Rabu, 17 Februari 2016

  • Bahasa Rote


         (3)                          BAHASA ROTE    
    Ladan nai kokolan
    ma lolen nai dede’an
           
    Kabupaten Rote Ndao terdiri dari dua bahasa daerah yaitu bahasa Rote dan bahasa Ndao. Bahasa Rote terdapat di Rote Daratan dan bahasa Ndao terdapat di Pulau/Nusak Ndao. Punutur bahasa Rote sekitar 117.000 orang dan penutur bahasa Ndao sekitar 5.000 orang.
    Di Rote Daratan terdapat 18 subetnis dan karena terdapat beberapa perbedaan dalam beberapa kata dan ungkapan antara subetnis yang satu dengan yang lainnya, maka pada tahun 1884, D. P. Manafe, yang pernah menjadi guru di Rote Ba’a, dalam tulisannya yang berjudul “Akan Bahasa Rote”, mengelompokan bahasa di Rote Daratan atas sembilan dialek. Walaupun dibedakan atas sembilan kelompok dialek, namun siapa yang berada di ujung Rote timur memahami apa yang dikatakan oleh yang tinggal di bahagian barat Rote tanpa mengalami banyak kesulitan, kecuali anak-anak kecil/remaja.  
    Walaupun belum diadakan suatu penelitian yang akurat, namun dapat diperkirakan bahwa bahasa Rote yang sekarang, terbentuk atas dua hal, yaitu:
    1.      Dari bahasa yang dibawa oleh moyang-moyang pertama dari Seram atau Pulau Timor  (mungkin bahasa Tetun), namun sudah pasti bahwa bahasa mereka adalah serumpun dengan bahasa Austronesia/Cental Melayo Polynesia.
    2.      Dari kata/istilah baru yang dicipta oleh kelompok mereka dan/atau generasi kemudian.
    3.      Sedang bahasa Ndao terbentuk dari bahasa Sabu dan bahasa pendatang yang berasal dari Pulau Timor.
    Karena para pendatang itu cepat tersebar dan datang secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup panjang maka walaupun terdapat bahasa yang merupakan bahasa pokok (mereka berasal dari moyang yang tunggal), namun sudah terdapat beberapa perbedaan dalam kata dan ungkapan. Istilah-istilah baru yang tercipta sewaktu para moyang masih mendiami wilayah yang sama (ujumg timur Rote), dapat dipakai seterusnya oleh generasi kemudian secara umum, kemudian tercipta pula kata/istilah baru, hal mana tetap berlangsung terus sampai kini. Tiap kelompok (nusak) dapat mencipta kata/istilah baru dan digunakan oleh kelompok yang bersangkutan sendiri
    Walaupun terdapat kecenderungan meremehkan bahasa Rote/Ndao oleh segelintir orang Rote/Ndao sendiri, namun bahasa-bahasa ini masih dipergunakan oleh masyarakat pemakainya dalam berbagai kepentingan baik sebagai alat komunikasi sehari-hari maupun dalam berbagai forum seperti rapat desa, bahasa adat sopan santun, bahasa teks lagu daerah, bahasa dalam berbagai khotbah (kini banyak yang menggunakan babasa Indonesia), dan pidato serta bahasa pengantar di sekolah dasar dari kelas I sampai dengan kelas III. (Kini bahasa Indonesia telah pula dipergunakan dari kelas I sampai kelas III). Jadi, merupakan. sarana komunikasi masyarakat homogen dalam bidang budaya, kesenian, agama, pendidikan, dan lain-lain.
    Bahasa Rote banyak kesamaannya dengan bahasa Dawan (terutama dialek Dengka, Lelain, Delha, Oenale) dan bahasa Tetun, serta dekat juga dengan bahasa Kiser dan Leti, sedang bahasa Ndao hampir sama dengan bahasa Sabu dan Sumba serta Bima. Menurut Rev. Gordon Dicker BA, MTh, banyak terdapat kesamaan antara bahasa Rote dengan bahasa-bahasa Polinesia.
    Dahulu bahasa asing (luar Rote) yang pertama kali dikenal oleh orang Rote adalah bahasa Melayu. Sesudah tahun 1660 penguasa-penguasa Rote memulai surat-menyurat tahunan dengan Gubemur Jenderal VOC di Batavia dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1735 barulah secara resmi bahasa Melayu diajarkan oleh guru yang dikirim dari Ambon (Hendrik Hendriks) di sekolah Fiulain (Thie).
    Penelitian dan penulisan bahasa Rote sudah banyak dilakukan. Manafe (1884), Fanggidaej (1892-1894), Heijmering (1842), Jonker (1905, 1908, 1911, 1913, 1975), Fox (l970-1980), Clercq (1873), Mboeik dkk (1985), Fanggidae dkk (1998), Unit Bahasa dan Budaya GMIT (2001-menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Rote), Paul A. Haning (Bahasa dan Sastra Rote-2010), dan Leksi S. Y. Ingguoe (Tata Bahasa Rote-2012).
    Dari semua bahasa daerah yang terdapat di NTT, bahasa Rote sebagai penyumbang terbesar dalam menambah perbendaharaan bahasa Kupang. Dari 3200 kata yang terdapat dalam Kamus Bahasa Kupang, Bahasa Rote menyumbang 10 %. Belum diteliti berapa % bahasa Rote menyumbang bahasa Kupang secara keseluruhan.
    Kata-kata bahasa Rote yang terdapat dalam bahasa Kupang antara lain adalah: Makarereu, kapisak, kokoe, ra'u, pode edok, haik, firuk, na neu, baeok, hopo, fi'i, seti, boa, ba'i, faraku, masamodok, fanik, hela, matono, malenggang, kea, kabuak, kokodok, huk, horo, makarubu, po'a, ketu, dano, banupuk, koru, tasibu, reke, fufudek, puruk, to'o, kakorek.
              Oleh karena bahasa Rote terdiri dari 9 dialek maka untuk berkomunikasi, masing-masing dapat mempergunakan dialeknya karena setiap dialek dapat dimengerti oleh setiap orang Rote. Sedang untuk bahasa Ndao, secara kedalam berkomunikasi dengan bahasa Ndao, sedang keluar, bisa dengan dialek Rote yang lainnya, karena umumnya orang Ndao mengerti dialek Rote yang lainnya.
              Orang Rote terutama para penyair/sastrawan bahasa ibu (manahelo) suka berbicara dengan bahasa ritual. Bahasa ritual adalah suatu tatacara bahasa lisan formal, yaitu bahasa dalam interaksi seremonial atau sosial resmi dan berupa syair/puisi yang dalam bahasa Rote disebut bini. Bahasa ritual ini terdiri dari bentuk bicara yang berpasang-pasangan. Bini dinyanyikan (dihelo) dalam bahasa ritual dan selalu disusun dalam paralelisme yang menceriterakan khasanah khusus kisah mitologis. Bahasa bini adalah bahasa puitis yang bersifat simbolik dan metaforis. Beberapa contoh bini, sbb :
    1.    Ladan nai kokolan ma lolen nai dede’an ‘kenikmatannya ada pada pembicaraannya dan keindahannya terdapat pada bahasanya’, maksudnya semua masalah ada solusinya bila disikapi secara arif dan bijaksana. Dengan pelukisan ini orang berasosiasi bahwa terasa enak di mulut dan terasa indah bila dipandang.
    2.    Hu ndia de ala lamanasa oda ma luli dedei  `karena itu maka mereka marah kening dan murka dahi' (karena itu mereka marah di kening dan murka di dahi).
    Dengan pelukisan di atas pembaca/pendengar dapat berasosiasi seakan-akan menyaksikan orang yang sedang marah dengan dahi dan kening yang berkerut-kerut. Suatu kemarahan yang tidak dengan kata-kata yang menggelempar tetapi cukup ditunjukkan melalui suatu kernjutan dahi, jadi merupakan suatu kemarahan yang bijak.
    3.    Dalen tobi ma tein lalombe ‘hatinya panas dan batinnya membara'
    Orang yang sedang marah biasanya aliran darah dan denyut jantungnya lebih keras sehingga suhu badan bertambah panas. Untuk menyatakan perasaan itu secara metaforik digambarkan bagaikan api yang membara (dalen tobi ma tein lalombe).
    4.    Tipan te ta natangengo ma selen te ta natahi  'tak goyah digoyang dan tak miring digoncang', maksudnya bila tindakan/sikap yang diambil/dilakukan didasarkan pada salurannya maka biarpun dirongrong tidak akan jatuh.

    Jika kearifan lokal (budaya termasuk bahasa lokal) tidak dilesarikan maka kita akan kehilangan berbagai nilai yang merupakan pegangan  hidup kita dalam berbangsa dan bermasyarakat. DR. Djawanai (linguistik) mengatakan antara lain, “Bila bahasa lokal akan punah maka kehilangan pengetahuan kita tentang suatu peradaban dan juga kehilangan kebudayaan dan karya seni; Prof. Felix pun mengatakan, “Bila budaya hilang maka peradaban kita akan menjadi biadab.“
  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +