamaannya.
               Di Indonesia, bahasa daerah yang mempunyai penutur terbanyak adalah bahasa Jawa (65 juta orang). Belum ada penelitian yang akurat mengenai jumlah penutur untuk bahasa-bahasa lokal (daerah) di NTT, namun mungkin bahasa dengan penutur yang terbanyak adalah bahasa Dawan, menyusul bahasa Manggarai dan urutan ke-3 adalah bahasa Sumba..
              Di NTT terdapat 69 bahasa daerah. Dari ke-69 bahasa daerah itu, 23 terdapat di Alor. Di antara semua ciri budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena dengan bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain. Jika kearifan lokal (budaya termasuk bahasa lokal) tidak dilesarikan maka kita akan kehilangan berbagai nilai yang merupakan pegangan hidup kita dalam berbangsa dan bermasyarakat.
               Beberapa pakar linguistik antara lain Djawanai, Guru Besar Bidang Linguistik UGM (2009), mengatakan bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia, termasuk  di Flores dan Rote diambang kepunahan. Kepunahan terjadi karena selain para penutur dari bahasa tersebut semuanya meninggal dunia, juga para penutur kurang minat karena dipandang bahasa tersebut kurang bergengsi ataupun bahasa tersebut terdesak oleh bahasa lain. Djawanai mengatakan bahwa akibat dari kepunahan bahasa maka : 1). Kehilangan pengetahuan kita tentang suatu peradaban; 2). Kehilangan kebudayaan dan karya seni; 3). Terhapusnya ensiklopedia tentang pengetahuan manusia yang telah dihimpun dan ditempa dalam perjalanan sejarahnya.Untuk itu Djawanai dan pakar lainnya  menganjurkan : 1). Perlu ada siaran radio atau tayangan tv lokal dengan bahasa daerah; 2). Perlu diterapkan pelajaran MULOK di sekolah; 3). Dalam beribadah dan/atau berkhotbah perlu disampaikan dalam bahasa daerah.
    Untuk mencegah kepunahan bahasa maka anjuran Djawanai dll pakar seperti tersebut di atas perlu diterapkan. Dahulu bahasa daerah masuk dalam kurikulum Sekolah Rakyat/Dasar. Pada masa penjajahan pun orang-orang asing telah menulis budaya Rote dalam bahasa Rote. Seorang Belanda (I. C. G. Jonker) menulis ceritera rakyat serta aspek  lainnya dalam bahasa Rote/dialek Termanu, sebanyak 117 pasal, dalam bukunya yang berjudul “Rottineesche Teksten  Vertaling”, diterbitkan di Belanda pada tahun 1911. Pdt. Midelkop pun telah menerjemahkan Injil dalam bahasa Dawan. Pada tahun 1894 Fanggidaej seorang guru di Rote menerjemahkan Injil Lukas ke dalam Rote. Injilpun telah diterjemahkan ke dalam bahasa Manggarai.
    Kini pemerintah termasuk para pemerhati bahasa dan budaya pun berusaha agar pengembangan dan pelestarian bahasa daerah perlu ditingkatkan. Sebab bila tidak maka bisa terdesak oleh bahasa lain cq bahasa Indonesia lalu akan punah. Setiap orang paling sedikit menguasai bahasa ibunya dan bahasa Indonesia. Bahkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Bpk Anis Baswedan) menganjurkan agar setiap pelajar harus menguasai tiga bahasa, yaitu bahasa ibu, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
    Kita perlu memberikan apresiasi kepada Sinode GMIT karena melalui UBB (Unit Bahasa dan Budaya) telah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Dawan, Tetun, Semau, Rote, dan Sabu. Juga telah menerjemahkan Injil (Perjanjian Baru) ke dalam bahasa Kupang. Semua karya itu adalah kekayaan budaya NTT yang perlu disambut dan dihargai dengan baik. Namun hasil terjemahan itu jangan hanya tinggal dalam bentuk buku tetapi perlu diterapkan; tampaknya para pelayan firman/para penatua di kalangan GMIT kurang memanfaatkan hasil karya UBB GMIT ini.
    Beberapa tahun terakhir ini pun Sinode GMIT telah melaksanakan “Bulan Keluarga” pada bulan Oktober setiap tahun. Dalam “Bulan Keluarga”, titik berat renungan menyangkut “Peran Rumah Tangga Kristen” sesuai pesan Alkitab. Pada bulan tersebut (Oktober) setiap hari Minggu, liturgi kebaktian bernuansa budaya, terutama meliputi busana adat, seni musik, lagu rakyat dan tari, serta bahasa.
    Begitupun dalam bidang pemerintahan, beberapa bupati antara lain Bupati Rote Ndao (Drs. Leonard Haning, MM) dan Bupati Kabupaten Kupang (DR. Ayub Titu Eky)  menginstruksikan aparatnya maupun pelajar untuk menggunakan bahasa ibu waktu jam dinas pada hari tertentu.
    Khusus untuk Jemaat GMIT, di Kota Kupang, jemaatnya terdiri dari empat etnis yang mayoritas  (Timor, Alor, Rote dan Sabu). Unsur-unsur budaya yang ditonjolkan di Kota Kupang melalui “Bulan Keluarga” antara lain : busana adat, musik daerah dan lagu-lagu  daerah, makanan khas daerah,  bahasa daerah, dll. Selama Bulan Keluarga (Oktober) tiap minggu diisi oleh sebuah etnis dari ke-4 etnis di Kota Kupang itu. Sesudah itu, pada minggu terakhir (Hari Ulang Tahun GMIT) diadakan kebaktian dengan melibatkan ‘Etnis Flobamora’.
    Untuk busana adat, baru hanya dikenakan oleh pelayan firman, dan petugas-petugas liturgi. Sedang untuk bahasa baru berupa lagu-lagu terjemahan dari Kidung Jemaat, PKJ, NKB, dll; dan untuk nast yang menjadi renungan baru beberapa gereja, antara lain Gereja Pniel Oebobo yang menerjemahkan ke dalam bahasa ibu. Melalui “Bulan Keluarga”, tiga aspek budaya sekaligus dikembangkan dan dilestarikan, yaitu Bahasa, senimusik dan tari serta tenun ikat.
    Sebaiknya yang berpakaian tenunan adat tidak saja Pelayan Firman dan petugas liturgi, tetapi juga semua jemaat yang turut berbakti. Bagi gereja yang jemaatnya terdiri dari etnis yang heterogen,   busananya disesuaikan dengan busana  etnis yang terkait. Memang agak sulit karena hal ini menyangkut ‘selera’ dan ‘dana’, namun kalau ada selera/kemauan maka bisa.
    Begitupun, tidak saja nast bacaan diterjemahkan ke dalam bahasa ibu, tetapi diharapkan khotbah pun dibawakan dalam bahasa ibu dan bila jemaat bersifat heterogen, maka perlu dipakai penerjemah. Bagi pelayan yang tidak tahu bahasa ibu, bisa meminta bantuan penerjemah. Masalahnya ialah menambah waktu kebaktian. Umumnya durasi/waktu khotbah sekitar 15-20 menit. Penambahan waktu sekitar 20 menit, tidak ada masalah.
    Umumnya jemaat GMIT di pedesaan bersifat homogen sehingga penggunaan busana adat, bahasa ibu, dan seni musik tidak ada masalah. Namun, kalau dahulu pada setiap hari Minggu/hari-hari raya ataupun pada acara-acara adat para bapak/ibu memakai sarung  (kain dan kebaya) serta selimut dan baju adat, kini mereka memakai rok/kaleid dan celana panjang dan kemeja toko. Penghargaan kepada budaya sendiri mulai longgar.
    Untuk menghargai budaya, saya kutip kata bijak dari tiga orang Pendeta/pemimpin agama, sebagai berikut : 1). Prof. DR. Verkuil, “Cinta kepada kebudayaan dan penghargaan terhadap kebudayaan serta sikap terbuka kepada kebudayaan, adalah panggilan Kristen.” 2). DR. Eben Nuban Timo, “Allah dan Firman sudah lebih dahulu ada dan bekerja dalam budaya, sejarah, dan agama suatu masyarakat. Ini berarti tidak ada budaya, sejarah, dan agama suatu masyarakat pun berdiri di luar jangkauan pemilihan dan pemerintahan Allah. Sejahat dan berdosa apapun budaya, sejarah, dan agama suatu masyarakat, dalam budaya, sejarah dan agama masyarakat itu tersimpan jejak-jedak atau lebih tepat “sidik jari Allah”. 3). DR. Eka Darmaputera, “Agar gereja mau berusaha untuk memahami dan menghayati akan sikap Rasul Paulus ketika ia melakukan penginjilan kepada orang-orang Junani di Airopagus-Athena. Paulus tidak melecehkan agama orang Junani, melainkan ia mengatakan, “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuwartakan kepada kamu”. 


  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +