Sekilas Tentang Rote Ndao!!

Jumat, 24 Juni 2016

  • Istilah Kekerabatan

           PENGGUNAAN ISTILAH KEKERABATAN
    Sesuai Norma/Budaya Masyarakat Rote Ndao
    Norma adalah kaidah atau aturan yang disepakati masyarakat dan memberi pedoman bagi pelaku para anggotanya dalam mengejar sesuatu yang dianggap baik atau diinginkan. Norma terdiri dari beberapa aspek, salah satu di antaranya ialah norma kesopanan. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan/etnis, dan waktu. Di sini saya khususkan norma kesopanan yang menyangkut istilah-istilah kekerabatan yang lazim digunakan dikalangan masyarakat Rote dalam berelasi. Berbicara mengenai istilah maka tentu berbicara tentang bahasa.
    Tinggi rendahnya budaya suatu suku/bangsa, bisa diukur dari tutur kata sehari-hari. Berbagai macam istilah adat dan ungkapan yang bermakna yang terdapat dalam bahasa Rote, perlu dihayati dan dilestarikan oleh masyarakat Rote karena mengandung nilai sosiologis bahkan nilai filosofis yang tinggi dan merupakan unsur perekat  antara sesama.
                Misalnya dalam bahasa Rote, istilah menyapa “bo’i” atau bo’i sue” terhadap seseorang mengandung unsur perekat yang tinggi., Arti  kata bo’i adalah kandung dan arti kata sue adalah sayang. Istilah ini umumnya dipakai di kalangan kaum kerabat Namun, walaupun seseorang bukan adalah kerabat tetapi kalau disapa dengan kata bo’i atau  bo’i sue, berarti orang tersebut dipandang sebagai keluarga kandung yang tersayang. Orang Rote pun menyapa orang lain (termasuk yang di luar kelompok/out group) yang lebih muda dengan istilah ‘papa’ bagi laki-laki dan ‘mama’ bagi perempuan. Sapaan ini pun adalah sapaan yang mengandung rasa kekeluargaan atau kemesraan.  
    Begitupun penggunaan istilah-istilah kekerabatan yang sesuai dapat mempererat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Tentu setiap etnis pasti punya ungkapan atau istilah yang dapat mempererat hubungan kekeluargaan dalam berelasi.
    Dipandang dari sudut cara pemakaian istilah kekerabatan pada umumnya, tiap-tiap bahasa mempunayi dua macam istilah, yaitu istilah menyapa dan istilah menyebut. Istilah menyapa dipakai pada hubungan pembicaraan langsung sedang istilah menyebut dipakai bila membicarakan orang ketiga. Para antropolog mempergunakan 10 prinsip universal yang membedakan satu tipe atau kelas kerabat dari yang lain dengan istilah-istilah tertentu.
    Dalam bahasa Rote istilah menyapa bagi ayah ialah papa, sedang istilah menyebut bagi ayah ialah ‘ama. Begitupun istilah menyapa bagi ibu ialah mama dan istilah menyebutnya ialah ina. Anak saudara perempuan, istilah menyapa : ana (anak), istilah menyebut : dadis/sele.
               Istilah-istilah yang dipergunakan dalam bahasa Rote antara lain sbb. : bapak (ama/papa), ibu (ina/mama), kakek (ba’i/papa be’a/opa), nenek (bei/mama be’a/oma), ayah mertua (ari ama/ari papa), ibu mertua (ari ina/ari mama), ipar lelaki (kera/keraba’i), ipar perempuan (hi’a), paman pihak bapak (ama/papa), paman pihak ibu (to’o), anak pihak saudara lelaki (ana->anak), anak pihak saudara perempuan (dadis/sele), saudara perempuan ayah (te’o), saudara perempuan ibu (ti’i), besan (tidak ada istilah yang baku; disebut saja mantu punya orang tua, menantu lelaki (monefeuk), menantu perempuan (feto feuk), tiri (mbala), ayah tiri (ama mbala), ibu tiri (ina mbala), saudara tiri (torano mbala); Pengertian ‘saudara tiri’ dalam bahasa Rote adalah anak yang berlainan ayah dan berlainan ibu. Sedang dikenal ‘sekandung ayah’ yaitu seayah tetapi berlainan ibu dan ‘sekandung ibu’ yaitu seibu  tetapi berlainan ayah. Sapaan/sebutan “to’o” lebih spesifik dan lebih mesrah dari pada sapaan/sebutan “om” untuk saudara lelaki ibu. Apalagi sapaan/sebutan om bukan saja terhadap saudara lelaki ibu, tetapi juga terhadap para lelaki pada umumnya.
     Sopan tidaknya seseorang, dapat dilihat atau diukur dari cara menyapa/menyebut sesuai istilah-istilah seperti tersebut. Misalnya seorang yang dalam status anak harus menyapa/menyebut “papa/ mama/ te’o/ti’i /to’o” kepada tipe kerabat lainnya yang setingkat lebih tinggi, walaupun yang berada pada status yang lebih tinggi itu umurnya lebih rendah dari yang status anak. Sapaan/sebutan yang tidak pantas terlebih terhadap tipe kerabat yang angkatannya (statusnya) lebih tinggi, dicap tidak sopan (ta nelela hadak).
    Setiap genealogi merupakan suatu urutan nama yang teratur mulai dengan nama seseorang leluhur dan berlanjut dalam suatu garis langsung ke nama turunannya yang terakhir. Untuk mengetahui status atau urutan generasi (dalam bahasa Rote disebut ‘dombe/dope) seseorang maka mulai dilacak dari leluhur yang pertama dalam genealogi tersebut. Tokoh atau leluhur yang menurunkan suatu genealogi (komunitas), baik komunitas etnis, subetnis ataupun klen, disebut ‘ba’i kise’ (kakek awal/kakek tunggal). Karena adanya urutan generasi yang teratur, maka bisa diketahui tingkat/urutan generasi (dombe/dope) seseorang, sehingga tidak salah menyapa seseorang yang sesuai dengan status/tingkat generasinya.  
    Dalam berelasi/berdialog, orang tua dan/atau orang yang lebih tua atau orang yang status generasinya lebih tinggi, tidak etis bila disapa dengan menyebut namanya. Bila disapa dengan menyebut namanya, maka hal/cara itu dikatakan ‘fi’i naden’(arti harfiah : cubit namanya). Kalau dalam menyapa, langsung disebut nama orang yang lebih tua teristimewa yang berada dalam hubungan kekerabatan, maka hatinya terasa sakit, seperti dicubit-cubit, oleh karena itu dikatakan  ‘fi’i (cubit).
    Supaya hal itu jangan terjadi, maka misalnya dalam bersaudara laki-laki, ada sapaan ‘ka’a huk’ untuk kakak yang sulung, atau ‘ka’a ladak’ untuk kakak yang tengah. Begitupun yang dalam status anak (keponakan) menyapa/menyebut ‘papa huk (bapa besar/papa besa) untuk bapak yang sulung, dan ‘papa ladak’ (bapa tenga/papa tenga) untuk bapak yang tengah. Selanjutnya anak-anak dari saudara yang sulung menyapa/menyebut ‘bapa/papa ladak’ untuk bapak yang tengah dan ‘papa anak’ (papa kici) untuk bapak yang bungsu atau yang adik. Anak-anak dari saudara perempuan pun mempergunakan istilah-istilah sapaan/sebutan yang khas itu untuk to’o (to’o huk/to’o besa, to’o ladak/to’o tenga, dan to’o anak/to’o kici). Penggunaan istilah to’o lebih spesifik dan lebih intim dari istilah om.  Karena begitu besarnya rasa kekeluargaan orang Rote, maka sapaan seperti itu bukan saja terjadi dalam orang bersaudara kandung tetapi juga dalam/melintasi orang sefamili, bahkan sesuku dan/atau sealiansi. Terhadap kerabat yang perempuan pun, sapaan-sapaan hormat seperti tersebut diterapkan.
               Salah satu cara yang lainnya untuk menghindari sapaan/sebutan yang dianggap kasar atau tidak sopan, maka ‘nama rumah’ dan/atau ‘nama tempat domisili’ yang mempunyai ciri khusus dari  keluarga yang lebih tua, yang disebut, misalnya Ba’i Uma Baleek (Kakek Rumah Baleek/seng) maksudnya kakek yang atap rumahnya dari seng, Mama Kolee Hu (Mama Pohon Kusambi) maksudnya di sekitar/kintal rumahnya terdapat pohon kusambi. Jadi nama dari kerabat yang lebih tua atau yang dihormati itu tidak disebut/tidak di fi’i.
                Dalam berelasi secara langsung, bahasa yang ditujukan kepada orang yang lebih tua/dihormati, dihindari kata sapaan ‘o’ (kau/anda – person kedua tunggal), karena penggunaan sapaan ‘o’ (kau, anda) tidak sopan. Untuk menghindari hal itu, maka person kedua tunggal (kau/anda) diposisikan sebagai person ketiga tunggal (dia). Contoh 1. a : Papa mu leo ‘silahkan bapak pergi’. Kalimat lengkapnya seharusnya sebagai berikut : O mu leo papa ‘silahkan kau pergi bapak’. Namun, demi menjaga etika dalam menyapa, maka kalimat yang dipakai adalah 1. b : Papa neu leo ‘Silahkan bapak pergi’. Kata mu ‘pergi’, menunjuk person kedua tunggal (kau/anda) dan kata neu ‘pergi’ menunjuk person ketiga tunggal. Contoh 2. a. Mama mu’a leo ‘Silahkan mama makan’àO mu’a leo mama ‘Silahkan kau makan mama’ (II tunggal) – tidak etis. 2.b. Mama na’a leo (III tunggal) ‘Silahkan makan mama’ (etis). Kata mu’a ‘makan’ menunjuk person II tunggal dan kata na’a ‘makan' menunjuk person III tunggal. Sedang untuk bentuk jamak/II jamak (kamu = kalian) dapat diposisikan sebagai  person III jamak : Silahkan bapak-bapak makan (papasara mi’a leoàpapasara ra’a leo).
               Di atas saya telah kemukakan istilah-istilah sapaan maupun istilah sebutan dalam hubungan kekerabatan. Untuk orang-orang diluar hubungan kekerabatan (out group) pun tidak ada perbedaan yang prinsipil, kecuali menyangkut perbedaan tingkat/generasi. Untuk orang di luar lingkungan keluarga, senioritas dan/atau umur menjadi ukuran. Kalau kita ikuti wawancara para penyiar di ‘beberapa’ TV di Indonesia, maka sikap dan cara menyapa mereka dirasakan tidak etis bila ditinjau dari budaya orang Rote Ndao maupun orang NTT. Misalnya mereka menjawab dengan kata ‘hu...!’ ataupun menyapa dengan kata ‘anda’ atau menyebut nama kepada orang yang lebih senior atau terhadap seseorang ‘pejabat’. Terhadap lawan bicara, bila sebaya maka sebaiknya digunakan kata ‘saudara’, sedang terhadap yang lebih senior, sebaiknya digunakan kata ‘pak’ atau ‘bapak’. Begitupun mereka ‘fi’i nadek’, misalnya menyebut ‘nama’ dari Presiden tanpa didahului dengan kata ‘bapak/pak’. Memang sesuatu yang dipandang sopan oleh sesuatu masyarakat belum tentu dipandang sopan oleh masyarakat lain. Namun untuk orang Indonesia, adat sopan santun  umumnya sama antara satu masyarakat dengan yang lainnya. Di NTT, bagaimana perasaan seseorang bila mendengar/melihat seorang pewancara di bawah umur menyapa “anda” kepada Bapak Frans Lebu Raya yang lebih senior bahkan dalam kedudukannya sebagai Gubernur NTT? Apakah sesuai dengan etika orang NTT ?  
               Jadi dalam bahasa, dalam hal ini bahasa lokal (ibu), ada istilah/kata yang dianggap tabuh ataupun fulgar untuk diucapkan. Salah satu contoh lainnya : kata ‘selingkuh’ atau ‘vagina/zakar’ (bahasa Indonesia), tidak dirasa pantang/tabuh bila diucapkan didepan umum dalam bahasa Indonesianya, sedang bila diucapkan dalam bahasa ibu maka terasa vulgar. Dari contoh-contoh itu dapat disimpulkan bahwa bahasa ibu/lokal merupakan bahasa/budaya yang mempunyai nilai etika dan filosofi yang tinggi oleh masyarakat pemakainya, sehingga sangatlah pantas bila harus dikembangkan dan dilestarikan.


  • Rabu, 17 Februari 2016

  • FUNGSI KAIN TENUN IKAT ntt

                                                        FUNGSI KAIN TENUN IKAT NTT
    ASAL USUL BUNGA SARUNG  DAN SELIMUT
    ORANG ROTE NDAO


                Hasil kerajinan tenun bagi masyarakat Indonesia merupakan salah satu hasil kebudayaan materi, begitu juga halnya masyarakat Nusa Tenggara Timur, termasuk Rote Ndao. Menurut sejarah, masyarakat NTT telah mengenal kerajinan tenun yang benangnya diolah dari kulit kayu dan serat gewang, sebagai pakaian penutup tubuhnya. Setelah mengenal kapas, masyarakat NTT mengolah serat kapas menjadi benang sebagai bahan baku pembuatan pakaian.
             Tenunan tradisional yang dikenal di NTT pada umumnya tenun ikat. Nama ini dikenal melalui Etnografi Indonesia yang berasal dari Belanda yaitu G.P.Rouffaer, sekitar tahun 1900, mengadakan penelitian tentang pembuatan ragam hias dan proses pewarnaan kain tenun. Rouffaer menyimpulkan bahwa ragam hias yang dihasilkan merupakan hasil celupan benang lungsi yang diikat, sehingga tenunan ini dinamakan tenun ikat.
              Mulanya tenunan adat pada masyarakat NTT pada umumnya dan masyarakat Rote/Nado pada khususnya hanya sebagai kebutuhan dasar manusia (melindungi diri) sehingga dalam syair dikatakan “pele pou ma ba lafa” (bahasa Rote). Arti harfiah dari kata pele ialah terhalang atau menghalangi pandangan, dan arti pou ialah sarung, maksudnya menutup tubuh dengan sarung. Selanjutnya arti harfiah dari kata ba ialah menghalangi dan arti lafa ialah selimut, maksudnya menghalangi pandangan orang terhadap tubuh manusia dengan cara memakai selimut. Kalau dahulu tenunan adat hanyalah sebagai penutup tubuh, kemudian tenunan adat pun berfungsi dan bernilai baik ekonomis, sosial, maupun budaya. Antara lain dapat dilihat bahwa tenunan ini dipakai sebagai salah satu obyek belis dalam upacara perkawinan, kain penutup jenazah, disamping itu tenunan ini juga dapat memberikan identitas sosial (etika dan estetika) dari si pemakai.
    1). Fungsi tenunan adat NTT
    Fungsi kain tenun NTT secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi, antara lain :
    1.      Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutup tubuh.
    2.      Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian/upacara adat.
    3.      Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (belis/mas kawin).
    4.      Sebagai pakaian adat perkawinan.
    5.      Sebagai alat/pakaian untuk membungkus mayat.
    6.      Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
    7.      Sebagai alat untuk denda adat dalam mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat suatu pelanggaran adat.
    8.      Sebagai alat tukar dalam bidang ekonomi.
    9.      Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
    10.  Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat, dan lain-lain.
    11.  Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang.
    12.  Dalam perkembangannya merupakan sumber pendapatan masyarakat NTT terutama masyarakat di pedesaan.  
    13.  Telah dimanfaatan pula sebagai pakaian resmi untuk Pegawai Negeri Sipil pada hari tertentu.
            
               Dahulu, setiap wanita yang pandai menenun dianggap lebih tinggi derajatnya dari yang lain, sehingga umumnya gadis yang pandai menenun selalu menjadi inceran para pemuda. Selain dari itu kain tenun ikat juga merupakan suatu sugesti yang memberikan kekuatan terhadap suatu tindakan, misalnya pemberian kain/sarung/selimut oleh seorang ibu kepada anaknya yang pergi merantau atau yang akan kawin. Material ini dianggap sebagai suatu media yang memberi kekuatan kepada si anak di rantau atau di kehidupan yang baru.
             Kain tenun juga merupakan suatu hal yang dapat dijadikan kebanggaan bagi seseorang/sebuah keluarga. Hal ini tampak bila seorang/keluarga yang didatangi tamu untuk bermalam, maka suatu kewajiban yang merupakan kebanggaan bagi tuan rumah ialah menyediakan selimut atau hasil kerajinan tenunannya agar dipergunakan untuk berselubung.   

            2). Pola Dasar Ragam Hias.
             Pada suku atau daerah tertentu corak/motif binatang atau orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, singa, orang-orangan, tengkorak dan lain-lain, sedangkan TTS banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya, dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga, atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.
             Pola dasar dari bentuk corak motif/ragam hias tenunan ikat NTT yang dihasilkan dapat dikelompokan sebagai berikut :
    a. Ragam hias zoomorpic (bentuk fauna)
    b. Ragam hias antropomorph (bentuk/figure manusia)
    c. Ragam hias flora (stilisasi tumbuhan)
    d. Ragam hias geometri (kerucut, segitiga, setengan jajaran genjang)
    e. Ragam hias replica, ragam hias kain Patola (India).
             Selanjutnya ragam hias (dulak) pada tenunan orang Rote Ndao merupakan replika (peniruan secara cermat) dari warna-warni kulit buaya dengan kombinasi dari struktur pola patola/cinde – India (menurut Dra. Aurora Murnayati bahwa ragam hias yang ada tidak lepas dari arti simbolis ragam hias patola). Ragam hias orang Rote Ndao, sebagai berikut :
    a. Bentuk-bentuk geometri (kerucut, segi tiga/tumpal).
    b. Kembang delapan yang disebut motif hitam (dula nggeok).
    c. Setengah jajaran genjang, yang disebut dula pendik.
    d. Tangkai bunga, disebut dula bunak.
    e. Pohon, disebut dula aik.
    f. Rumput laut, disebut dula latu dok.

               Oleh karena tenunan adat orang Rote-Ndao tidak dipakai sebagai busana harian atau busana kerja, kecuali sudah tua/usang, maka sebelum adanya tekstil yang diperoleh dari toko, mereka membuat pakaian harian/kerja tanpa motif bunga. Benang yang telah diolah cukup dihitamkan (tatabu) lalu ditenun menjadi selimut dan sarung, disebut lafa/lafe nggeok dan rombo/lambi/pou nggeok. Sedang untuk baju tidak diberi warna hitam tetapi tetap putih. Pakaian kerja/tani bisa dibuat juga dari serat halus pucuk daun gewang (lafa soka/lafe teik untuk laki-laki dan rombo/pou soka atau lambi teik untuk perempuan). 

    3). Arti Simbolis Ragam Hias Tenun Ikat NTT
             Ragam hias pada kain tenun ikat NTT tidak hanya merupakan hiasan atau dekoratif saja sifatnya.Tetapi ragam hias yang terdapat pada setiap kain tenun yang dihasilkan merupakan manifestasi dari kehidupan mereka. Jadi merupakan suatu symbol atau lambang. Selain ragam hias yang mempunyai arti tertentu, warna yang dipakai pun mempunyai arti tertentu seperti warna hitam berari kedukaan, merah kejantanan, putih kesucian, kuning kebahagiaan, biru kedamaian, dan hijau kesuburan.

    4). Bahan Pewarna
        Bahan pewarna tenun ikat NTT berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti : tarum, mengkudu, kunyit, kemiri, kapur, kesumba, lumpur. Bahan-bahan pewarna ini adalah bahan pewarna tradisional. Bahan pewarna yang utama terdiri dari warna hitam, merah, putih, dan kuning, sedang warnawarna yang lainnya merupakan campuran dari warna-warna yang pokok. Kini para pengrajin telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan karena proses pekerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, tahan gosok dan serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang, dan zat warna reaktif. Namun demikian ada juga pengrajin yang masih menggunakan zat warna nabati, lilin, dll.

    5). Asal Usul Ragam Hias NTT
               Masing-masing daerah/suku di NTT mempunyai sejarah/mitos tentang ragam hias tenun ikatnya. Untuk orang/suku Rote Ndao, asal-usul ragam hiasnya adalah sebagai berikut:
              “ Pada zaman dahulu terdapat dua orang puteri kakak-beradik yang sangat cantik. Mereka adalah orang Lole. Nama mereka adalah Pua Kende dan No Kende. Keduanya telah mengikat janji percintaan dengan dua perjaka orang Ndao. Sesudah itu kedua perjaka orang Ndao tersebut kembali ke Ndao.
    Kemudian muncullah dua orang raja muda dari Sain do Liun (Dasar Samudera). Nama mereka ialah Dula Foek (Buaya) dan Pata Iuk (Hiu). Kulit Dula Foek terdiri dari beberapa corak bunga yang indah. Kedua puteri itu tertarik lagi dengan kedua pemuda Sain tersebut lalu mereka kawin.
             Tidak lama kemudian  kedua perjaka orang Ndao tersebut kembali dari Ndao. Mereka kaget karena pacar mereka yaitu Pua Kende dan No Kende telah kawin dengan orang-orang lain. Kedua pemuda Ndao itu merasa dipermainkan bahkan dipermalukan. Akibatnya mereka membunuh kedua mantan pacar mereka. Sebelum menghembuskan napas, kedua gadis bersumpah dengan mengatakan bahwa mulai dari saat itu sampai seterusnya, orang Lole yang asli tidak akan melahirkan anak gadis yang cantik, kecuali darah campuran.
    Karena kecewa dan malu, kedua raja muda Sain itu pun (Dula Foek dan Pata Iuk) kemudian mengakhiri hidup mereka di tempat yang bernama Oli Ba’i. Kulit Dula Foek yang berwarna-warni itu membuat orang Rote tertarik lalu mayat/bangkainya dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada setiap suku/subetnis.  Bunga kulit Dula Foek itu memberi inspirasi kepada orang Rote Ndao lalu kemudian mereka mencipta bunga (dulak) selimut dan sarung adat sesuai dengan warna kulit Dula Foek seperti tersebut.
             Orang Lole mendapat ekor karena itu tenunan adat mereka bercorak hitam di tengah. Orang Thie mendapat sirip (hinggik) sehingga tenunan adat mereka bercorak belang-belang, disebut ‘keketak’. Orang Termanu dan orang Ndao mendapat bagian belakang sehingga tenunan  adat  mereka   bagus.  Orang   Korbafo mendapat paru-paru sehingga tenunan adat mereka seperti warna paru-paru, disebut ‘masakea bak’. Dan Lamak Anan (Rote Timur) mendapat dada, sehingga tenunan adat mereka bercorak silang, disebut ‘nggangge.

              Untuk menghasilkan tenunan yang coraknya seperti kulit buaya itu, dibutuhkan bahan baku dengan warna : hitam, putih, merah, dan kuning. Untuk warna hitam, bahan bakunya ialah pohon tarum/nila; untuk warna putih, benang cukup ditutup/diikat dengan futus; untuk warna merah, bahan bakunya adalah mengkudu; dan untuk warna kuning, bahan bakunya adalah kunyit. Oleh karena bahan-bahan baku tersebut tidak banyak yang tumbuh secara liar, maka orang Rote Ndao mulai memelihara/menanamnya. Kini mereka tinggalkan bahan baku tradisional itu setelah adanya bahan pewarna hasil industri modern.

               Sebelum timbulnya pakaian teksil hasil industri modern, pada mulanya orang Rote/Ndao membuat pakaiannya dengan cara menenun. Bahan baku yang dipergunakan adalah kapas. Oleh karena bahan baku pakaian mereka adalah kapas, maka mereka menanam pohon kapas. Dengan demikian setiap rumah tangga mempunyai kebun kapas.
               Pakaian yang dihasilkan itu pada umumnya berwarna putih polos. Pakaian mereka terdiri dari kain/sarung dan baju. Kain untuk laki-laki disebut sidi. Dan untuk perempuan disebut rombo, lambik atau pou. Kemudian, baru kain untuk laki-laki diselang-seling dengan warna hitam dan untuk  perempuan (sarung) dihitamkan dengan lumpur hitam.  Sedang baju, disebut ‘badu’ (untuk laki-laki) dan kebaya disebut kabae (untuk perempuan), tetap berwarna putih. Mereka belum mengenal atau belum mencipta ragam hias atau bunga pakain. 
                Walaupun pada mulanya pakaian orang NTT masih sangat sederhana, belum mempunyai corak, namun pada dasarnya Tuhan telah menciptakan manusia dan dilengkapi dengan berbagai organ, di antaranya ‘otak’. Dengan otak manusia bisa menciptakan berbagai ketrampilan tangan dengan memanfaatkan daya khayal ataupun dengan cara meniru. Dari daya khayal dan/atau meniru, maka setiap suku di NTT mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi orang Rote Ndao, kulit Dula Foek seperti tersebut pada legenda di atas dengan replika dari kain patola  India, memberi inspirasi pada mereka, lalu mereka mulai membuat tenun ikat dan memberi corak bunga seperti kulit buaya tersebut.

    6). Perkembangan Tenun Ikat
               Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung di dalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat. Begitupun, kini nilai ekonomis dan nilai sosialnya pun sudah cukup lumayan. Banyak industri rumah tangga terdapat di berbagai tempat/desa di NTT. Di Rote Ndao, para ibu di Kecamatan Ndao Nuse, hampir semuanya sebagai pengrajin tenun ikat. Selain dari industri rumah tangga, di Kota Kupang terdapat beberapa sanggar yang mengembangkan tenun ikat. Pada hari tertentu setiap minggu pun para pegawai negeri diwajibkan memakai busana daerah/busana adat.

               Pihak penguasa maupun pihak pengusaha pun telah menaruh perhatian yang besar untuk membantu mengembangkan dan meningkatkan kualitas tenun ikat NTT. Bapak Drs Setya Novanto (pengusaha sekaligus Ketua DPR RI) telah memberikan perhatian yang serius dalam menghasilkan tenun ikat Nusa Tenggara Timur yang berkualitas dan membantu mempromosikan dan memasarkan karya para wanita NTT. Ibu Deisti Astriana Novanto (isteri Bapak Novanto) pun telah mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan tenun ikat di Desa Manusak (Kabupaten Kupang). Ibu Novanto bersama Oskar Lawalata (desainer kenamaan) memperkenalkan tenun ikat keluar dari NTT, bahkan memperkenalkan tenun ikat NTT ke luar negeri. Begitupun Bapak Saleh Husein (Menteri Perindustrian RI)  merencanakan untuk membuka fabrik tenun di Rote Ndao. Masyarakat NTT patut memberi apresiasi yang tinggi kepada para ibu dan pemilik sanggar tenun ikat maupun kepada Bapak Novanto beserta Ibu dan Bapak Saleh Husein atas keseriusan mereka dalam mengembangkan tenun ikat NTT.
  • Bahasa Rote


         (3)                          BAHASA ROTE    
    Ladan nai kokolan
    ma lolen nai dede’an
           
    Kabupaten Rote Ndao terdiri dari dua bahasa daerah yaitu bahasa Rote dan bahasa Ndao. Bahasa Rote terdapat di Rote Daratan dan bahasa Ndao terdapat di Pulau/Nusak Ndao. Punutur bahasa Rote sekitar 117.000 orang dan penutur bahasa Ndao sekitar 5.000 orang.
    Di Rote Daratan terdapat 18 subetnis dan karena terdapat beberapa perbedaan dalam beberapa kata dan ungkapan antara subetnis yang satu dengan yang lainnya, maka pada tahun 1884, D. P. Manafe, yang pernah menjadi guru di Rote Ba’a, dalam tulisannya yang berjudul “Akan Bahasa Rote”, mengelompokan bahasa di Rote Daratan atas sembilan dialek. Walaupun dibedakan atas sembilan kelompok dialek, namun siapa yang berada di ujung Rote timur memahami apa yang dikatakan oleh yang tinggal di bahagian barat Rote tanpa mengalami banyak kesulitan, kecuali anak-anak kecil/remaja.  
    Walaupun belum diadakan suatu penelitian yang akurat, namun dapat diperkirakan bahwa bahasa Rote yang sekarang, terbentuk atas dua hal, yaitu:
    1.      Dari bahasa yang dibawa oleh moyang-moyang pertama dari Seram atau Pulau Timor  (mungkin bahasa Tetun), namun sudah pasti bahwa bahasa mereka adalah serumpun dengan bahasa Austronesia/Cental Melayo Polynesia.
    2.      Dari kata/istilah baru yang dicipta oleh kelompok mereka dan/atau generasi kemudian.
    3.      Sedang bahasa Ndao terbentuk dari bahasa Sabu dan bahasa pendatang yang berasal dari Pulau Timor.
    Karena para pendatang itu cepat tersebar dan datang secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup panjang maka walaupun terdapat bahasa yang merupakan bahasa pokok (mereka berasal dari moyang yang tunggal), namun sudah terdapat beberapa perbedaan dalam kata dan ungkapan. Istilah-istilah baru yang tercipta sewaktu para moyang masih mendiami wilayah yang sama (ujumg timur Rote), dapat dipakai seterusnya oleh generasi kemudian secara umum, kemudian tercipta pula kata/istilah baru, hal mana tetap berlangsung terus sampai kini. Tiap kelompok (nusak) dapat mencipta kata/istilah baru dan digunakan oleh kelompok yang bersangkutan sendiri
    Walaupun terdapat kecenderungan meremehkan bahasa Rote/Ndao oleh segelintir orang Rote/Ndao sendiri, namun bahasa-bahasa ini masih dipergunakan oleh masyarakat pemakainya dalam berbagai kepentingan baik sebagai alat komunikasi sehari-hari maupun dalam berbagai forum seperti rapat desa, bahasa adat sopan santun, bahasa teks lagu daerah, bahasa dalam berbagai khotbah (kini banyak yang menggunakan babasa Indonesia), dan pidato serta bahasa pengantar di sekolah dasar dari kelas I sampai dengan kelas III. (Kini bahasa Indonesia telah pula dipergunakan dari kelas I sampai kelas III). Jadi, merupakan. sarana komunikasi masyarakat homogen dalam bidang budaya, kesenian, agama, pendidikan, dan lain-lain.
    Bahasa Rote banyak kesamaannya dengan bahasa Dawan (terutama dialek Dengka, Lelain, Delha, Oenale) dan bahasa Tetun, serta dekat juga dengan bahasa Kiser dan Leti, sedang bahasa Ndao hampir sama dengan bahasa Sabu dan Sumba serta Bima. Menurut Rev. Gordon Dicker BA, MTh, banyak terdapat kesamaan antara bahasa Rote dengan bahasa-bahasa Polinesia.
    Dahulu bahasa asing (luar Rote) yang pertama kali dikenal oleh orang Rote adalah bahasa Melayu. Sesudah tahun 1660 penguasa-penguasa Rote memulai surat-menyurat tahunan dengan Gubemur Jenderal VOC di Batavia dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1735 barulah secara resmi bahasa Melayu diajarkan oleh guru yang dikirim dari Ambon (Hendrik Hendriks) di sekolah Fiulain (Thie).
    Penelitian dan penulisan bahasa Rote sudah banyak dilakukan. Manafe (1884), Fanggidaej (1892-1894), Heijmering (1842), Jonker (1905, 1908, 1911, 1913, 1975), Fox (l970-1980), Clercq (1873), Mboeik dkk (1985), Fanggidae dkk (1998), Unit Bahasa dan Budaya GMIT (2001-menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Rote), Paul A. Haning (Bahasa dan Sastra Rote-2010), dan Leksi S. Y. Ingguoe (Tata Bahasa Rote-2012).
    Dari semua bahasa daerah yang terdapat di NTT, bahasa Rote sebagai penyumbang terbesar dalam menambah perbendaharaan bahasa Kupang. Dari 3200 kata yang terdapat dalam Kamus Bahasa Kupang, Bahasa Rote menyumbang 10 %. Belum diteliti berapa % bahasa Rote menyumbang bahasa Kupang secara keseluruhan.
    Kata-kata bahasa Rote yang terdapat dalam bahasa Kupang antara lain adalah: Makarereu, kapisak, kokoe, ra'u, pode edok, haik, firuk, na neu, baeok, hopo, fi'i, seti, boa, ba'i, faraku, masamodok, fanik, hela, matono, malenggang, kea, kabuak, kokodok, huk, horo, makarubu, po'a, ketu, dano, banupuk, koru, tasibu, reke, fufudek, puruk, to'o, kakorek.
              Oleh karena bahasa Rote terdiri dari 9 dialek maka untuk berkomunikasi, masing-masing dapat mempergunakan dialeknya karena setiap dialek dapat dimengerti oleh setiap orang Rote. Sedang untuk bahasa Ndao, secara kedalam berkomunikasi dengan bahasa Ndao, sedang keluar, bisa dengan dialek Rote yang lainnya, karena umumnya orang Ndao mengerti dialek Rote yang lainnya.
              Orang Rote terutama para penyair/sastrawan bahasa ibu (manahelo) suka berbicara dengan bahasa ritual. Bahasa ritual adalah suatu tatacara bahasa lisan formal, yaitu bahasa dalam interaksi seremonial atau sosial resmi dan berupa syair/puisi yang dalam bahasa Rote disebut bini. Bahasa ritual ini terdiri dari bentuk bicara yang berpasang-pasangan. Bini dinyanyikan (dihelo) dalam bahasa ritual dan selalu disusun dalam paralelisme yang menceriterakan khasanah khusus kisah mitologis. Bahasa bini adalah bahasa puitis yang bersifat simbolik dan metaforis. Beberapa contoh bini, sbb :
    1.    Ladan nai kokolan ma lolen nai dede’an ‘kenikmatannya ada pada pembicaraannya dan keindahannya terdapat pada bahasanya’, maksudnya semua masalah ada solusinya bila disikapi secara arif dan bijaksana. Dengan pelukisan ini orang berasosiasi bahwa terasa enak di mulut dan terasa indah bila dipandang.
    2.    Hu ndia de ala lamanasa oda ma luli dedei  `karena itu maka mereka marah kening dan murka dahi' (karena itu mereka marah di kening dan murka di dahi).
    Dengan pelukisan di atas pembaca/pendengar dapat berasosiasi seakan-akan menyaksikan orang yang sedang marah dengan dahi dan kening yang berkerut-kerut. Suatu kemarahan yang tidak dengan kata-kata yang menggelempar tetapi cukup ditunjukkan melalui suatu kernjutan dahi, jadi merupakan suatu kemarahan yang bijak.
    3.    Dalen tobi ma tein lalombe ‘hatinya panas dan batinnya membara'
    Orang yang sedang marah biasanya aliran darah dan denyut jantungnya lebih keras sehingga suhu badan bertambah panas. Untuk menyatakan perasaan itu secara metaforik digambarkan bagaikan api yang membara (dalen tobi ma tein lalombe).
    4.    Tipan te ta natangengo ma selen te ta natahi  'tak goyah digoyang dan tak miring digoncang', maksudnya bila tindakan/sikap yang diambil/dilakukan didasarkan pada salurannya maka biarpun dirongrong tidak akan jatuh.

    Jika kearifan lokal (budaya termasuk bahasa lokal) tidak dilesarikan maka kita akan kehilangan berbagai nilai yang merupakan pegangan  hidup kita dalam berbangsa dan bermasyarakat. DR. Djawanai (linguistik) mengatakan antara lain, “Bila bahasa lokal akan punah maka kehilangan pengetahuan kita tentang suatu peradaban dan juga kehilangan kebudayaan dan karya seni; Prof. Felix pun mengatakan, “Bila budaya hilang maka peradaban kita akan menjadi biadab.“
  • Budaya dan bahasa etnis

    )              BUDAYA DAN BAHASA ETNIS

            Bahasa adalah cerminan, identitas, dan eksistensi suatu suku/bangsa. Dari bahasa suatu suku/bangsa dikenal dan dalam bahasa juga tercermin martabatnya. Bagaimanapun sederhananya suatu suku/bangsa ia mempunyai kebanggaan diri yang diketahui melalui bahasanya. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menghargai dan menjunjung tinggi bahasanya. Bahasa sangat penting dalam kebudayaan manusia.
              Pada umumnya para linguistik mengatakan bahwa pada mulanya di dunia ini hanya ada satu bahasa. Seiring dengan tumbuh kembangnya, manusia berpisah menjadi beberapa kelompok besar, lalu kelompok besar berpisah menjadi kelompok kecil, kelompok kecil yang menjadi besar kemudian berpisah menjadi beberapa kelompok dan seterusnya. Setiap kelompok yang berpisah itu kemudian mengembangkan bahasanya menurut situasi dan karakteristik geografis, sosial, ekonomi, dan teknologi sehingga lama-kelamaan muncullah bahasa yang unik dan berbeda dengan bahasa asalnya. Akhirnya dari satu bahasa timbullah ribuan bahasa di dunia ini. Para linguistik menyebutkan berbagai kesamaan atau kemiripan kata-kata tertentu pada berbagai bahasa di dunia.      
              B. Grimers (1977) mengatakan bahwa di seluruh dunia terdapat 7000 bahasa, sedang di Indonesia terdapat 742  bahasa daerah. Semua bahasa daerah itu dibagi atas dua bahagian besar, yaitu : 1). Rumpun bahasa-bahasa Autronesia (AN) dan 2). Rumpun bahasa-bahasa Non Austronesia (NAN). Bahasa-bahasa di Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia (AN).
              Sedang menurut pembagian para ahli yang lain, ada tiga rumpun besar bahasa di dunia ini, yang disebut dengan proto, yaitu : 1). Proto Eropa; 2). Proto Autronesia; dan 3). Proto Indo Pacifik. Bahasa-bahasa di Indonesia masuk dalam Proto Austronesia. Yang termasuk Proto Austronesia  ialah Ras Melanesia. Ras Melanesia meliputi negara-negara : Indonesia, Fiji, Papua Nugini, Solomon Island, Timor Leste, dan New Caledonia. Di Indonesia, propinsi-propinsi yang masuk dalam ras Melanesia, adalah : NTT, Maluku, Maluku  Utara, Papua, dan Papua Barat. Menurut Pater Gregor Neonbasu SVD PhD (Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Propinsi NTT), bahasa-bahasa dari Ras Melanesia itu banyak kesamaannya.
               Di Indonesia, bahasa daerah yang mempunyai penutur terbanyak adalah bahasa Jawa (65 juta orang). Belum ada penelitian yang akurat mengenai jumlah penutur untuk bahasa-bahasa lokal (daerah) di NTT, namun mungkin bahasa dengan penutur yang terbanyak adalah bahasa Dawan, menyusul bahasa Manggarai dan urutan ke-3 adalah bahasa Sumba..
              Di NTT terdapat 69 bahasa daerah. Dari ke-69 bahasa daerah itu, 23 terdapat di Alor. Di antara semua ciri budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena dengan bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain. Jika kearifan lokal (budaya termasuk bahasa lokal) tidak dilesarikan maka kita akan kehilangan berbagai nilai yang merupakan pegangan hidup kita dalam berbangsa dan bermasyarakat.
               Beberapa pakar linguistik antara lain Djawanai, Guru Besar Bidang Linguistik UGM (2009), mengatakan bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia, termasuk  di Flores dan Rote diambang kepunahan. Kepunahan terjadi karena selain para penutur dari bahasa tersebut semuanya meninggal dunia, juga para penutur kurang minat karena dipandang bahasa tersebut kurang bergengsi ataupun bahasa tersebut terdesak oleh bahasa lain. Djawanai mengatakan bahwa akibat dari kepunahan bahasa maka : 1). Kehilangan pengetahuan kita tentang suatu peradaban; 2). Kehilangan kebudayaan dan karya seni; 3). Terhapusnya ensiklopedia tentang pengetahuan manusia yang telah dihimpun dan ditempa dalam perjalanan sejarahnya.Untuk itu Djawanai dan pakar lainnya  menganjurkan : 1). Perlu ada siaran radio atau tayangan tv lokal dengan bahasa daerah; 2). Perlu diterapkan pelajaran MULOK di sekolah; 3). Dalam beribadah dan/atau berkhotbah perlu disampaikan dalam bahasa daerah.
    Untuk mencegah kepunahan bahasa maka anjuran Djawanai dll pakar seperti tersebut di atas perlu diterapkan. Dahulu bahasa daerah masuk dalam kurikulum Sekolah Rakyat/Dasar. Pada masa penjajahan pun orang-orang asing telah menulis budaya Rote dalam bahasa Rote. Seorang Belanda (I. C. G. Jonker) menulis ceritera rakyat serta aspek  lainnya dalam bahasa Rote/dialek Termanu, sebanyak 117 pasal, dalam bukunya yang berjudul “Rottineesche Teksten  Vertaling”, diterbitkan di Belanda pada tahun 1911. Pdt. Midelkop pun telah menerjemahkan Injil dalam bahasa Dawan. Pada tahun 1894 Fanggidaej seorang guru di Rote menerjemahkan Injil Lukas ke dalam Rote. Injilpun telah diterjemahkan ke dalam bahasa Manggarai.
    Kini pemerintah termasuk para pemerhati bahasa dan budaya pun berusaha agar pengembangan dan pelestarian bahasa daerah perlu ditingkatkan. Sebab bila tidak maka bisa terdesak oleh bahasa lain cq bahasa Indonesia lalu akan punah. Setiap orang paling sedikit menguasai bahasa ibunya dan bahasa Indonesia. Bahkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Bpk Anis Baswedan) menganjurkan agar setiap pelajar harus menguasai tiga bahasa, yaitu bahasa ibu, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
    Kita perlu memberikan apresiasi kepada Sinode GMIT karena melalui UBB (Unit Bahasa dan Budaya) telah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Dawan, Tetun, Semau, Rote, dan Sabu. Juga telah menerjemahkan Injil (Perjanjian Baru) ke dalam bahasa Kupang. Semua karya itu adalah kekayaan budaya NTT yang perlu disambut dan dihargai dengan baik. Namun hasil terjemahan itu jangan hanya tinggal dalam bentuk buku tetapi perlu diterapkan; tampaknya para pelayan firman/para penatua di kalangan GMIT kurang memanfaatkan hasil karya UBB GMIT ini.
    Beberapa tahun terakhir ini pun Sinode GMIT telah melaksanakan “Bulan Keluarga” pada bulan Oktober setiap tahun. Dalam “Bulan Keluarga”, titik berat renungan menyangkut “Peran Rumah Tangga Kristen” sesuai pesan Alkitab. Pada bulan tersebut (Oktober) setiap hari Minggu, liturgi kebaktian bernuansa budaya, terutama meliputi busana adat, seni musik, lagu rakyat dan tari, serta bahasa.
    Begitupun dalam bidang pemerintahan, beberapa bupati antara lain Bupati Rote Ndao (Drs. Leonard Haning, MM) dan Bupati Kabupaten Kupang (DR. Ayub Titu Eky)  menginstruksikan aparatnya maupun pelajar untuk menggunakan bahasa ibu waktu jam dinas pada hari tertentu.
    Khusus untuk Jemaat GMIT, di Kota Kupang, jemaatnya terdiri dari empat etnis yang mayoritas  (Timor, Alor, Rote dan Sabu). Unsur-unsur budaya yang ditonjolkan di Kota Kupang melalui “Bulan Keluarga” antara lain : busana adat, musik daerah dan lagu-lagu  daerah, makanan khas daerah,  bahasa daerah, dll. Selama Bulan Keluarga (Oktober) tiap minggu diisi oleh sebuah etnis dari ke-4 etnis di Kota Kupang itu. Sesudah itu, pada minggu terakhir (Hari Ulang Tahun GMIT) diadakan kebaktian dengan melibatkan ‘Etnis Flobamora’.
    Untuk busana adat, baru hanya dikenakan oleh pelayan firman, dan petugas-petugas liturgi. Sedang untuk bahasa baru berupa lagu-lagu terjemahan dari Kidung Jemaat, PKJ, NKB, dll; dan untuk nast yang menjadi renungan baru beberapa gereja, antara lain Gereja Pniel Oebobo yang menerjemahkan ke dalam bahasa ibu. Melalui “Bulan Keluarga”, tiga aspek budaya sekaligus dikembangkan dan dilestarikan, yaitu Bahasa, senimusik dan tari serta tenun ikat.
    Sebaiknya yang berpakaian tenunan adat tidak saja Pelayan Firman dan petugas liturgi, tetapi juga semua jemaat yang turut berbakti. Bagi gereja yang jemaatnya terdiri dari etnis yang heterogen,   busananya disesuaikan dengan busana  etnis yang terkait. Memang agak sulit karena hal ini menyangkut ‘selera’ dan ‘dana’, namun kalau ada selera/kemauan maka bisa.
    Begitupun, tidak saja nast bacaan diterjemahkan ke dalam bahasa ibu, tetapi diharapkan khotbah pun dibawakan dalam bahasa ibu dan bila jemaat bersifat heterogen, maka perlu dipakai penerjemah. Bagi pelayan yang tidak tahu bahasa ibu, bisa meminta bantuan penerjemah. Masalahnya ialah menambah waktu kebaktian. Umumnya durasi/waktu khotbah sekitar 15-20 menit. Penambahan waktu sekitar 20 menit, tidak ada masalah.
    Umumnya jemaat GMIT di pedesaan bersifat homogen sehingga penggunaan busana adat, bahasa ibu, dan seni musik tidak ada masalah. Namun, kalau dahulu pada setiap hari Minggu/hari-hari raya ataupun pada acara-acara adat para bapak/ibu memakai sarung  (kain dan kebaya) serta selimut dan baju adat, kini mereka memakai rok/kaleid dan celana panjang dan kemeja toko. Penghargaan kepada budaya sendiri mulai longgar.
    Untuk menghargai budaya, saya kutip kata bijak dari tiga orang Pendeta/pemimpin agama, sebagai berikut : 1). Prof. DR. Verkuil, “Cinta kepada kebudayaan dan penghargaan terhadap kebudayaan serta sikap terbuka kepada kebudayaan, adalah panggilan Kristen.” 2). DR. Eben Nuban Timo, “Allah dan Firman sudah lebih dahulu ada dan bekerja dalam budaya, sejarah, dan agama suatu masyarakat. Ini berarti tidak ada budaya, sejarah, dan agama suatu masyarakat pun berdiri di luar jangkauan pemilihan dan pemerintahan Allah. Sejahat dan berdosa apapun budaya, sejarah, dan agama suatu masyarakat, dalam budaya, sejarah dan agama masyarakat itu tersimpan jejak-jedak atau lebih tepat “sidik jari Allah”. 3). DR. Eka Darmaputera, “Agar gereja mau berusaha untuk memahami dan menghayati akan sikap Rasul Paulus ketika ia melakukan penginjilan kepada orang-orang Junani di Airopagus-Athena. Paulus tidak melecehkan agama orang Junani, melainkan ia mengatakan, “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuwartakan kepada kamu”. 


  • Minggu, 03 Januari 2016

  • Orang Rote Adalah Turunan Orang Yahudi ?

  • NENEK MOYANG ORANG ROTE ADALAH TURUNAN ORANG YAHUDI ?

    ORANG ROTE ADALAH TURUNAN ORANG YAHUDI ?

              Prof. DR. J. L. Henuk mengatakan bahwa berdasarkan tulisan Mattula Ada yang diterbitkan di kompasiana pada 1 Nopember 2011 dengan judul “Ternyata Moyang Orang Maluku Adalah Bangsa Yahudi”. Selanjutnya Pak Prof. Henuk mengatakan bahwa dalam tulisan ini terbaca jelas bahwa “Salah satu bukti kuat bahwa pada abad ke-1 M rempah-rempah dari Maluku pernah dijual di Yerusalem, adalah karena pada tahun 33 M, beberapa orang wanita Yahudi yaitu: Maria Magdalena dan teman-temannya membeli rempah-rempah di pasar Yerusalem untuk mengawetkan jenazah Yesus (Markus 16:1). Peluang lain orang Israel tiba di Maluku adalah pedagang-pedagang Israel datang sendiri ke Maluku setelah mengetahui jalan ke Maluku dari para pedagang bangsa China”. (http://media.kompasiana.com/buku/2011/10/31/ternyata-moyang-orang-maluku-adalah-bangsa-yahudi-406217.html). Pak Prof juga mengutip tulisan tertanggal 8 Juni 2013 yang berjudul sbb. : “ASAL NAMA MALUKU DAN HUBUNGANNYA DENGAN KETURUNAN SUKU ISRAEL YANG HILANG”. Beliau mengatakan bahwa pembukaan dari tulisan Abeytara tersebut di atas bahwa : “Orang Rote mengenal nenek moyang mereka berasal dari suku-suku Israel yang hilang yang datang ke Maluku dan orang-orang Yahudi Alfuros (dari suku Gad), sebagian menyebar ke bagian barat, menyinggahi Pulau Rote dan menetap di Rote bagian timur (Bilba) dan sebagian di Rote barat daya (Thie).⃰
    Memang moyang orang Rote berasal dari Seram (Maluku) pada permulaan abad pertama Masehi dan moyang yang pertama dari Seram itu bernama DAE DINI. Ia bersama isteri dan dua anak lelakinya, masing-masing adalah DETA DAE dan MBAKI-MBAKI DAE. Walaupun sesuai dua tulisan yang dikutip oleh Pak Prof. Henuk itu mengindikasikan bahwa orang Rote ada punya hubungan silsilah dengan orang Yahudi, namun sepanjang ceritera para manahelo (penyair dan ahli silsilah orang Rote) dan orang tua-tua, hanya mengatakan bahwa moyang orang Rote berasal dari Seram (Maluku). Mungkin karena menurut dua penulis seperti tersebut di atas bahwa orang Maluku ada punya hubungan silsilah dengan orang Yahudi dan karena moyang orang Rote berasal dari Seram (Maluku) maka ditarik kesimpulan bahwa orang Rote juga ada punya hubungan silsilah dengan orang Yahudi.
             Menurut sebuah legenda di Rote (Thie), bawa beberapa abad yang lalu di sebuah pelabuhan di Thie (Namo Tane), terdampar sebuah kapal layar dan penumpangnya terdiri dari puluhan orang. Orang-orang ini postur tubuhnya besar dan tinggi serta berkulit putih. Mereka ini, masyarakat kenal dengan nama “Hatahori Ringge" (Orang Ringge). Kemudian mereka berintegrasi dengan orang-orang Thie/Rote. Sebelum berintegrasi dengan orang Rote, mereka tinggal di dua kampung dan kedua kampung itu dikenal dengan nama : Ringge dan Ndoko. Kapal/perahu yang mereka bawa telah menjadi batu dan sampai kini dikenal dengan nama “Batu Nafu”, yang berarti “Batu Berlabuh”. Nama “Ringge” mirip dengan nama “Marengge”. Marengge adalah sebutan orang Rote untuk orang-orang “Negro”. Walaupun nama mirip, namun orang Ringge berkulit putih sedang orang Marengge (Negro) berkulit hitam. Apakah orang Ringge ada hubungannya dengan orang Yahudi ? Benar tidaknya hubungan silsilah antara orang Rote dengan orang Yahudi, hal ini dapat dijawab oleh para ahli, khususnya para ahli paleo antropologi. 
             Walaupun mungkin tidak ada hubungan silsilah antara orang Rote dan orang Yahudi, namun budaya kedua komunitas/etnis ini, ada beberapa aspek yang sama atau hampir sama. Saya kemukakan beberapa aspek antara lain sebagai berikut :
    1.      Hukum waris 
    Menurut Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Rote Ndao, khususnya hukum waris, anak perempuan tidak mendapat warisan. Ia hanya mendapat bahagian yang disebut “lepakai” (terdiri atas : kakau lu’ak, tua bobo’ik, deta masik); lepakai adalah sejenis hibah. Anak lelaki yang berhak atas harta usaha gono gini. Bila tidak anak lelaki maka harta gono gini diwarisi oleh saudara lelaki ayah, bila orang tua telah meninggal dan anak-anak perempuan telah kawin. Tidak berhaknya anak perempuan atas warisan ayah itu, karena menurut adat harta seseorang tidak boleh dibawa ke suku lain waktu kawin.
    Hukum perkawinan cq. hukum waris dan cara pemilihan jodoh orang Rote hampirsama dengan orang Yahudi. Bedanya, orang Yahudi bisa kawin dengan paralel coussin pihak ayah  maupun paralel coussin pihak ibu. {Isak kawin Ribka, anak Nahor—Nahor adalah saudara Abraham dan Yakob kawin dengan anak-anak dari To’o-nya Laban (adat Rote : tuti kalikek)}. Sedang orang Rote, perkawinan antara yang berhubungan darah itu terjadi hanya di antara paralel coussin dengan cross cousin (tuti kalikek). Perkawinan jenis ini sangat diingini dan dianggap ideal. Selanjutnya mengenai ahli waris untuk anak perempuan orang Yahudi tercantum dalam Surat Bilangan pasal 27 : 1 – 11 : Dikatakan bahwa pada mulanya anak  perempuan tidak berhak atas warisan.  Namun Musa dihadapkan pada kasus anak-anak perempuan Zelafehad yang meminta hak waris, karena Zelafehad  tidak memiliki anak laki-laki (1 - 4). Secara umum, ketika seorang ayah meninggal, anak-anak lelaki mendapat harta milik ayahnya  sedang anak perempuan tidak mendapat warisan.  Mereka (anak-anak perempuan) hanya menerima bagian yang disebut hadiah saat mereka menikah. Bila suatu keluarga hanya memiliki anak perempuan, maka harta warisan diberikan kepada saudara laki-laki sang ayah. Mungkin karena anak-anak perempuan Zelafehad merasa bahwa hal itu tidak adil, maka mereka menghadap Musa. Musa yang mendengar keluhan anak-anak perempuan Zelafelad itu, membawa perkara itu kepada Tuhan (5). Akhirnya ditetapkan bahwa bila suatu lekuarga tidak memiliki anak laki-laki maka anaknya yang perempuan boleh mewarisi harta (8). Jika keluarga itu tidak  memiliki anak, maka harta warisan itu akan dimiliki oleh keluarga terdekat (9-11). Namun di pasal 36, Tuhan memberikan aturan yang mengharuskan anak-anak perempuan penerima warisan untuk menikah dengan orang-orang sesuku, dengan tujuan agar harta warisan itu tetap berada di suku itu, seperti jika sang ayah memiliki anak laki-laki.   
    2.      Gembala
    Arti gembala dalam bahsa Rote ialah manalolo atau dalam syair (kata paralel) disebut mana tada tena do mana lolo bote (penggembala kerbau atau pemisah domba/kambing). Biasanya gembala sangat sayang kepada ternaknya sehingga ia selalu memperhatikan makan dan minum mereka. Di mana ada rumput yang hijau dan air yang bersih, si gembala membawa ternaknya ke situ. Bila dalam wilayahnya kekurangan rumput atau air maka si gembala membawa ternaknya ke daerah lain yang ada rumput dan air. Di daerah baru itu ia membangun pondok/lak untuk tinggal selama beberapa bulan. Rumah yang dibangun selama dalam pengembaraan itu disebut “uma nggoro na’u” (harfiah : rumah kampung rumput) maksudnya rumah dikampung yang berumput hijau. Semua itu dibuat oleh si gembala karena kecintaannya pada ternaknya. Bila air yang ada berupa sumur maka si gembala membuat palungan (ha’o/hako) untuk diisi dengan air. Pola sikap gembala dalam memelihara ternaknya menginspirasi orang Rote, sehingga tokoh/figur yang perhatiannya yang besar terhadap kehidupan keluarga dianggap dan dihormati sebagai gembala, lalu digelar “mana tada tena do mana lolo bote’. Kalau kita perhatikan kehidupan orang-orang Israel dalam mengurus ternak mereka, khususnya Ibrahim dengan Lot, maka tidak beda dengan orang Rote. Orang Israel pun mengagungkan peranan gembala, sehingga dalam Mazmur 23, Raja Daud mengagungkan Tuhan sebagai gembalanya yang membaringkan dia di padang yang berumput hijau dan membimbingnya ke air yang tenang.
    3.      Sendal jepit
    Dari dahulu kala orang Rote sudah memproduksi sandal/sendal jepit, yang dibuat dari daun lontar dan kulit kerbau atau sapi. Yang dibuat dari daun lontar dianyam.dan yang dibuat dari kulit kerbau/sapi adalah sandal jepit. Tali jepit itupun dari kulit, dibuat halus. Yang pertama kali menemukan sandal jepit adalah orang Rote. Mungkin waktu Jepang menjajah Indonesia, mereka tertarik pada penemuan orang Rote itu, lalu mereka membuat sandal jepit dari getah/plastik. Orang Yahudi pun telah memproduksi sandal jepit dari dahulu kala, sama dengan orang Rote. Namun, tidak mungkin kedua komunitas ini saling menjiplak karena timbulnya media elektronik maupun media cetak kemudian dari penemuan sandal sehingga hasil produksi masing-masing tidak pernah dipromosikan melalui mas media.  
    4.      Ulu
    Bila salah seorang meninggal di negeri lain/rantau dan belum bisa dibawa pulang jenazahnya, maka ia boleh dikuburkan di negeri tersebut. Tetapi kemudian tulang belulangnya harus dibawa pulang ke tanah leluhur. Atau jika meninggal tetapi jasadnya tidak diketemukan, maka sesuatu barang miliknya, berupa pakaian, tempat sirih, topi atau foto, harus dibawa ke tanah leluhur. Baik tulang belulang atau barang-barang milik mendian itu disebut “ulu”. Setelah sampai di tanah leluhur, tulang belulang itu dikuburkan disertai acara, layaknya acara orang mati.
    Sesuai Kitab Kejadian 47 : 30, Yakob berpesan kepada anak-anaknya agar bila ia mati, harus dibawa kembali ke tanah leluhurnya untuk dikuburkan di sana.    
    5.      Nekembimbili 
    Pada saat memanen padi atau botok, pemilik sawah/ladang mengijinkan orang lain (balu, duda, fakir miskin dan yatim piatu) untuk boleh memungut bulir-bulir padi/botok yang tertinggal dipanen oleh penuai. Memungut sisa-sisa padi/botok orang lain untuk menjadi milik si pemungut seperti itu, disebut nekembimbili (ne’embimbili). Bulir-bulir yang tertinggal itu terjadi karena tidak sengaja ataupun disengajakan oleh pemilik sawah/ladang agar fakir miskin dan balu duda serta yatim piatu dapar memungut dan memilikinya. 
    Adat orang Rote seperti tersebut di atas tedapat juga pada orang Yahudi. Dalam Kitab Rut (2 : 2-9), Boas mengijinkan Rut (janda) untuk boleh memungut (nakambimbili) jelai-jelai yang tertinggal/sisa dipanen oleh anak buah/pekerja Boas.
    6.       Sanksi bagi pencuri hewan
    Sebelum adanya lembaga “bui”, di Rote, bila seseorang mencuri hewan maka pengadilan adat menjatuh hukuman yang disebut “nggeu buluk” (cukur bulu, maksudnya memiskinkan), yaitu suatu hukuman yang berat dengan cara mengganti hewan dengan jenis yang sama sebanyak 2 sampai 3kali lipat.
    Adat yang sama terdapat juga pada orang Yahudi. Bedanya, orang Rote 2 atau 3 kali lipat untuk semua jenis hewan, sedang orang Yahudi untuk kerbau 5 kali lipat dan untuk domba 4 kali lipat (Kitab Keluaran 22 : 1).
    7.      Isteri mandul
    Menurut hukum adat Rote, bila isteri mandul maka bisa terjadi perceraian. Untuk menghindari perceraian karena isteri mandul, maka suami isteri menempuh beberapa cara sebagai berikut : a). Isteri mengijinkan suami untuk boleh menambah isteri; b). isteri mengijinkan suami untuk boleh netiak (hubungan gelap dengan perempuan lain); c). Isteri mengijinkan suami untuk boleh meniduri seseorang perempuan dari suku lain yang tinggal dengan mereka.
    Rupanya solusi dari suami isteri untuk mendapatkan anak pada butir c, sama dengan budaya bangsa Yahudi sehingga Sarai mengijinkan Ibrahim meniduri Hagar.
    8.       Livirat
    Perkawinan livirat atau ganti tikar, dalam bahasa Rote disebut “lenggu bara sinik” atau “palu anak”atau “lenggu rali anak”, yaitu bila suami meninggal maka sesuai adat sijanda bisa kawin dengan salah seorang lelaki saudara si alamrhum. Adat ini terdapat juga pada orang Yahudi, tercanum dalam Kitab Bilangan 25 : 5.
    9.       Tulang/remah-remah untuk anjing 
    Orang Rote katakan “mba duik busa enan” (harfiah : tulang daging milik anjing). Sementara bersantap, biasanya anjing duduk menunggu di dekat meja makan. Bila ada tulang/sisa makanan yang dibuang atau jatuh maka para anjing berebutan.
    Rupanya hal ini berlaku juga pada bangsa Yahudi seperti terdapat pada Injil Matius 15 : 26 dan 27. [26. Tetapi Yesus menjawab : “Tidak baik mengambil roti yang telah disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing”. 27. Kata perempuan itu : “Benar Tuhan, namun anjing itu makan
    remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”]
    10. Harta pusaka nenek moyang
    Menurut tradisi orang Rote, harta pusaka peninggalan nenek moyang tidak boleh dipindahtangankan cq. tidak boleh diperjuabelikan karena hal itu mendatangkan malapetaka bagi yang menjualnya, dalam bahasa Rote, disebut "nano'i". Adat ini pun terdapat pada orang Yahudi. Dalam kitab 1 Raja-Raja fasal 21 : 3, dst, raja Ahab meminta agar Nabot memberikan atau menjual kebun anggurnya kepada dia (Ahab) tetapi Nabot tidak mau karena takut mendapat celaka berhubung kebun anggur itu adalah peinggalan nenek moyangnya.
     ⃰Sumber kutipan:
    Y.L. Henuk (Penulis/Editor, 2015). Rote Mengajar Punya Cerita. Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang & Paul A. Haning : Rote Ndao Rangkaian Terselatan Zamrud Katulistiwa/2013 dan Hukum Kekeluargaan/Waris Masyarakat Rote Ndao/2006..


  • Copyright @ 2013 Kultural Rote Ndao.

    Powered by Google +