(3) BAHASA ROTE
Ladan
nai kokolan
ma
lolen nai dede’an
Kabupaten
Rote Ndao terdiri dari dua bahasa daerah yaitu bahasa Rote dan bahasa Ndao.
Bahasa Rote terdapat di Rote Daratan dan bahasa Ndao terdapat di Pulau/Nusak
Ndao. Punutur bahasa Rote sekitar 117.000 orang dan penutur bahasa Ndao sekitar
5.000 orang.
Di Rote Daratan terdapat 18 subetnis dan karena
terdapat beberapa perbedaan dalam beberapa kata dan ungkapan antara subetnis
yang satu dengan yang lainnya, maka pada tahun 1884, D. P. Manafe, yang pernah
menjadi guru di Rote Ba’a, dalam tulisannya yang berjudul “Akan Bahasa Rote”,
mengelompokan bahasa di Rote Daratan atas sembilan dialek. Walaupun dibedakan
atas sembilan kelompok dialek, namun siapa yang berada di ujung Rote timur
memahami apa yang dikatakan oleh yang tinggal di bahagian barat Rote tanpa
mengalami banyak kesulitan, kecuali anak-anak kecil/remaja.
Walaupun belum diadakan suatu penelitian yang
akurat, namun dapat diperkirakan bahwa bahasa Rote yang sekarang, terbentuk
atas dua hal, yaitu:
1. Dari
bahasa yang dibawa oleh moyang-moyang pertama dari Seram atau Pulau
Timor (mungkin bahasa Tetun), namun
sudah pasti bahwa bahasa mereka adalah serumpun dengan bahasa Austronesia/Cental
Melayo Polynesia.
2.
Dari kata/istilah baru yang dicipta oleh kelompok mereka
dan/atau generasi kemudian.
3.
Sedang bahasa Ndao terbentuk dari bahasa Sabu dan bahasa
pendatang yang berasal dari Pulau Timor.
Karena para pendatang itu cepat tersebar dan
datang secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup panjang maka walaupun
terdapat bahasa yang merupakan bahasa pokok (mereka berasal dari moyang yang
tunggal), namun sudah terdapat beberapa perbedaan dalam kata dan ungkapan.
Istilah-istilah baru yang tercipta sewaktu para moyang masih mendiami wilayah
yang sama (ujumg timur Rote), dapat dipakai seterusnya oleh generasi kemudian
secara umum, kemudian tercipta pula kata/istilah baru, hal mana tetap
berlangsung terus sampai kini. Tiap kelompok (nusak) dapat mencipta
kata/istilah baru dan digunakan oleh kelompok yang bersangkutan sendiri
Walaupun terdapat kecenderungan meremehkan bahasa Rote/Ndao oleh
segelintir orang Rote/Ndao sendiri, namun bahasa-bahasa ini masih dipergunakan
oleh masyarakat pemakainya dalam berbagai kepentingan baik sebagai alat
komunikasi sehari-hari maupun dalam berbagai forum seperti rapat desa, bahasa
adat sopan santun, bahasa teks lagu daerah, bahasa dalam berbagai khotbah (kini
banyak yang menggunakan babasa Indonesia), dan pidato serta bahasa pengantar di
sekolah dasar dari kelas I sampai dengan kelas III. (Kini bahasa Indonesia telah pula dipergunakan
dari kelas I sampai kelas III). Jadi, merupakan. sarana komunikasi masyarakat
homogen dalam bidang budaya, kesenian, agama, pendidikan, dan lain-lain.
Bahasa Rote banyak kesamaannya dengan bahasa Dawan (terutama dialek
Dengka, Lelain, Delha, Oenale) dan bahasa Tetun, serta dekat juga dengan bahasa
Kiser dan Leti, sedang bahasa Ndao hampir sama dengan bahasa Sabu dan Sumba
serta Bima. Menurut Rev. Gordon Dicker BA, MTh, banyak terdapat kesamaan antara
bahasa Rote dengan bahasa-bahasa Polinesia.
Dahulu bahasa asing (luar Rote) yang pertama kali dikenal oleh orang
Rote adalah bahasa Melayu. Sesudah
tahun 1660 penguasa-penguasa Rote memulai surat-menyurat tahunan dengan Gubemur
Jenderal VOC di Batavia dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1735 barulah secara resmi bahasa Melayu diajarkan oleh guru yang
dikirim dari Ambon (Hendrik Hendriks) di sekolah Fiulain (Thie).
Penelitian dan penulisan bahasa Rote sudah banyak
dilakukan. Manafe (1884), Fanggidaej (1892-1894), Heijmering
(1842), Jonker (1905, 1908, 1911, 1913, 1975), Fox (l970-1980), Clercq (1873), Mboeik dkk (1985), Fanggidae dkk (1998), Unit
Bahasa dan Budaya GMIT (2001-menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Rote), Paul A. Haning (Bahasa dan Sastra Rote-2010),
dan Leksi S. Y. Ingguoe (Tata Bahasa Rote-2012).
Dari semua bahasa daerah yang terdapat di NTT,
bahasa Rote sebagai penyumbang terbesar dalam menambah perbendaharaan bahasa
Kupang. Dari 3200 kata yang terdapat dalam Kamus Bahasa Kupang, Bahasa Rote
menyumbang 10 %. Belum diteliti berapa % bahasa Rote menyumbang bahasa Kupang
secara keseluruhan.
Kata-kata bahasa Rote yang terdapat dalam bahasa
Kupang antara lain adalah: Makarereu,
kapisak, kokoe, ra'u, pode edok, haik, firuk, na neu, baeok, hopo, fi'i, seti,
boa, ba'i, faraku, masamodok, fanik, hela, matono, malenggang, kea, kabuak,
kokodok, huk, horo, makarubu, po'a, ketu, dano, banupuk, koru, tasibu, reke,
fufudek, puruk, to'o, kakorek.
Oleh karena bahasa Rote terdiri dari
9 dialek maka untuk berkomunikasi, masing-masing dapat mempergunakan dialeknya
karena setiap dialek dapat dimengerti oleh setiap orang Rote. Sedang untuk
bahasa Ndao, secara kedalam berkomunikasi dengan bahasa Ndao, sedang keluar,
bisa dengan dialek Rote yang lainnya, karena umumnya orang Ndao mengerti dialek
Rote yang lainnya.
Orang Rote terutama para penyair/sastrawan bahasa ibu (manahelo) suka
berbicara dengan bahasa ritual. Bahasa ritual adalah suatu tatacara bahasa
lisan formal, yaitu bahasa dalam interaksi seremonial atau sosial resmi dan
berupa syair/puisi yang dalam bahasa Rote disebut bini. Bahasa ritual ini
terdiri dari bentuk bicara yang berpasang-pasangan. Bini dinyanyikan (dihelo)
dalam bahasa ritual dan selalu disusun dalam paralelisme yang menceriterakan
khasanah khusus kisah mitologis. Bahasa bini adalah bahasa puitis yang bersifat
simbolik dan metaforis. Beberapa contoh bini, sbb :
1. Ladan nai kokolan ma lolen nai dede’an ‘kenikmatannya ada pada
pembicaraannya dan keindahannya terdapat pada bahasanya’, maksudnya semua
masalah ada solusinya bila disikapi secara arif dan bijaksana. Dengan pelukisan
ini orang berasosiasi bahwa terasa enak di mulut dan terasa indah bila
dipandang.
2.
Hu ndia de ala lamanasa oda ma luli dedei `karena itu maka mereka marah kening dan murka
dahi' (karena itu mereka marah di kening dan murka di dahi).
Dengan pelukisan di atas pembaca/pendengar dapat berasosiasi
seakan-akan menyaksikan orang yang sedang marah dengan dahi dan kening yang
berkerut-kerut. Suatu
kemarahan yang tidak dengan kata-kata yang menggelempar tetapi cukup
ditunjukkan melalui suatu kernjutan dahi, jadi merupakan suatu kemarahan yang
bijak.
3.
Dalen tobi ma tein lalombe ‘hatinya panas dan batinnya membara'
Orang yang sedang marah biasanya aliran darah dan denyut jantungnya
lebih keras sehingga suhu badan bertambah panas. Untuk menyatakan perasaan itu
secara metaforik digambarkan bagaikan api yang membara (dalen tobi ma tein
lalombe).
4.
Tipan te ta natangengo ma selen te ta natahi 'tak goyah digoyang dan tak miring
digoncang', maksudnya bila
tindakan/sikap yang diambil/dilakukan didasarkan pada salurannya maka biarpun
dirongrong tidak akan jatuh.
Jika kearifan lokal (budaya termasuk bahasa lokal)
tidak dilesarikan maka kita akan kehilangan berbagai nilai yang merupakan pegangan
hidup kita dalam berbangsa dan
bermasyarakat. DR. Djawanai (linguistik) mengatakan antara lain, “Bila bahasa
lokal akan punah maka kehilangan pengetahuan kita tentang suatu peradaban dan
juga kehilangan kebudayaan dan karya seni; Prof. Felix pun mengatakan, “Bila
budaya hilang maka peradaban kita akan menjadi biadab.“