FUNGSI KAIN TENUN IKAT NTT
ASAL USUL BUNGA SARUNG DAN SELIMUT
ORANG ROTE NDAO
Hasil kerajinan tenun bagi masyarakat Indonesia
merupakan salah satu hasil kebudayaan materi, begitu juga halnya masyarakat
Nusa Tenggara Timur, termasuk Rote Ndao. Menurut sejarah, masyarakat NTT
telah mengenal kerajinan tenun yang benangnya diolah dari kulit kayu dan serat
gewang, sebagai pakaian penutup tubuhnya. Setelah mengenal kapas, masyarakat NTT mengolah
serat kapas menjadi benang sebagai bahan baku pembuatan pakaian.
Tenunan tradisional yang dikenal di
NTT pada umumnya tenun ikat. Nama ini dikenal melalui Etnografi Indonesia
yang berasal dari Belanda yaitu G.P.Rouffaer, sekitar tahun 1900, mengadakan
penelitian tentang pembuatan ragam hias dan proses pewarnaan kain tenun.
Rouffaer menyimpulkan bahwa ragam hias yang dihasilkan merupakan hasil celupan
benang lungsi yang diikat, sehingga tenunan ini dinamakan tenun ikat.
Mulanya tenunan adat pada masyarakat NTT
pada umumnya dan masyarakat Rote/Nado pada khususnya hanya sebagai kebutuhan dasar manusia (melindungi
diri) sehingga dalam syair dikatakan “pele
pou ma ba lafa” (bahasa Rote). Arti harfiah dari kata pele ialah terhalang atau menghalangi pandangan, dan arti pou ialah sarung, maksudnya menutup tubuh
dengan sarung. Selanjutnya arti harfiah dari kata ba ialah menghalangi dan arti lafa
ialah selimut, maksudnya menghalangi pandangan orang terhadap tubuh manusia
dengan cara memakai selimut. Kalau dahulu tenunan adat hanyalah sebagai penutup
tubuh, kemudian tenunan adat pun berfungsi dan bernilai baik ekonomis, sosial,
maupun budaya. Antara lain dapat dilihat bahwa tenunan ini dipakai sebagai
salah satu obyek belis dalam upacara perkawinan, kain penutup jenazah,
disamping itu tenunan ini juga dapat memberikan identitas sosial (etika dan
estetika) dari si pemakai.
1). Fungsi tenunan adat NTT
Fungsi kain tenun NTT secara adat dan budaya
memiliki banyak fungsi, antara lain :
1. Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi
dan menutup tubuh.
2. Sebagai busana yang dipakai dalam
tari-tarian/upacara adat.
3. Sebagai alat penghargaan dan pemberian
perkawinan (belis/mas kawin).
4. Sebagai pakaian adat perkawinan.
5. Sebagai alat/pakaian untuk
membungkus mayat.
6. Sebagai alat penghargaan dan pemberian
dalam acara kematian.
7. Sebagai alat untuk denda adat dalam
mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat suatu pelanggaran adat.
8. Sebagai alat tukar dalam bidang ekonomi.
9. Sebagai prestise dalam strata sosial
masyarakat.
10. Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan
karena menurut corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam,
bencana, roh jahat, dan lain-lain.
11. Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang
datang.
12. Dalam perkembangannya merupakan sumber
pendapatan masyarakat NTT terutama masyarakat di pedesaan.
13. Telah dimanfaatan pula sebagai
pakaian resmi untuk Pegawai Negeri Sipil pada hari tertentu.
Dahulu, setiap wanita yang pandai
menenun dianggap lebih tinggi derajatnya dari yang lain, sehingga umumnya gadis yang pandai menenun
selalu menjadi inceran para pemuda. Selain dari itu kain tenun ikat juga
merupakan suatu sugesti yang memberikan kekuatan terhadap suatu tindakan,
misalnya pemberian kain/sarung/selimut oleh seorang ibu kepada anaknya yang
pergi merantau atau yang akan kawin. Material ini dianggap sebagai suatu media
yang memberi kekuatan kepada si anak di rantau atau di kehidupan yang baru.
Kain tenun juga merupakan suatu hal
yang dapat dijadikan kebanggaan bagi seseorang/sebuah keluarga. Hal ini tampak
bila seorang/keluarga yang didatangi tamu untuk bermalam, maka suatu kewajiban
yang merupakan kebanggaan bagi tuan rumah ialah
menyediakan selimut atau hasil kerajinan tenunannya agar dipergunakan untuk
berselubung.
2). Pola Dasar Ragam Hias.
Pada suku atau daerah tertentu
corak/motif binatang atau orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur
dengan corak motif kuda, rusa, udang, singa, orang-orangan, tengkorak dan
lain-lain, sedangkan TTS banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya,
dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga, atau daun-daun
lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.
Pola dasar dari bentuk corak
motif/ragam hias tenunan ikat NTT yang dihasilkan dapat dikelompokan sebagai
berikut :
a.
Ragam hias zoomorpic (bentuk fauna)
b.
Ragam hias antropomorph (bentuk/figure manusia)
c.
Ragam hias flora (stilisasi tumbuhan)
d.
Ragam hias geometri (kerucut, segitiga, setengan jajaran genjang)
e.
Ragam hias replica, ragam hias kain Patola (India ).
Selanjutnya ragam hias (dulak) pada
tenunan orang Rote Ndao merupakan replika (peniruan secara cermat) dari
warna-warni kulit buaya dengan kombinasi dari struktur pola patola/cinde –
India (menurut Dra. Aurora Murnayati bahwa ragam hias yang ada tidak lepas dari
arti simbolis ragam hias patola). Ragam hias orang Rote Ndao, sebagai berikut :
a.
Bentuk-bentuk geometri (kerucut, segi tiga/tumpal).
b.
Kembang delapan yang disebut motif hitam (dula nggeok).
c.
Setengah jajaran genjang, yang disebut dula pendik.
d.
Tangkai bunga, disebut dula bunak.
e.
Pohon, disebut dula aik.
f.
Rumput laut, disebut dula latu dok.
Oleh karena tenunan
adat orang Rote-Ndao tidak dipakai sebagai busana harian atau busana kerja,
kecuali sudah tua/usang, maka sebelum adanya tekstil yang diperoleh dari toko,
mereka membuat pakaian harian/kerja tanpa motif bunga. Benang yang telah diolah
cukup dihitamkan (tatabu) lalu ditenun menjadi selimut dan sarung, disebut
lafa/lafe nggeok dan rombo/lambi/pou nggeok. Sedang untuk baju tidak diberi
warna hitam tetapi tetap putih. Pakaian kerja/tani bisa dibuat juga dari serat
halus pucuk daun gewang (lafa soka/lafe teik untuk laki-laki dan rombo/pou soka
atau lambi teik untuk perempuan).
3). Arti Simbolis Ragam Hias Tenun Ikat NTT
Ragam hias pada kain tenun ikat NTT
tidak hanya merupakan hiasan atau dekoratif saja sifatnya.Tetapi ragam hias
yang terdapat pada setiap kain tenun yang dihasilkan merupakan manifestasi dari
kehidupan mereka. Jadi merupakan suatu symbol atau lambang. Selain ragam hias
yang mempunyai arti tertentu, warna yang dipakai pun mempunyai arti tertentu
seperti warna hitam berari kedukaan, merah kejantanan, putih kesucian, kuning
kebahagiaan, biru kedamaian, dan hijau kesuburan.
4). Bahan Pewarna
Bahan pewarna tenun ikat NTT berasal dari
tumbuh-tumbuhan, seperti : tarum, mengkudu, kunyit, kemiri, kapur, kesumba,
lumpur. Bahan-bahan pewarna ini adalah bahan pewarna tradisional. Bahan pewarna
yang utama terdiri dari warna hitam, merah, putih, dan kuning, sedang
warnawarna yang lainnya merupakan campuran dari warna-warna yang pokok. Kini
para pengrajin telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan
karena proses pekerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, tahan gosok dan
serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna tersebut antara lain :
naphtol, direck, belerang, dan zat warna reaktif. Namun demikian ada juga
pengrajin yang masih menggunakan zat warna nabati, lilin, dll.
5). Asal Usul Ragam Hias NTT
Masing-masing daerah/suku di NTT mempunyai sejarah/mitos tentang ragam hias tenun
ikatnya. Untuk orang/suku Rote Ndao, asal-usul ragam hiasnya adalah sebagai
berikut:
“ Pada zaman dahulu terdapat
dua orang puteri kakak-beradik yang sangat cantik. Mereka adalah orang Lole.
Nama mereka adalah Pua Kende dan No Kende. Keduanya telah mengikat janji
percintaan dengan dua perjaka orang Ndao. Sesudah itu kedua perjaka orang Ndao tersebut kembali ke Ndao.
Kemudian
muncullah dua orang raja muda dari Sain do Liun (Dasar Samudera). Nama mereka
ialah Dula Foek (Buaya) dan Pata Iuk (Hiu). Kulit Dula Foek terdiri dari
beberapa corak bunga yang indah. Kedua puteri itu tertarik lagi dengan kedua
pemuda Sain tersebut lalu mereka kawin.
Tidak lama kemudian kedua perjaka orang Ndao tersebut kembali dari
Ndao. Mereka kaget karena pacar mereka yaitu Pua Kende dan No Kende telah kawin
dengan orang-orang lain. Kedua pemuda Ndao itu merasa dipermainkan bahkan dipermalukan.
Akibatnya mereka membunuh kedua mantan pacar mereka. Sebelum menghembuskan
napas, kedua gadis bersumpah dengan mengatakan bahwa ‘mulai dari saat
itu sampai seterusnya, orang Lole yang asli tidak akan melahirkan anak
gadis yang cantik, kecuali darah campuran’.
Karena
kecewa dan malu, kedua raja muda Sain itu pun (Dula Foek dan Pata Iuk)
kemudian mengakhiri hidup mereka di tempat yang bernama Oli Ba’i. Kulit Dula
Foek yang berwarna-warni itu membuat orang Rote tertarik lalu mayat/bangkainya
dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada setiap suku/subetnis. Bunga kulit Dula Foek itu memberi inspirasi
kepada orang Rote Ndao lalu kemudian mereka mencipta bunga (dulak) selimut
dan sarung adat sesuai dengan warna kulit Dula Foek seperti tersebut.
Orang Lole mendapat ekor karena itu tenunan adat mereka bercorak hitam di
tengah. Orang Thie mendapat sirip (hinggik) sehingga tenunan adat mereka
bercorak belang-belang, disebut ‘keketak’. Orang Termanu dan orang Ndao
mendapat bagian belakang sehingga tenunan
adat mereka bagus.
Orang Korbafo mendapat paru-paru
sehingga tenunan adat mereka seperti warna paru-paru, disebut ‘masakea bak’.
Dan Lamak Anan (Rote Timur) mendapat dada, sehingga tenunan adat mereka
bercorak silang, disebut ‘nggangge”.
Untuk menghasilkan tenunan yang
coraknya seperti kulit buaya itu, dibutuhkan bahan baku dengan warna : hitam,
putih, merah, dan kuning. Untuk warna hitam, bahan bakunya ialah pohon
tarum/nila; untuk warna putih, benang cukup ditutup/diikat dengan futus; untuk
warna merah, bahan bakunya adalah mengkudu; dan untuk warna kuning, bahan
bakunya adalah kunyit. Oleh karena bahan-bahan baku tersebut tidak banyak yang
tumbuh secara liar, maka orang Rote Ndao mulai memelihara/menanamnya. Kini
mereka tinggalkan bahan baku tradisional itu setelah adanya bahan pewarna hasil
industri modern.
Sebelum
timbulnya pakaian teksil hasil industri modern, pada mulanya orang Rote/Ndao
membuat pakaiannya dengan cara menenun. Bahan baku yang dipergunakan adalah kapas.
Oleh karena bahan baku pakaian mereka adalah kapas, maka mereka menanam pohon
kapas. Dengan demikian setiap rumah tangga mempunyai kebun kapas.
Pakaian
yang dihasilkan itu pada umumnya berwarna putih polos. Pakaian mereka terdiri
dari kain/sarung dan baju. Kain untuk laki-laki disebut sidi. Dan untuk
perempuan disebut rombo, lambik atau pou. Kemudian, baru kain untuk laki-laki
diselang-seling dengan warna hitam dan untuk
perempuan (sarung) dihitamkan dengan lumpur hitam. Sedang baju, disebut ‘badu’ (untuk laki-laki)
dan kebaya disebut kabae (untuk perempuan), tetap berwarna putih. Mereka belum
mengenal atau belum mencipta ragam hias atau bunga pakain.
Walaupun pada mulanya pakaian orang NTT masih sangat sederhana, belum
mempunyai corak, namun pada dasarnya Tuhan telah menciptakan manusia dan
dilengkapi dengan berbagai organ, di antaranya ‘otak’. Dengan otak manusia bisa menciptakan berbagai ketrampilan tangan dengan memanfaatkan
daya khayal ataupun dengan cara meniru. Dari daya khayal dan/atau
meniru, maka setiap suku di NTT mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang
menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan juga pengungkapan
abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi orang Rote Ndao, kulit Dula Foek seperti tersebut pada legenda di atas
dengan replika dari kain patola India,
memberi inspirasi pada mereka, lalu mereka mulai membuat tenun ikat dan memberi
corak bunga seperti kulit buaya tersebut.
6). Perkembangan Tenun Ikat
Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis
yang terkandung di dalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena
ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan
mistik menurut adat. Begitupun, kini nilai ekonomis dan nilai sosialnya pun sudah cukup lumayan.
Banyak industri rumah tangga terdapat di berbagai tempat/desa di NTT. Di Rote
Ndao, para ibu di Kecamatan Ndao Nuse, hampir semuanya sebagai pengrajin tenun
ikat. Selain dari industri rumah tangga, di Kota Kupang terdapat beberapa
sanggar yang mengembangkan tenun ikat. Pada hari tertentu setiap minggu pun
para pegawai negeri diwajibkan memakai busana daerah/busana adat.
Pihak penguasa maupun pihak
pengusaha pun telah menaruh perhatian yang besar untuk membantu mengembangkan
dan meningkatkan kualitas tenun ikat NTT. Bapak Drs Setya Novanto (pengusaha sekaligus
Ketua DPR RI) telah memberikan perhatian yang serius dalam menghasilkan tenun
ikat Nusa Tenggara Timur yang berkualitas dan membantu mempromosikan dan
memasarkan karya para wanita NTT. Ibu Deisti Astriana Novanto (isteri Bapak
Novanto) pun telah mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan tenun ikat di Desa
Manusak (Kabupaten Kupang). Ibu Novanto bersama Oskar Lawalata (desainer
kenamaan) memperkenalkan tenun ikat keluar dari NTT, bahkan memperkenalkan
tenun ikat NTT ke luar negeri. Begitupun Bapak Saleh Husein (Menteri
Perindustrian RI) merencanakan untuk
membuka fabrik tenun di Rote Ndao. Masyarakat NTT patut memberi apresiasi yang
tinggi kepada para ibu dan pemilik sanggar tenun ikat maupun kepada Bapak Novanto
beserta Ibu dan Bapak Saleh Husein atas keseriusan mereka dalam mengembangkan
tenun ikat NTT.